Mafia dan Ujian Polri

Umar SholahudinOleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 FISIP Unair, Dosen Sosiologi  Hukum FH Unmuh Surabaya

Dua pekan terakhir ini, masyarakat dijejali kata “mafia”. Kata mafia tidak saja di pakai oleh berbagai media cetak dan elektronik, tapi juga kata mafia juga menjadi perbicangan menarik di warung-warung kopi pinggir jalan. Seorang tukang becak yang berbincang di warung kopi menyeletuk, “negara ini sedang dikuasai para mafioso”. Mafia ada di mana-mana. Tidak mengenal tempat (baca: instansi) dan juga orang, mulai dari pegawai rendahan sampai pejabat tinggi
Setelah sebelumnya, berderet muncul mafia; mulai dari mafia hukum, mafia pajak, mafia migas, mafia hutan, dan mafia lainnya, kini masyarakat disuguhi adanya dugaan mafia listrik (melalui sistem listrik pra bayar “Token”) sebagaimana yang disebut Menko Maritim, Rizal Ramli, mafia daging sapi -yang membuat harga daging sapi dipasaran melangit-, dan mafia pelabuhan di Pelindo II. Mafia listrik, pelabuhan, hukum, atau apapun, sekarang bukanlah hantu atau hanya sekedar isu, ternyata benar-benar ada wujudnya. Namun, sangat disayangkan berkali-kali mengungkap konspirasi dan kongkalikong jahat, hanya sekedar ramai di awal, tapi menguap dan bahkan sepi diakhir..
Kita patut apresiasi pihak kepolisian atau aparat penegak hukum lain yang berhasil mengungkap dugaan adanya praktik berbagai mafia, tapi sayang kelanjutannya nyaris nihil. Kalaupun ada aktor dibalik konspirasi jahat tersebut, yang disidik dan berlanjut sampai meja hijau masih sangat minim dan masih terbilang kategori ecek-ecek alias kelas teri, nyaris tidak pernah menyentuh aktor kelas kakap atau “big fish”. Sehinga nyaris proses hukum terhadap praktik mafia ini, laiknya hangat-hangat tai ayam. Sehingga wajar, jika sampai saat ini praktik mafia masih terus berlanjut.
Sebut saja misalnya, kasus mafia pajak, Gayus Tambunan. Pihak aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK) yang menyidik kasus tersebut, hanya berhenti pada aktor-aktor kelas ecek-ecek seperti Gayus yang hanya pegawai rendahan. Padahal, menurut dugaan kuat KPK mafia pajak Gayus tidak hanya melibatkan Gayus seorang, tapi laiknya sebuah mafia, juga melibatkan banyak orang-orang penting dan berpengaruh, baik secara politik maupun ekonomi, bergerak sagnat rapi dan tertutup. Bahkan KPK saat itu, menjelaskan ada puluhan perusahaan besar miliki orang besar yang terlibat dalam praktik mafia pajak Gayus dan diduga kuat telah merugikan keuangan negara mencapai puluhan triliun. Sehingga publik tak salah menyebut, Gayus hanya pion yang dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan orang besar dan yang punya pengaruh besar.
Mengungkap kasus mafia pajak Gayus, ternyata bukannya menjadi pintu masuk untuk mengungkap dan menangkap “the big fish”, namun yang terjadi justru menjadi pintu penutup untuk “the big fish”. Dan yang lebih memuakkan publik, skenario hukum semacam ini, tak hanya terjadi pada kasus mafia pajak, tapi juga terjadi pada kasus mafia-mafia lainnya yang terjadi di Indonesia, termasuk mafia hukum, mafia migas, mafia daging sapi, mafia pelabuhan dan mafia listrik yang saat ini sedang disidik pihak kepolisian.
Sulit disentuh
Pertanyaannya, mengapa kasus mafia (apapun objeknya) sulit diungkap secara tuntas, plus menyeret para aktor utama mafia (the big fish) atau intellectual dadder? Apa karena kasusnya sangat kompleks, termasuk karena kasusnya melibatkan aktor-aktor yang tidak sembarangan alias aktor yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi tertentu sehingga sulit disentuh (untouchable)?. Hukum menjadi tumpul ketika berhadapan dengan mereka. Kondisi semakin mengonfirmasi apa yang ungkapan diungkapkan oleh Anarcharsis, Filsuf Yunani pada abad 7 SM: “Hukum itu adalah jaring laba­laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang­orang miskin, tetapi tidak mampu menjaring orang­orang kaya. Bahkan oleh orang­orang kaya, jaring laba­laba itu akan dirobek­robek olehnya”
Kredeo hukum “equality before law” nyata tidak berlaku dalam kasus mafia ini. menurut aktivis sosial, Eko Prasetyo, dalam tulisannya tentang Brengseknya Pendidikan Hukum Kita, mengatakan kredo hukum hanya sekedar macan kertas dan ahistoris. Batal bukan saja karena tak mencerminkan kenyataan, melainkan juga penuh dengan manipulasi. Siapa yang pernah berurusan dengan hukum dan aparatnya akan mengerti kalau pernyataan itu sesat. Persisnya, semua orang itu tak sama di hadapan hukum. Kelas sosial lebih menentukan bagaimana orang berurusan dengan hukum dan bagaimana hukum bekerja. Yang terjadi justru hukum bekerja laiknya pedang; tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Kasus mafia, tak sekadar kejahatan pidana biasa. Ia  masuk dalam kategori extra ordinary crime; bersifat struktural, sistemik, dan masif. Mafia tak hanya melibatkan jaringan dan jejaring personal para politisi dan pengusaha, tapi juga sudah mengarah pada jejaring institusi politik dan kekuasaan di negeri ini. Ini adalah kejahatan besar laiknya “Laba-Laba”, melibatkan jejaringan yang cukup rumit. Kejahatan struktural-sistemik yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan kasus mafia di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik dan ekonomi yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun aktor mafia nyaris tak pernah tersentuh.
Ujian Polri
Kasus mafia -mafia apapun-, tak sekadar kejahatan pidana biasa, ia adalah juga kejahatan terhadap kemanusiaan, masuk dalam kategori extra ordinary crime dan karenanya perlu adanya extra judicial action. Di tengah kompleksitas masalah hukum dan semakin canggihnya perilaku tindak kejahatan (baca: mafia), hukum positive/konvensional yang ada tidak cukup untuk menjerat para mereka. Dibutuhkan aparat penegak hukum yang punya nyali besar, benar-benar punya integritas, moralitas, dan sifat adil yang terinternalisasi dalam dirinya. Atau dalam perspektif Satjipto, menjadi aparat penegak hukum yang progresif. Ingat ucapan BM Taverne (1874-1944), ahli hukum asal Belanda: “Beri aku hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun, aku bisa mewujudkan keadilan”.
Kasus mafia listrik, daging sapi (import), dan pelabuhan yang sekarang sedang menjadi sorotan publik, akan menjadi ujian cukup serius bagi aparat kepolisian. Semua ini yang harus diusut dan diurai secara tuntas. Tekanan politik-kekuasaan sudah mulai menghadang. Dalam kasus Pelindo II, polisi telah menetapkan satu tersangka. Ujian selanjutnya yang akan dihadapi aparat kepolisian; apakah akan berani dan konsisten untuk membongkar kejahatan terorganisir tersebut sampai menjaring “the big fish” atau tidak?. Kita sangat berharap aparat keopolisian akan bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh oleh tekanan politik dari manapun dan siapapun. Kini gebrakan hukum lanjutannya dari polisi akan ditunggu publik, terutama tersangka lain “the big fish”-nya. Semoga tidak happy ending.

                                                                                             ———————– *** ————————

Rate this article!
Mafia dan Ujian Polri,5 / 5 ( 1votes )
Tags: