Mahasiswa, Siapa Anda ?

Hasnan BachtiarOleh :
Hasnan Bachtiar
Peneliti Filsafat di Pusat Studi dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang

“Jiwaku menyanyikan lagu Mas Kumambang. Kami adalah angkatan pongah, besar pasak dari tiang…kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan, karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu…dan…masa kini.” WS. Rendra
Hal yang pertama kali harus ditanyakan pada setiap pribadi yang tiba di universitas adalah, “Siapa Anda?” Siapa diri ini sebagai mahasiswa? Apa tugas mahasiswa sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tidak bisa hanya menjawab dengan keputusan yang sepele, kecuali “kepongahan” tengah menjangkiti jiwa kita.
Mahasiswa sebagai anak bangsa, tiada cukup hanya mengidentifikasi dirinya, sekedar sebagai pelajar yang biasa. Setiap pribadi dalam suatu masyarakat, senantiasa mengemban tanggungjawab sosial. Masalahnya, apakah ada yang memahami tanggungjawabnya? Sesungguhnya, tanggungjawab tersebut, tidak terlepas dari masalah apa yang sedang kita hadapi bersama.
Apa yang ada di hadapan kita? Bangsa ini terjajah selama 350 tahun lebih, oleh Belanda, Jepang dan sekutu. Kebudayaan kita, pola pikir kita, ideologi kita, paling tidak bermuara pada dua hal: yang pertama adalah kekuatan perlawanan, sedangkan yang kedua adalah kepongahan. Yang kedua inilah yang paling penting untuk diuraikan. Kepongahan adalah watak hasil konstruksi penjajahan.
Kiranya ada istilah khusus untuk kepongahan ini, nama “inlanderisme” sangat tepat bagi mereka yang tidak mampu berbuat untuk sesama. Di hadapan pelbagai kemajuan bangsa lain, seringkali rendah diri, akalnya tertawan (captive mind) dan mengalami keminderan yang luar biasa (inferiority complex). Maka tidak heran, bila segala kebudayaan, tradisi dan gaya hidup “palsu” menjadi kiblat hampir seluruh kawula muda. Itulah wujud nyata inlanderisme.
Di sisi lain, dalam perspektif struktural, Indonesia selalu terjajah baik secara ekonomi, maupun sosial dan politik. Negeri ini tidak pernah membuat keputusan internasional yang mandiri, tanpa tekanan dari pelbagai pihak, khususnya negara para pemilik modal. Sumber daya alam kita dikeruk, dijarah, dijajah tanpa tiding aling-aling. Bahkan belakangan, terjadi gaduh yang luar biasa mengenai perkara pembaruan kontrak eksploitasi Freeport. Bila inlanderisme tidak menjangkiti, pemilik kebijakan tidak mungkin berkenan untuk membiarkan segala tindak laku yang merugikan negara.
Kepongahan ini tanpa disadari menjalar ke seluruh aspek kehidupan. Inlanderisme menjelma sebagai “korupsi sejak dalam pikiran”. Karena hal ini penyakit watak, kebudayaan dan pola pikir yang sulit diobati. Pada sistem dan struktur pemerintahan, tidak ada satu wilayah pun republik ini yang bebas dari korupsi. Semua penguasa, identik sebagai koruptor. Menengok dari lain sisi, kemiskinan seperti kanker stadium akhir, yang mustahil untuk disembuhkan kecuali dibiarkan mati. Model pembangunan apapun dari pemerintah, bila berbasis ide yang koruptif dan kehendak korupsi, tidak akan pernah mengangkat setitik harkat dan martabat dari jurang kemelaratan.
Konflik sosial terjadi di mana-mana, kriminalitas meningkat tajam, transportasi yang kacau balau, kebodohan massal, distribusi kekayaan yang timpang, bahkan pendidikan sebagai basis kemajuan bangsa memiliki standar yang sangat rendah. Pertanyaan pada uraian awal kritik ini perlu diulang kembali, “Mahasiswa, siapa anda?”
Dalam sajaknya, Rendra ingin menyebut bahwa anda bukanlah mahasiswa, bila anda pongah membaca sejarah masa lalu dan masa kini. Sejarawan kritis Howard Zinn dan Huizinga menandaskan bahwa sejarah sesungguhnya bukan mencoba memahami hal ihwal kejadian lampau, namun juga mencari alasan-alasan agar manusia mampu bertanggungjawab akan persoalan di masa depan. Sementara masa kini, kita harus terlibat, berbuat dan menjadi aktivis yang membongkar inlanderisme, kepongahan, rasa rendah diri, ketidakberdayaan, ketakutan dan seluruh kesadaran kebudayaan yang anti kemanusiaan (dehumanistik).
Filsafat Bermahasiswa
Bila telah memahami bahwa, mahasiswa sesuai dengan kodratnya, telah mengemban tanggungjawab, maka secara lebih serius, kita mesti menanyakan, “Apa fungsi mahasiswa?” Segala fungsi pastilah pragmatis. Hanya saja, pragmatisme yang hendak dijalankan haruslah berpijak pada akal suci yang sejati. Akal suci yang sejati adalah panggilan jiwa yang paling tulus. Bila termanifestasi dalam uraian moral, maka tiada lain kita mahasiswa berfungsi memihak kemanusiaan.
Keberpihakan terhadap kemanusiaan ini, menurut Kuntowijoyo dapat digali dari al-Quran, surat Ali Imran ayat 110, yang artinya, “Engkau adalah umat terbaik, yang diturunkan di tengah umat manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.” Ayat ini sangat berhubungan erat dengan eksistensi mahasiswa yang berfungsi sosial.
Paling tidak, ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut: konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik. Pertama, mahasiswa akan menjadi kelompok utama, tatkala mampu melaksanakan “pengabdian kemanusiaan” bagi umat manusia (civil society); Kedua, mahasiswa yang mengemban misi kemanusiaan, berarti berbuat untuk manusia dalam bentuk aktivisme sosial dan membentuk sejarah; Ketiga, mahasiswa harus memiliki kesadaran, yaitu kesadaran ilahiah. Dengan kata lain, suatu bentuk “keterpanggilan etis” untuk kemanusiaan yang dilandasi oleh spirit teologis; Keempat, mahasiswa berlaku berdasarkan etika profetik, yaitu etika yang berlaku umum untuk menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah (transendensi).
Bagaimana mahasiswa beretika profetik? Etika ini memiliki tiga prinsip utama, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Pertama, humanisasi bermakna memanusiakan manusia.  Di hadapan situasi kontemporer, kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi situasi industrial. Situasi ini merubah pola-pola kebudayaan yang ada. Kemanusiaan, kadangkala tergantikan atau bahkan tidak lebih penting dari kepentingan industrialisme. Orientasi profit yang dijalankan melalui cara produksi (mode of production), membentuk pola pikir manusia yang konsumtif, bahkan membentuk masyarakat konsumsi (the consumption society).
Barang, mesin, uang dan kepentingan pasar merupakan prioritas dari pada kemanusiaan, yang hanya melayani dan dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian orang saja, khususnya pemilik kapital. Berseberangan dengan hal ini, maka mereka yang jauh dari kepemilikan modal, menjadi miskin, termarginalkan dan tersisih dari komunitas industrial (teralienasi). Humanisasi merupakan cara pandang, di mana kesadaran kemanusiaan untuk memanusiakan manusia, diupayakan untuk menjawab pelbagai problem masyarakat dewasa ini.
Kedua, liberasi adalah upaya untuk menetralisir segala bentuk tindak laku yang dehumanistik. Upaya ini menjadi sangat penting, karena dalam setiap struktur sosial, khususnya dalam konteks masyarakat industrial-kapitalistik, tidak hanya ada para pemilik modal dan pekerja, namun juga berlangsung sistem dominatif, hegemonik dan eksploitatif. Dengan kata lain, ada kelas yang menindas, ada pula yang tertindas. Liberasi sebagai prinsip etika profetik, berguna untuk membuat netral kondisi “penjajahan” tersebut. Liberasi, bermakna pembebasan atau pemerdekaan bagi kemanusiaan di hadapan sistem sosial yang tiranik.
Ketiga, transendensi adalah mengembalikan segala urusan kehidupan kepada Tuhan. Prinsip ini sebenarnya merupakan upaya untuk mengoptimalkan spiritualitas manusia, sebagai hamba. Terlebih bahwa, transendensi diharapkan menjadi nilai kesadaran umat, yang bersifat komunal atau memasyarakat. Humanisasi dan liberasi, keduanya semata-mata diupayakan karena prinsip transendensi ini. Segala upaya humanisasi dan liberasi, bukanlah pemikiran dan sikap manusia yang reaktif dan picik. Upaya pembelaan terhadap kemanusiaan, misalnya dihadapan dehumanisasi yang menindas, bukan bahwa kelas penindas digantikan posisinya oleh kelas tertindas sebagai penindas baru, namun lebih kepada upaya untuk memperjuangkan keadilan kemanusiaan.
Bermahasiswa Sejati
Menimbang uraian problem kekinian, tanggungjawab dan etika bermahasiswa, maka kita sebagai mahasiswa, tidak sedang bermain-main. Universitas adalah tempat yang serius menimba ilmu. Kampus adalah tempat yang serius untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis, keberanian melawan struktur kuasa yang tiranik dan kawah candradimuka untuk mengumpulkan kekuatan keberpihakan terhadap golongan marginal.
Ada beberapa pikiran kritis agar anda menjadi mahasiswa yang berfungsi sosial. Pertama, benar-benar menghargai dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan; Kedua, menjadi aktivis yang benar-benar aktivis (bukan berpura-pura atau menjadi aktivis palsu), yang turut serta dalam agenda perubahan sosial; Ketiga, mengembangkan pemikiran dan kesadaran kritis, membaca buku-buku kritis (kritik ideologi, ilmu sosial kritis, teologi pembebasan, gerakan sosial baru, pendidikan kritis dan lain sebagainya) dan gemar berdiskusi dengan pikiran yang tajam, terbuka, toleran, penuh kesantunan dan bersahaja; Keempat, selalu gemar membaca kondisi sosial masyarakat, peduli, memihak dan bila perlu, – dalam kasus menghadapi struktur kuasa yang menindas – maka mahasiswa harus menjadi garda depan dalam perlawanan sosial.
Pembaca yang budiman, khususnya para mahasiswa yang sejati, semoga dengan adanya uraian singkat ini, dapat mempertajam nurani anda untuk benar-benar menjadi mahasiswa. Agar kita mampu menjawab sajak Rendra, “Kami adalah generasi pemberani, yang menguasai tata buku masa lalu dan tata buku masa kini.” Selamat belajar, selamat bekerja keras, selamat menjadi mahasiswa di seluruh universitas di Indonesia tercinta.

                                                                                                      ——————– *** ———————

Rate this article!
Mahasiswa, Siapa Anda ?,5 / 5 ( 1votes )
Tags: