Lumpuhnya Pendidikan Keluarga

Ahmad Sauqi SumbawiOleh :
Ahmad Sauqi Sumbawi
Pendidik.

Perkembangan pendidikan di Indonesia, tidak dipungkiri, menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai kebijakan, seperti peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, peningkatan kualitas pendidik melalui program sertifikasi, program “Indonesia Pintar” melalui wajib belajar 12 tahun, pendirian sekolah-sekolah kejuruan yang berbasis pada teknologi, beasiswa bidik misi dan sebagainya, program pemerataan pelayanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, merupakan indikasi penting dari hal tersebut. Begitu pula dengan geliat perkembangan lembaga-lembaga pendidikan non-formal di masyarakat, seperti merebaknya taman bacaan masyarakat, lembaga bimbingan belajar, les privat, dan sebagainya, yang sinergis dengan program pendidikan nasional.
Di satu sisi, kondisi menggembirakan di atas tentunya harus kita apresiasi dan dukung bersama. Baik pemerintah, masyarakat melalui para tokohnya, maupun para orangtua, idealnya menjadi kesatuan komponen yang bergerak dalam pencapaian tujuan pendidikan. Akan tetapi di sisi lain, apa yang terjadi pada dunia pendidikan kita dewasa ini menampilkan fenomena lain, yakni lumpuhnya peran keluarga dalam pendidikan.
Lumpuhnya Pendidikan Keluarga
Fenomena di atas dapat kita lihat dari berbagai kasus kekerasan dan perbuatan asusila yang menjadikan anak-anak dan remaja sebagai korban serta berbagai kasus yang melibatkan anak usia remaja sebagai pelaku kejahatan, dimana keseluruhannya lebih memiliki kedekatan dengan keberadaan fungsi dan peran keluarga itu sendiri. Selain itu, kehidupan yang semakin kompleks bersama perluasan peran sosial orangtua, baik ayah maupun ibu, terutama dalam karir dan ekonomi, tidak dipungkiri, menyebabkan berkurangnya perhatian orangtua kepada anak. Bahkan karena hal tersebut, keberadaan lembaga pendidikan formal dan non-formal di masyarakat seakan-akan menjadi “dalih atas pelimpahan” tanggungjawab orang tua dalam pendidikan terhadap anak.
Tentunya ironis, ketika pendidikan formal dan non-formal bergeliat memproyeksikan kondisi yang menggembirakan, pendidikan informal dalam keluarga malah mengalami kelumpuhan. Padahal stigma umum menyebutkan, keluarga merupakan locus pertama dan utama dalam pendidikan anak. Karena itu, revitalisasi fungsi edukatif keluarga menjadi sebuah keharusan dalam perkembangan pendidikan di Indonesia ke depan.
Pendidikan Melalui Kepedulian dan Keteladanan
Dalam pendidikan, keluarga memiliki karakteristik yang unik, sekaligus berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Salah satu yang paling mendasar yaitu keberadaan ikatan emosional antara orangtua dan anak. Karena itu, pendekatan yang dilakukan setidaknya mengarah pada dua hal, yakni kepedulian dan keteladanan.
Kepedulian sebagai pendekatan pendidikan orang tua kepada anaknya, tentunya harus dimaknai secara luas, dimana secara umum memperlihatkan adanya perhatian dan tanggungjawab yang dinamis dari orangtua terhadap proses pendidikan anak. Di sini, pemberian motivasi, pendampingan belajar, penyediaan fasilitas belajar, pemahaman psikologi dan masalah anak, apresiasi terhadap hasil belajar anak, proteksi dan pengawasan terhadap anak ketika berada di luar rumah-dalam arti positif-, dan sebagainya, menjadi sesuatu yang harus dikembangkan oleh orang tua secara kreatif. Hal ini penting, karena ada atau tidaknya kepedulian tersebut, secara tidak langsung mengisyaratkan kuat atau tidaknya hubungan emosional antara orangtua dan anaknya secara keseluruhan. Kemudian di situlah, seorang anak akan membangun konsep diri, dimana pada gilirannya akan mempengaruhi karakter dan keberadaan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Keteladanan merupakan hal mutlak dalam pendidikan. Bahkan seluruh proses pendidikan tidak lain adalah keteladanan itu sendiri, mengingat tujuan pendidikan mengarah pada lahirnya pribadi-pribadi manusia yang sarat nilai ideal dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana diketahui, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Terkait hal di atas, keberadaan orangtua sebagai teladan merupakan sebuah keharusan dalam keluarga. Pada titik ini, orang tua sebagai pendidik dalam keluarga merupakan konkritisasi dari gambaran ideal pribadi manusia yang dicita-citakan. Karena itu wajar, jika pada tingkatan tertentu, anak akan lebih mudah mendapatkan pemahaman dan nilai-nilai dari kepribadian orang tuanya daripada materi atau nasihat yang mereka terima, terutama mengenai etika, moral, dan akhlak. Menyadari pentingnya keberadaan orang tua sebagai pribadi yang dapat ditiru oleh anaknya, maka tingkah laku orang tua harus sesuai dengan nilai dan norma yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di samping itu, orang tua sebagai teladan harus pula mencerminkan sebuah pribadi yang memiliki kesadaran yang tinggi terkait pendidikan, dimana hal ini mensyaratkan adanya berbagai pemahaman, kemampuan, serta sikap seorang pendidik dan pembelajar sejati. Lebih jauh, orang tua juga perlu berprestasi, baik dalam lingkup profesinya maupun dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Belajar Seumur Hidup
Menghidupkan kembali peran orang tua dalam pendidikan di lingkungan keluarga, tidak dipungkiri, menjadi krusial dalam menyiapkan generasi emas, sebagaimana visi besar bangsa Indonesia tahun 2045, yakni ketika mencapai 100 tahun kemerdekaan. Karena itu, untuk bersinergi dengan pemerintah dan masyarakat, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh orangtua sebagai salah satu komponen dalam pendidikan nasional adalah menghidupkan fungsi edukatif keluarga secara dinamis. Terkait hal tersebut, maka “belajar seumur hidup” tampaknya harus menjadi kesadaran yang dimiliki oleh kita sebagai orang tua.

                                                                                                             ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: