Mahar Politik dan Selebrasi Kekalahan

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Kita tentu bersepakat agar praktik politik uang (money politics) dalam Pilkada serentak 2018 tidak terjadi. Politik transaksional, telah memicu praktik korupsi. Terseretnya sejumlah kepala daerah dan tokoh politik dalam berbagai kasus korupsi bisa jadi merupakan limbah dari politik transaksional yang pernah dilakoninya. Nafsu berkuasa mengakibatkan seseorang melakukan berbagai cara dan menyederhanakan cara untuk meraih kekuasaan. Inilah yang terjadi, politik transaksional kerap bahkan selalu terjadi dalam setiap gelaran pilkada dan pemilu. Namun tentu kita juga meyakini bahwa masih ada figur-figur yang relatif bersih dari praktik-praktik nista tersebut.
Publik sedih karena politik transaksional sepertinya sudah menjadi wajah demokrasi di negeri ini. Momentum Pilkada serentak inilah sepatutnya rakyat melakukan perlawanan terhadap politik transaksional. Rakyat harus cerdas untuk tidak memilih calon kepala daerah yang melakukan politik uang, memberikan mahar politik, dan lainnya. Yang kita inginkan terpilihnya kepala daerah yang punya integritas, amanah, dan jujur.
Namun harapan agar pilkada jauh dari politik transaksional rasanya masih jauh panggang dari api. Belum jauh tahapan Pilkada bergulir, isu mahar politik begitu menyengat baunya. Namun, perbincangan soal mahar politik yang sempat menguat beberapa waktu lalu, kini kembali tenggelam dan nyaris tidak terdengar lagi. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim La Nyala Mataliti yang sempat akan maju Pilgub Jatim lewat Partai Gerindra mencoba menghangatkan tensi politik dengan membuat pengakuan adanya permintaan sejumlah –yang kemudian disebut sebagai mahar politik– ke pihak tertentu di Partai Gerindra agar bisa mendapatkan rekomendasi dari Partai. Bahkan nama Prabowo sempat ikut terseret dalam kasus mahar politik tersebut.
Statement yang ‘mengagetkan’ tersebut pun akhirnya menghangatkan suasana menuju penyelenggaraan Pilkada serentak tahun ini. Mahar politik lantas menjadi isu nasional dan menjadi berbincangan dimana-mana. Seolah semua ingin menunjukkan sikap dan keberpihakannya dalam mewujudkan pilkada yang bersih. Awalnya, banyak pihak berharap agar pengakuan adanya mahar politik tersebut akan menjadi momentum untuk menyingkap praktik mahar politik yang hampir selalu membayangi setiap penyelenggaraan pilkada. Sayangnya, isu mahar politik lambat laun hilang tanpa kabar. Hampir semua mafhum, bahwa persoalan mahar politik dalam Pilkada itu nyata dan benar adanya. Hanya yang mungkin jadi masalah adalah siapa yang secara ksatria berani mengungkapkan mahar politik?
Selebrasi Kekalahan
Umumnya, pihak-pihak yang mengungkapkan terjadinya mahar politik tidak bermaksud untuk mengungkapkan terjadinya praktik politik terlarang tersebut, tetapi lebih sebagai manifestasi menutup malu semata atas kegagalan dalam berkontestasi politik khususnya dalam perebutan rekomendasi partai. Tudingan praktik politik uang tersebut lebih sering menjadi cerita yang muncul dari orang-orang yang tersingkir dari panggung politik. Sederhananya, apa yang disampaikan La Nyala Mataliti terkait tentang adanya mahar politik bisa saja benar, namun benarkah pengungkapkan hal tersebut dilatari oleh keinginan untuk membongkarnya? Rasanya kok tidak. Dan terbukti, nyaringnya pengungkapan adanya mahar politik hanya sekadar abang-abang lambe penutup cerita tentang gagalnya memperoleh rekomendasi partai untuk maju di Pilgub Jatim.
Pengalaman kita, tudingan-tudingan seperti itu tak lebih sebagai pelarian dan menutup aib kekalalahan semata dalam berkontestasi politik. Singkatnya mahar politik hanya dijadikan kambing hitam atas kegagalanya dalam mendapatkan rekomendasi dari partai politik. Dan dugaan ini semakin menemukan pembenaranya, karena ketika dilacak lebih jauh toh akhirnya hilang tanpa kabar lagi.
Dalam tradisi politik kita, khususnya dalam kontestasi politik sering menghadirkan selebrasi politik yang dilakukan oleh pihak yang kalah bertarung. Selebrasi yang dilakukan tidak lain adalah untuk menyelamatkan muka dihadapan publik. Nampaknya sikap kelegawaan dan keikhlasan untuk mengakui kalah dalam kontestasi politik belum terbangun secara apik di negeri ini. Tudingan mahar politik, ataupun praktik money politics lumrah muncul seusai terjadi kontestasi politik baik di ajang Pilkada, atau ajang perebutan kursi di partai politik. Pihak yang kalah menuding pihak yang menang melakukan money politics, seolah sudah biasa terjadi. Dan biasanya, tudingan itu juga akan hilang dengan sendirinya. Lantaran itu kalau hari ini ada yang mengungkapkan adanya praktik-praktik sejenis, tidak perlu berharap banyak, karena pengungkapan itu hanya sekadar kambing hitam untuk menjaga ‘harkat dan martabat’ dirinya semata.
Memahami Mahar Politik
Dalam praktik politik Indonesia lebih satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik dipahami publik sebagai transaksi di bawah tangan atau illicit deal yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari calon untuk jabatan yang diperebutkan (elected office) dalam pemilu/pilkada dengan parpol yang menjadi kendaraan politiknya.
Berbagai kalangan menentang adanya mahar politik bagi calon kepala daerah. Hal ini dilakukan parpol untuk mendulang dana dan mengisi kas. Parpol akan menjual tiket kandidasi atau pencalonan bagi orang yang mau menjadi kepala daerah atau legislator.
Mahar politik adalah wajah lain dari money politics yang akan selalu menjadi hantu dalam penyelenggaraan kontestasi politik baik saat penyelenggaraan Pilkada ataupun dalam setiap penyelenggaraan di internal partai politik masing-masing. Memang tidak semua bakal calon harus mengeluarkan uang mahar untuk memperoleh restu atau surat keputusan dari DPP partai politik. Mahar politik biasanya juga tidak berlaku bagi bakal calon yang memiliki elektabilitas tinggi. Tetapi bagi bakal calon yang elektabilitasnya hanya di tingkat rata-rata, dan orang jauh partai, lazimnya menyerahkan mahar politik berupa uang.
Berapa jumlahnya? Bervariasi. Ada yang dihitung berdasarkan jumlah kursi di DPRD atau hitung-hitungan lain yang dirasionalkan. Mahar itu biasanya dikatakan sebagai biaya sosialisasi, biaya saksi dan sebagainya. Pertanyaannya adalah, apakah Panwaslu sudah mendeteksi atau sudah melakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya praktik transaksi mahar politik dalam proses pencalonan yang berlangsung hingar-bingar sejak beberapa waktu lalu? Apabila, Panwaslu sudah melakukan deteksi atau pengawasan, betulkah tidak ada satu pun yang melakukan transaksi mahar politik?
Sebelum kasus La Nyala muncul, seorang Dedi Mulyadi yang nota bene adalah Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat juga pernah mengungkapkan ada pihak yang memintai dana Rp10 miliar. Namun cerita tetaplah cerita yang hanya menatik untuk diskusi dan rasan-rasan. Tidak perlu terlalu berharap ada pihak yang serius mengungkap masalah ini. Mengapa? Karena terlalu luas cakupan dan meluas pihak yang terlibat dan bisa jadi akan bingung sendiri ketika praktik ini akan benar-benar diungkap.
Terkait gelaran pilkada ini, tentu kita mendukung langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersinergi dalam pengawasan dan pencegahan pelanggaran terkait dana kampanye, mahar politik, dan politik uang. Ada beberapa peran yang dilakukan Bawaslu terkait pencegahan, pengawasan, dan penindakan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu. Pertama persoalan politik transaksional. Hal ini untuk mendapatkan calon kepala daerah orang yang punya integritas.
Soal politik transaksional, Bawaslu melakukan pengawasan tahapan pencalonan. Pertama, bagaimana dana kampanye peserta pemilu juga terkait penanganan “money politics” dan lain-lain. Karena itu, transaksi dana mahar politik diduga bukan sekadar isapan jempol melainkan suatu yang rill terjadi dalam proses pencalonan. Oleh sebab itu, kembali harus dipertanyakan, apakah Panwaslu sudah melakukan pengawasan terkait transaksi dana mahar politik pada proses pencalonan yang berlangsung hingar – bingar beberapa waktu lau?
Beberapa tahap pilkada selanjutnya, juga berpotensi besar terjadi politik uang. Antara lain terkait dana kampanye. Panwaslu sesuai perintah UU Pilkada harus mengaudit secara baik dana kampanye baik dari calon, sumbangan pihak lain dan lain sebagainya. Kerjasama Bawaslu dan KPK tersebut layak diapresiasi agar pilkada serentak tidak diwarnai praktik politik transaksional. Sekaligus mengurangi potensi politik biaya tinggi.
——- *** ———

Rate this article!
Tags: