M Sholehuddin: Pelaksanaan Restorative Justice Harus Dilaksanakan dengan Benar

Kajati Jatim, Mia Amiati menyerakan PE untuk dilakukan rehabilitasi dalam penerapan RJ kasus narkotika beberapa waktu lalu. [Abednego/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif dalam perkara tindak pidana umum harus dilaksanakan dengan benar. Ketua Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana (DIHPA) Indonesia, M Sholehuddin menyatakan, pelaksanaan RJ harus benar. Sehingga terhindar dari adanya “Pemainan” maupun “Penyelewangan” RJ.

“Dalam penerapan Restorative Justice ini semua yang melaksanakan harus benar-benar punya komitmen. Jangan sampai adanya RJ ini lalu diselewengkan,” kata M Sholehuddin kepada Bhirawa, Senin (8/7).

Dijelaskannya, konsep RJ di Indonesia dikembangkan oleh Kepolisian dari Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) dan Kejaksaan, yakni Peraturan Jaksa Agung (Perja). Di tingkat kebijakan legislasi, pembentuk Undang-Undang sebenarnya ada embrio seperti itu. Seperti Diversi di dalam Undang-Undang sistem peradilan pidana anak, Diversi ini menurut UU RI No 11 Tahun 2012.

Hal itu, sambung Sholehuddin, berkembang di dalam praktik-praktik penegakan hukum. Diakuinya, RJ ini sangat penting. Sebab, kalau semua masalah pidana dari yang ringan sampai berat harus menunggu sampai ke pengadilan, maka rumah tahanan negara penuh, begitu juga dengan Lembaga Pemasyarakatan juga penuh. Sehingga penegak hukum inilah yang membuat RJ.

“Dalam pelaksanaannya (RJ) dibatasi. Dan tidak semua perkara tindak pidana itu harus di RJ kan,” jelasnya.

Penerapan RJ, sambung Sholehuddin, harus ada syarat-syarat tertentu seperti disebutkan dalam KUHP terkait pidana percobaan maupun pembebasan bersyarat. Dan syarat-syarat itulah yang harus dipenuhi dan tidak semua bisa. “Pelaksanaan Restorative Justice ini harus dilaksanakan dengan benar. Dan jangan sampai ada masalah dikemudian hari,” tegasnya.

Pria yang juga menjabat Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Surabaya (Ubhara) ini menambahkan, RJ ini penyelesaian bersama antara korban, pelaku, Kepolisian dan Kejaksaan. Dan hal itu dilandasi dari beberapa azas. Sebab hukum ini bukan hanya azas keadilan, azas kepastian, tapi ada juga azas kemanfaatan yang dikedepankan.

“Ke depan harus ada kebijakan legislasi, jadi pembentuk Undang-Undang ini harus menormatifkan terkait RJ. Sehingga ada dasar hukum yang kuat untuk mengeleminasi pelanggaran-pelanggaran oleh oknum-oknum,” pungkasnya.

Seperti diberitakan Bhirawa, sebelumnya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menerapkan Restorative Justice (RJ) dalam kasus narkotika. Hal itu diberikan Kejati Jatim kepada PE Bin G, pelaku penyalahgunaan narkotika yang mendapat RJ dan direhabilitasi di Pusat Therapy dan Rehabilitasi NAPZA Mitra Adhyaksa Pemprov Jatim di RS Jiwa Menur pada Kamis (4/8).

Kepala Kejati (Kajati) Jatim mengatakan, dalam penerapan RJ ini status hukum pelaku sudah dihentikan. Apabila belum selesai masa rehab 3 bulan, kemudian pelaku keluar (belum ada penyembuhan) berati harus dipidana dan masuk rana Pengadilan. Pihaknya juga memastikan masih ada 3 bulan kedua untuk proses rehabiltasi.

“Apabila dalam 3 (tiga) bulan belum sembuh dan tiba-tiba anaknya lari. Maka harus diproses hukum sesuai Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika, dengan ancaman pidana paling lama 4 (empat) tahun. Saya berharap PE ikuti aturan ini,” tegas Mia Amiati beberapa waktu lalu. [bed.bb]

Tags: