Literasi untuk Kesejahteraan

Oleh :
Drs Sudjono, MM
Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional RI

Tidak banyak kesempatan para pustakawan di Indonesia dapat berkumpul bersama untuk mendiskusikan eksistensi pustakawan di masa depan. Kesempatan langka itu di awal bulan Desember 2019 ini berlangsung di Surabaya, tempatnya di Hotel JW Marriott Surabaya.
Sekitar seribu lebih pustakawan dari berbagai daerah di tanah air hadir dalam acara Peer Learning Metting Nasional bertajuk Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi sosial. Inti acara adalah mendiskusikan proses transformasi peran dan fungsi perpustrakaan, serta arti penting literasi untuk kesejahteraan.
Memasuki era milenial, harus diakui muncul tantangan-tantangan baru yang harus direspon para pustakawan. Di era milenial, perpustakaan kini tidak lagi hanya menjadi pemain tunggal sebagai penyedia informasi, bacaan, dan koleksi-koleksi lain yang bisa diakses masyarakat.
Kehadiran teknologi informasi dan internet telah menstimulasi munculnya sumber-sumber informasi lain yang bahkan lebih canggih. Mesin raksasa seperti google, yahoo, dan lain-lain, misalnya dalam kenyataan lebih mampu menyediakan berbagai informasi yang seolah tanpa batas.
Seseorang yang membutuhkan informasi apa pun, kini tidak perlu lagi harus mencari di perpustakaan. Cukup hanya berbekal gadget dan internet, siapa pun kini mampu melacak atau menelusur informasi yang mereka ingin dan butuhkan. Dalam kondisi seperti ini, lantas apa yang harus dilakukan para pustakawan untuk mempertahankan eksistensi perpustakaan di masyarakat?
Tantangan Baru
Dengan berkaca dari berbagai kemajuan dan perubahan yang terjadi dalam lima tahun terakhir, harus diakui ada berbagai hal yang mesti didekonstruksi untuk kemudian direkonstruksi peran-peran pustakawan dan perpustakaan yang lebih kekinian. Dari hasil pertemuan para pustakawan di Hotel JW Marriott awal bulan Desember ini, beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian adalah:
Pertama, melakukan transformasi dan mengembangkan peran-peran baru yang lebih sesuai dengan konteks kekinian. Sebagai pustakawan yang inovatif, di era milenial para pengelola perpustakaan tidak lagi bisa mengandalkan pada kekayaan koleksi untuk mengundang pengunjung hadir. Lebih dari sekadar jumlah koleksi, di era milenial pustakawan juga dituntut bisa memahami perubahan gaya hidup, subkultur user yang makin beragam, otonom dan menguasai teknologi informasi. Artinya, untuk tetap dapat menjaring peminat perpustakaan, sentuhan layanan yang ditawarkan harus benar-benar berbasis pada kebanggaan, prestise dan sesuai dengan gaya hidup masyarakat urban yang makin menyukai kekinian.
Kedua, mengembangkan paradigma layanan baru yang tidak hanya sekadar menyediakan bacaan, tetapi juga sekaligus menyediakan bacaan yang berkualitas -yang dibutuhkan untuk mendorong proses pemberdayaan massyarakat.
Di era milenial, pustakawan dan perpustakaan tidak lagi hanya mengandalkan up to date koleksi yang dimiliki. Di era milenial kebaharuan koleksi dan informasi sudah menjadi hal yang biasa, karena bagi user perpustakaan di generasi sekarang, mereka pada dasarnya adalah now generation. Dengan berbekal gadget yang dimiliki, mereka akan dapat memperoleh informasi apapun yang dibutuhkan dalam hitungan detik. Jaringan internet adalah tiket utama yang dibutuhkan masyarakat untuk mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan dan inginkan.
Ketiga, memperluas layanan, tetapi di saat yang sama juga menspesifikasi layanan untuk kepentingan kelompok khusus. Pustakawan di era milenial tidak lagi bisa hanya mengandalkan pada layanan yang sifatnya umum, karena yang dihadapi saat ini adalah para user yang berbeda-beda kepentingan dan kebutuhannya.
Bisa saja seorang user membutuhkan data untuk kepentingan research, tetapi tidak menutup kemungkinan ada user lain yang lebih membutuhkan informasi yang teknis, seperti bagaimana memproduksi sesuatu, bagaimana memperbaiki perangkat elektronik yang rusak, bagaimana membunuh virus di laptop, dan lain sebagainya. Intinya, kebutuhan user satu dengan yang lain kemungkinan besar berbeda-beda, sehingga tidak mungkin dihomogenisasi.
Untuk Kesejahteraan
Literasi untuk kesejahteraan adalah visi baru yang disepakati akan dan tengah diperjuangkan oleh para pustakawan seluruh Indonesia. Sebagaimana dijelaskan Kepala Perpustakaan Nasional, bahwa memasuki era milenial pustakawan tidak mungkin lagi hanya bertahan dengan model layanan yang konvensional.
Pustakawan perlu mengembangkan model layanan baru yang tidak sekadar hanya menangani peminjaman koleksi bacaan kepada para pengunjung. Pustakawan di era milenial dituntut untuk mengembangkan peran yang lebih luas, terutama peran untuk membantu mempercepat proses pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar, dua peran pokok yang perlu dikembangkan ke depan adalah:
Pertama, para pustakawan sudah barang tentu perlu meningkatkan kompetensinya, terutama berkaitan dengan upaya menyediakan informasi apa yang bermanfaat bagi masyarakat. Sudah sewajarnya jika pustakawan di era milenial ini mampu mengemas dan mengolah informasi yang dimiliki, untuk kemudian ditawarkan kepada user yang membutuhkan.
Kedua, para pustakawan juga dituntut untuk lebih peka memahami kebutuhan masyarakat. Pustakawan di era milenial harus tanggap dan memiliki sikap kritis terhadap berbagai masalah yang muncul di masyarakat, untuk kemudian ikut ambil bagian dalam menangani masalah yang timbul di masyarakat.
Transformasi peran pustakawan dan perpustakaan adalah sebuah keniscayaan. Ini adalah tuntutan jaman yang tidak bisa dielekkan. Hanya dengan bersedia merubah diri, menakar apa yang perlu dikembangkan, dan kemudian melakukan transformasi sosial, maka peran pustakawan akan tetap bertahan, bahkan makin berkibar. Selamat kepada para pustakawan Indonesia. Semoga pustakawan makin jaya.
——– *** ———-

Rate this article!
Tags: