Long Holiday dan Potensi Gangguan Kesehatan

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Fenomena tahunan libur panjang akhir tahun memang dinanti bagi banyak orang terutama bagi kaum pekerja (pegawai negeri, karyawan swasta hingga anak sekolah). Hal ini wajar bila dihubungkan dengan aspek kejenuhan akibat aktivitas pekerjaan atau belajar mengajar sepanjang tahun serta perspektif ekonomi atas “dampak libur” berupa peningkatan kebutuhan atas transportasi, penginapan (hotel), pusat perbelanjaan, kerajinan, oleh-oleh dan sebagainya. Kondisi tersebut seakan sudah menjadi bagian dari tren gaya hidup jaman now dimana kian kompleksitas pekerjaan dan aktivitas yang dijalani sehingga secara alami akan mengalami puncak kepenatan sehingga dikompensasi dalam bentuk liburan dalam bentuk rekreasi, refreshing, having fun entah apapun namanya. Dari sisi kesehatan, dibutuhkan keseimbangan hidup (balancing life) antara wujud fisik, psikis, sosial dan produktivitas.
Semakin meningkat aktivitas fisik akan diiringi dengan upaya untuk pengendoran otot-otot, syaraf dan jaringan tubuh agar dapat berre-energi kembali. Setiap orang tentu berbeda cara, metode dan upaya untuk mengembalikan kepenatan atau kejenuhan sehingga mempengaruhi derajat kesehatan setiap personal. Setidaknya ada tigapotensi masalah kesehatan yang harus diwaspadai ketika memanfaatkan libur panjang di luar rumah atau berwisata di luar wilayah. Pertama, kondisi kesehatan tiap-tiap individu. Bagi sebagian besar masyarakat tentu riang dalam memanfaatkan libur panjang dengan berwisata, namun tidak semua memahami bahwa tiap-tiap jiwa berbeda status atau derajat kesehatan. Kondisi ini sangat berpengaruh pada ancaman gangguan kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menunjang usaha peningkatan aktivitas aruswisata secara umum.
Jika kesehatan makanan dalam perjalanan kurang terjamin dan kesehatan lingkungan ditempat tujuan tidak memenuhi standar, maka wisatawan tidak akan memperpanjang lamatinggalnya atau tidak betah untuk menikmatinya yang pada gilirannya akan “trauma” dan memberikan referensi negatif. Bisa dibayangkan akan dampak kerugian sosial dan ekonomi maunpun citra sasaran wisata yang bersangkutan. Bila ada wisatawan yang terkena penyakit dapat timbul masalah berupa potensi penularan secara massal mengingat karakteristik wisata yang padat populasi, kontak erat, terlokalisir sehingga berresiko atas berbagai penularan sumber penyakit. Beberapa diantaranya adalah penyakit difteri, demam berdarah maupun diare. Kelompok yang paling rentan tertular adalah balita, anak-anak dan usia lanjut dimana secara umum kondisi sistem kekebalan (imun) yang cenderung masih rendah.
Kedua, kondisi lingkungan yakni di jalan raya dan di lokasi wisata. Di jalan raya misalnya, saat ini secara realitas bahwa waktu keluarga untuk wisata waktu nyaris habis di sepanjang jalan. Situasi jalan yang kian padat bahkan acapkali dihantui kemacetan panjang. Hal ini sangat wajar mengingat peningkatan jumlah kendaraan yang sangat signifikan yang tidak diiringi dengan penambahan ruas jalan, parahnya kendaraan didominasi oleh kendaraan pribadi. Bisa jadi rekreasi yang dialami adalah rekreasi kemacetan yang berdampak pada peningkatan stress sehingga kontradiktif dengan tujuan berrekreasi. Selain itu perlu diwaspadai potensi kecelakaan yang mungkin timbul. Selain itu akses ke lokasi wisata juga berdampak atas kenyamanan dan keamanan pengunjung. Ancaman lain juga berpotensi muncul saat ada di lokasi wisata antara lain konflik lokal, bencana alam, perilaku sosial masyarakat, maupun penyakit menular. Ancaman gempa yang diiringi tsunami baru-baru ini terjadi di wilayah laut selatan, sekitar selatan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah bentuk riil ancaman bagi masyarakat termasuk wisatawan yang berpengaruh pada tingkat kunjungan wisata kedepan.
Ketiga, dampak cuaca dan iklim. Harus diakui bahwa saat ini pengaruh cuaca dan iklim sangat signifikan mempengaruhi setiap aktivitas masyarakat dimanapun. Memasuki akhir tahun dan menjelang awal tahun baru dimana memasuki puncak musim hujan sehingga diperlukan langkah antisipatif mengapa? Jangan sampai tujuan melakukan rekreasi misalnya, akan menjadi mimpi buruk akibat intensitas hujan yang cenderung tinggi dan dampak banjir termasuk gangguan kesehatan yang timbul seperti masuk angin, gatal-gatal, leptospirosis hingga gangguan kekebalan tubuh lainnya. Hal tersebut jelas berpengaruh pada aspek kenyamanan dan keamanan (comfort and safety) sehingga mendeviasi tujuan beraktivitas wisata nantinya. Faktor kenyamanan dan keamanan pada suatu kawasan pariwisata merupakan nilai tambah dan perluang untuk dikunjungi oleh wisatawan. Sebagaimana yang dimaksudkan UNWTO (2004) bahwa destinasi wisata di negara berkembang sudah saatnya untuk memberikan alternatif berwisata dengan jaminan keselamatan dan rasa aman bagi wisatawan selama berwisata.

—— *** ——–

Tags: