LPJ APBD Jatim 2020

foto ilustrasi

Pemerintah propinsi Jawa Timur kembali memperoleh penilaian BPK dengan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Tetap bukan berarti bebas dari kesalahan. Dalam catatan BPK, masih banyak “temuan penyimpangan” yang wajib diverifikasi. Jika gagal melaksanakan klarifikasi dalam 6 enam bulan, bisa berpotensi konsekuensi hukum tindak pidana korupsi (Tipikor). Penjejakan oleh BPK juga menjadi Pertimbangan DPRD Jawa Timur membedah Laporan Pertanggungjawaban gubernur.

Puluhan ke-tidak patuh-an anggaran telah dijejaki BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), tersebar di berbagai Dinas, Badan, dan Biro) di jajaran Pemprop Jawa Timur. Gubernur sebagai piminan tertinggi pemerintahan diminta “memperingatkan” kepala OPD (Organisasi Perangkat Daerah) agar memperbaiki administrasi pelaksanaan anggaran. Ada yang harus diperingatkan secara keras, karena temuan BPK yang tergolong fatal. Bukan sekadar kesalahan administrasi. Misalnya penerima dana hibah fiktif.

Berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, mewajibkan menyertakan audit BPK. Maka LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) pelaksanaan ABPD, harus tergaransi audited. Audit keuangan oleh BPK, lazimnya meliputi dua term utama. Yakni: “Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan,” serta term “Sistem Pengendalian Intern.”

Bersyukur, LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK menghasilkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Tetapi bukan berarti steril benar dari kesalahan. Di dalam LHP masih terdapat catatan panjang BPK. Seluruhnya wajib diverifikasi oleh OPD yang diberi catatan. Hal itu menunjukkan masih terdapat banyak catatan kesalahan (terutama administrasi) yang wajib diperbaiki. Jika gagal diperbaiki bisa berkonsekuensi hukum.

LPJ Gubernur terhadap pelaksanaan APBD merupakan kewajiban mandatory UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Khususnya terhadap pasal 31 dan pasal 32. Pada pasal 31 ayat (1), dinyatakan: “Gubernur menyampaikan Laporan Keuangan kepada DPRD. Yakni laporan yang memuat Realisasi Anggaran (RA), Neraca, Arus Kas serta Catatan atas Laporan Keuangan.”

Secara khusus pada pasal 32 ayat (1), dinyatakan bahwa seluruh laporan keuangan harus tersusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Harus diakui, tidak mudah menyusun laporan keuangan berdasar SAP. Karena tidak semua (bahkan hanya sebagian kecil saja) bendaharawan OPD memiliki spesifikasi sebagai akuntan. Wajar, dalam Laporan Keuangan banyak ditemukan pelanggaran terhadap asas akuntansi.

LPJ Pelaksanaan APBD 2020 yang diserahkan gubernur, berkisar pada realisasi pendapatan sebesar Rp 31,631 triliun. Capaian ini melebihi target, walau lebih dari 38% disokong dari pemerintah pusat (sumber APBN). Namun Pemprop Jawa Timur berhasil membukukan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebesar Rp 17,950 triliun, lebih tinggi 16,20% dibanding taksiran awal yang tertuang dalam Perda APBD 2020. Pertanda kepatuhan masyarakat Jawa Timur membayar pajak masih bisa diandalkan.

Realisasi Belanja Daerah tahun 2020 sebesar Rp 32,286 triliun (91,73% persen total kekuatan APBD). Termasuk refocusing sekitar Rp 2,3 trilyun yang disedot untuk penanganan pandemi. Sehingga menyebabkan Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran) cukup besar. Mencapai Rp 3,7 trilyun. Pada masa pandemi kinerja pemerintah propinsi terkesan mengendur. Karena serapan anggaran terbesar ter-alokasi otomatis jatah gaji pegawai. Sedangkan proyek infrastruktur belum memadai.

Ke-lesu-an pembangunan infrastruktur tergambar dari pagu anggaran Dinas Perhubungan, dan jajaran Dinas Pekerjaan Umum (PU). Serta realisasi belanja modal hanya sebesar Rp 1,9 trilyun (hanya sekitar 5,4% dari total APBD). Namun cukup “kompetitif” (10,58%) jika dibanding Pendapatan Asli Daerah. Jawa Timur juga masih memperoleh proyek infrastruktur program nasional (bersumber dana APBN). Termasuk proyek infrastruktur kawasan wisata bertaraf global, sebagai “pengharapan” pasca pandemi.

——— 000 ———

Rate this article!
LPJ APBD Jatim 2020,5 / 5 ( 1votes )
Tags: