Mahasiswa UK Petra Berbagi Kisah pada Anak-anak Eks Lokalisasi Dolly

Keenam mahasiswa UK Petra Jurusan DKV foto bersama puluhan anak-anak eks Lokalisasi Dolly di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) RW 11 Putat Jaya, Kamis (1/12) kemarin. [gegeh bagus setiadi]

Keenam mahasiswa UK Petra Jurusan DKV foto bersama puluhan anak-anak eks Lokalisasi Dolly di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) RW 11 Putat Jaya, Kamis (1/12) kemarin. [gegeh bagus setiadi]

Terenyuh saat Melihat Tingkah Laku Lebih Dewasa dari Usianya
Kota Surabaya, Bhirawa
Gelagat anak-anak saat ini perlu diwaspadai oleh orangtua. Apalagi, tindakan dan perbuatan yang ditunjukkan anak-anak sudah layaknya orang dewasa. Hal inilah yang terjadi pada anak-anak eks lokalisasi Dolly. Cara bersikap, bercanda, bermain anak-anak ini sudah menggambarkan kedewasaannya meski masih tergolong usia dini.
Kamis (1/12) siang kemarin anak-anak eks lokalisasi Dolly berkumpul di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) RW 11 Jalan Putat Jaya 9B. Di sudut ruang berukuran 7×5 m2 itu, raut wajah anak-anak tampak kegirangan dibandingkan dari hari biasanya. Sebab, mereka yang biasanya hanya bermain di ruang yang disediakan Pemkot Surabaya sepulang sekolah itu mendapatkan cerita tersendiri.
Bagaimana tidak, kedatangan mahasiswa Universitas Kristen Petra jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) menjadi angin segar bagi anak-anak eks lokalisasi terbesar di Asia ini. Mahasiswa semester satu ini pun mengaku tidak mudah untuk mencairkan suasana kepada anak-anak. Perlu rayuan sebelum melakukan service learning berbagi kisah rakyat bertajuk ‘Kisah yang (hampir) Terlupakan’.
Interaksi mahasiswa kepada anak-anak  ini memang sengaja dikemas dengan cara mendongeng. Sebuah perancangan media komunikasi visual cerita rakyat surabaya berbasis service learning. Ya, mata kuliah Sejarah Budaya Indonesia (SBI) ini bentuk upaya pemberdayaan masyarakat eks lokalisasi. Diharapkan, ke depan mampu merancang dan menyajikan konten sejarah budaya dalam berbagai wujud. Salah satunya yakni mengasah mahasiswa untuk mampu menemukan permasalahan dalam masyarakat dan mengajukan alternatif solusinya.
Caranya, dengan diajak berbagai permainan tradisional yang saat ini sudah mulai ditinggalkan anak-anak.
Di tengah permainan, salah satu mahasiswa semester satu jurusan DKV, Renata Rizky Dwiputri ini sempat terkejut ketika melihat salah satu anak melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan di sela proses bermain berlangsung.
“Saya sendiri nggak menyangka anak-anak di sini (eks lokalisasi Dolly, red) melontarkan kata-kata rusuh saat bermain bersama teman-temannya,” katanya kepada Harian Bhirawa kemarin.
Menurutnya, mengenalkan cerita rakyat kepada anak-anak eks lokalisasi perlu adanya pendekatan terlebih dahulu. Mulai dari diadakan game, serta cara-cara lainnya. Namun, dia merasa ada perbedaan terhadap anak-anak pada umumnya dengan anak-anak eks lokalisasi.
“Memang sulit mengatur anak-anak ini. Salah satunya juga ada yang berani berbohong kepada kami. Untuk membuat anak-anak nurut juga harus kami berikan reward dan punishment,” ujarnya.
Dengan begitu, perempuan berambut panjang ini pun akhirnya mengetahui tidak semua anak-anak pola pikirnya sesuai dengan usianya. “Kalau anak-anak di sini pola pikirnya lebih cepat, ya,” jelasnya.
Sementara, Dosen mata kuliah Sejarah Budaya Indonesia Universitas Kristen Petra Aniendya Christianna mengatakan kegiatan ini sebagai dukungan program Pemkot Surabaya bersama Dinas Sosial untuk upaya pemberdayaan eks lokalisasi. Dengan harapan, lanjutnya, mahasiswa mampu merancang dan menyajikan konten sejarah budaya dalam berbagai wujud.
“Tujuannya, mahasiswa bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat dari kampus. Apalagi anak-anak di sini juga beragam dan lebih berani. Jadi perlu adanya pendekatan agar supaya anak-anak bisa belajar dan mengerti tokoh-tokoh yang ada di Surabaya dengan cara mendongeng,” katanya saat ditemui di tempat yang sama.
Dosen berambut pendek ini mengakui anak-anak eks lokalisasi lebih berani. Tingkah lakunya lebih mengarah pembangkangan dan bercandanya dengan fisik. “Anak-anak di sini di luar ekspektasi. Jadi perlu adanya pendampingan ekstra,” katanya.
Usia remaja adalah masa di mana tumbuh kembang dan pribadi seorang anak mulai terbentuk. Faktor kondisi rumah tangga dan pola relasi antara orangtua dan anak serta lingkungan mempengaruhi banyak aspek perkembangan dalam diri sang anak.
Lantas, bagaimana dengan kondisi dan psikis anak-anak yang hidup dalam lingkup lokalisasi? Sebab, keberadaan lokalisasi ternyata menjadi ‘momok’ yang menakutkan hingga menimbulkan trauma mendalam bagi anak-anak.
Hal itu juga diakui Petugas Taman Bacaan Masyarakat (TBM) RW 11 Putat Jaya Dedi Kurniawan. Menurutnya,  anak-anak eks lokalisasi proses berpikirnya lebih dewasa dari usianya. Hal itu dikarenakan karena faktor lingkungan. “Anak-anak di sini sudah tahu masalah seks. Dari segi bicaranya itu sudah seperti orang dewasa,” katanya.
Oleh sebab itu, Dedi terus berupaya melakukan berbagai inovasi dalam proses belajar mengajar kepada anak-anak yang mengunjungi TBM usai pulang sekolah. Mulai belajar mendongeng, bercerita, hingga merangkum buku bacaan.
Ada juga salah satu pengunjung yang bosan dengan adanya buku-buku akhirnya diadakan rolling buku antar TBM. “Hal ini kami lakukan semata-mata agar anak-anak di sini betah belajar dan bermain usai pulang sekolah,” tuturnya. [Gegeh Bagus Setiadi]

Tags: