Mahasiswa DKV ISTTS Pamerkan Karya Fotografi Jurnalistik

Ardalina Luvitasari Candra Gunawan mengamati karya fotonya yang dipamerkan bersamaan dengan perayaan Dies Natalis ISTTS yang ke-38, Senin (13/11). [Gegeh Bagus Setiadi]

Kamera Dibalut Jaket Agar Hasil Foto Terlihat Natural
Surabaya, Bhirawa
Kejelian melihat situasi menjadi bekal utama bagi sang fotografer dengan genre Human Interest (HI). Sebuah karya foto yang menekankan pada manusia sebagai obyek utamanya ini membuat pengambil foto ditantang lebih kreatif. Hal inilah yang dilakukan Ardalina Luvitasari Candra Gunawan. Mahasiswa DKV semester 7 Institut Sains Terapan dan Teknologi Surabaya ini memamerkan karyanya bersama 200 karya mahasiswa lainnya.
Ardalina terlihat sibuk menata 10 karya fotonya di lantai dasar Gedung B, Senin (13/11) kemarin. Perempuan asal Kediri, Jawa Timur ini memang didapuk sebagai Ketua Pameran Fotografi bertema ‘TITI WANCI’ dalam rangka Dies Natalis iSTTS yang ke-38 sampai 16 Nopember 2017. Ia mengaku kesulitan saat memotret human interest. Bukan hanya itu, foto street dan culture budaya yang juga karyanya mengalami hal yang sama.
Perempuan berkulit putih ini mencontohkan saat pengambilan fotonya yang berjudul ‘Perjalanan Tanpa Kata’ di kawasan Jembatan Merah Plaza (JMP). Ia harus melakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui sang obyek. Bahkan, kamera yang digenggamnya itu dibalut dengan jaket dan dilakukan berulang kali. Dimana, obyek sepasang orang yang sedang mengendarai becak motor (bentor) tersebut diawasinya setiap kali lewat.
“Kalau HI (human Interest) susahnya itu harus menunggu momen yang pas. Selain itu juga harus bisa berkomunikasi dengan baik dengan obyek yang akan difoto, karena tidak semua orang mau difoto. Makanya, saat pengambilan ini harus sembunyi-sembunyi dan mengenali lingkungan sekitar,” ungkapnya saat ditemui Bhirawa, kemarin.
Menurut Ardalina, kalau sang obyek tahu bahwa dirinya dijadikan sasaran, ada kemungkinan kalau mereka akan bersikap kurang natural. Meskipun demikian, terkadang hal itu adalah yang terbaik untuk menghindarkan ketersinggungan yang bisa menghadirkan sesuatu yang kurang enak.
“Sebelumnya saya mengamati dulu lokasi dan obyek hingga beberapa kali. Hingga kemudian obyek melewati kembali jalan tersebut dan saya abadikan,” ceritanya. Selain foto human interest, lanjut dia, keslulitan lainnya juga dialami ketika memotret culture. Sebab, dirinya harus bisa mencari tempat yang pas untuk bisa menghasilkan angel (sudut pandang) dan komposisinya. “Ini juga sulit karena obyek yang saya ambil pada saat itu di acara Larung Sesaji di Gunung Kelud. Saat itu kita harus bisa memframe di pikiran kita mana yang sekiranya oke untuk di foto,” terangnya.
Pada kesempatan sama, Dosen Fotografi iSTTS, Yulius Widi Nugroho menjelaskan bahwa pameran fotografi jurnalistik ini diikuti oleh 19 mahasiswa dengan total karya 200 foto terbaru dan tanpa rekayasa dari mata kuliah pilihan. Sebab, karya-karya ini memang mengutamakan momen dan kejadian yang sebenarnya. “Mahasiswa harus lebih berani lagi untuk memotret. Karena masih ada yang malu dan yang paling utama adalah kreativitas mengambil momen,” tuturnya.
Yulius juga memamerkan karyanya sebanyak 20 foto yang berjudul ‘Pemahaman Tanda ala Indonesia’. Dimana dalam foto tersebut digambarkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak paham akan adanya rambu lalu lintas (lalin). “Ini bentuk kritikan sosial kepada masyarakat umum yang tidak memperhatikan tanda rambu. Seperti parkir di bawah rambu dilarang parkir,” pungkas dia. [geh]

Tags: