“Lomba” Tekan Inflasi

Pemerintah pusat secara spartan berupaya menekan laju inflasi, berkait kenaikan harga pangan global, dan harga BBM (Bahahn Bakar Minyak). Bahkan bakal diberikan insentif daerah sebesar Rp 10 milyar kepada Pemerintah Daerah yang sukses menekan inflasi. Pemerintah juga telah menggelontor “insentif” (BLT) kepada masyarakat yang paling rentan terdampak kenaikan harga. Laju inflasi menjadi “belenggu” setelah pandemi. Ditandai dengan kenaikan harga kebutuhan dapur (pangan).

Laju inflasi menjadi kewaspadaan seluruh dunia, dianggap sebagai ancaman ekonomi yang bisa meruntuhkan altar politik. Tak terkecuali Amerika Serikat, dan negara-negara maju di Eropa. Inggris mencatat inflasi sebesar 10,1% (tertinggi selama 40 tahun). Serta inflasi Amerika Serikat, tercatat sebesar 8,5%. Di ASEAN inflasi tinggi dicatat Thailand (7,1%), Singapura (6,7%), dan Filipina (6,1). Sedangkan Indonesia mencatat inflasi 4,94% (pada bulan Juli) tertinggi selama 80 bulan. Cukup miris, karena tercatat dari kelompok pangan memimpin laju inflasi (sampai 11,47%).

Nampak pemerintah (pusat) bersungguh-sungguh menekan laju inflasi. Setidaknya terbukti telah dua kali melaksanakan rapat koordinasi Pusat dengan daerah. Beberapa cara menekan inflasi dikoordinasikan. Termasuk pemerintah (pusat) meminta setiap daerah menyediakan 2% alokasi dari DAU (Dana Alokasi Umum), dan DBH (Dana Bagi Hasil). Transfer umum ke daerah dari APBN semula dialokasikan menyokong (sebagai subsidi) transportasi di daerah.

Tetapi cara memotong transfer umum ke daerah, tergolong sulit. Banyak pemerintah khawatir terjerumus tindak pidana korupsi. Pada sektor transportasi angkutan penumpang sudah banyak bus AKDP (Angkutan Kota Dalam Propinsi) tutup operasional. Sebagian yang masih bertahan juga mengurangi armada. Begitu pula angkutan kota (angkot), dan angkutan pedesaan, banyak tidak beroperasi. Tetapi beberapa Pemerintah Kabuoaten (Pamkab), dan Pemkot, coba memberi subsidi melalui pendataan oleh Dinas Perhubungan.

Sedangkan angkutan barang (termasuk hasil bumi, dan hasil laut) masih cukup banyak. Serta angkutan barang dibawahkan Organda, yang biasa melayani antar-propinsi. Walau yang dibawahkan Organda tidak tergolong bisa memperoleh subsidi (karena dimiliki perusahaan besar). Tetapi masih terdapat angkutan hasil bumi (dan perikanan) yang di-usahakan oleh usaha mikro. Umumnya hanaya memiliki maksimal 2 armada (dengan kendaraan cukup tua, buatan di bawah tahun 2010).

Pada Rapat Koordinasi pemerintah pusat dengan daerah, telah dijanjikan “BLT” (insentif) khusus. Yakni, untuk 10 besar Pemkab dan Pemkot (dalam satu propinsi) yang berhasil menekan inflasi. Sokongan anggaran sebesar Rp 10 milyar, sebagai dukungan operasional. Biasanya, Pemkab, dan Pemkot akan menggelar operasi pasar untuk menekan laju inflasi. Bisa bekerjasama dengan Bulog propinsi, serta “Toko Tani.” Bisa menjual bahan pangan (terutama sembako) dengan harga lebih murah.

Inflasi di daerah harus bisa diupayakan lebih rendah dibanding inflasi nasional. Walau terasa sulit pada kawasan luar Jawa. Disebabkan biaya transportasi lebih besar. Namun kawasan luar Jawa juga memiliki tradisi “menghemat super ketat.” Sehingga mengurangi belanja konsumsi yang bukan utama, karena Sembako mahal. Tetapi sesungguhnya pemerintah wajib mengendalikan harga pasar, berdasar mandat UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.

Pemerintah wajib jaminan pasokan barang kebutuhan pokok, dan barang penting. UU Perdagangan pada pasal 25 ayat (1), menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.”

Serta masih terdapat mandate UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Juga meng-amanat-kan keamanan pasokan, dan harga terjangkau.

——— 000 ———

Rate this article!
“Lomba” Tekan Inflasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: