Maiyah: Jalan Sunyi yang Mencerahkan

Rip F RachmanOleh:
Rio F. Rachman
Alumnus S2 Fisip Universtas Airlangga

Forum Maiyah yang dalam terjemah bebas berarti kebersamaan, dilaksanakan satu bulan sekali di sejumlah kota. Di beberapa lokasi, forum ini memiliki nama sesuai kultur dan kearifan lokal. Misalnya, di Surabaya disebut Bang-Bang Wetan, di Jombang disebut Padhang Mbulan, di Yogyakarta disebut Mocopat Syafaat, di Jakarta disebut Kenduri Cinta, di Malang disebut Obor Ilahi, di Makassar disebut Paparandeng Ate, dan sebagainya. Maiyah juga acap dilaksakan di kota-kota lain yang waktunya tentatif.
Forum ini pada awalnya digerakkan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Namun dalam perkembangannya, pria yang akrab disapa Cak Nun menegaskan, Maiyah tidak bergantung pada sosok. Maiyah tidak berkiblat pada ketokohan tertentu. Maka itu, meski pada sejumlah jadwal lelaki kelahiran Jombang itu tidak hadir, forum tetap berlangsung dengan baik.
Maiyah seperti miniti jalan sunyi untuk mencari kebenaran. Sementara kebenaran itu, kata Nurcholish Madjid, tidak pernah absolut di tangan manusia. Kebenaran selalu dalam pencarian serupa kehidupan yang tengah menjelajah menuju yang Maha Benar: Al Haq, Tuhan.
Mengapa jalan yang sunyi? Karena forum ini berbeda dengan gerakan-gerakan lain. Gerakan yang di permulaan berkedok organisasi kemasyarakatan, bahkan keagamaan, akhirnya berkoalisi dengan kutub politik tertentu. Lantas menjadi gaduh dan heboh saban lima tahun sekali. Selebihnya, menjadi cermin nafsu tak terbendung.
Dalam perjalanan yang sudah lebih dari satu dekade, Maiyah tidak bertendensi kekuasaan apalagi kapital. Tidak ada keinginan untuk menjadi unggul dari yang lain. Justru, di sinilah tempat berbaur.
Siapapun boleh bergabung untuk mendengar pencerahan multi disiplin. Siapapun boleh bicara. Panggung depan tempat sejumlah narasumber duduk, dibuat lebih tinggi hanya agar dapat terlihat oleh hadirin yang paling jauh. Panggung itu sama sekali bukan pembeda antara narasumber dan penonton. Karena sejatinya, semua yang datang, tanpa kecuali, adalah narasumber.
Perbedaan adalah Pemanis
Dalam buku Kafir Liberal (Progress, 2005, hal 13), Cak Nun mencatat tentang seseorang yang mengaku berasal dari Jaringan Kafir Liberal. Pria yang sempat membuat panas kuping hadirin Kenduri Cinta itu diberikan porsi yang sama untuk bicara tentang kebenaran dan ketuhanan. Setidaknya, fenomena itu menjadi bukti, meski mayoritas yang datang beragama Islam, bukan berarti pihak non Islam terpinggirkan.
Pluralisme dengan analogi: biarkan kambing mengembik dan biarkan ayam berkokok dalam satu kandang, dipegang dengan seksama. Bahkan, orang tidak perlu menjadi theis, untuk “manunggaling” dalam kebersamaan. Dengan berkelakar, Cak Nun kerap bilang: iblis, setan, genderuwo, kaki seribu, dan jin apapun boleh nimbrung. Apalagi, manusia.
Aneka topik dibahas dalam pertemuan yang dihelat malam hari tersebut. Sambil lesehan beratap langit, karena tak semua orang kebagian duduk di bawah tenda, diskusi lintas “fakultas” dikemukan. Mulai tentang budaya, ekonomi, politik, sosial, pendidikan, agama, hingga konspirasi dunia dan lain sebagainya, tak pernah luput dari sorotan.
Perbedaan pandangan adalah pemanis. Bukan lantas menjadi ajang perdebatan dangkal yang justru mempermalukan diri sendiri. Sebaliknya, perbedaaan opini adalah referensi tak bertepi. Jangankan Ahmadiyah dan Syiah, seorang komunis-atheis pun dipersilakan mengajukan pendapat.
Bukankah perbedaan adalah sunatullah dan hukum alam yang mutlak? Bukankah tidak ada yang bisa menjamin seorang manusia akan tetap memegang teguh suatu agama, ideologi, pandangan, hingga dia mati kelak? Semua bisa berubah, bahkan berubah menjadi sesuatu yang awalnya pernah sangat dibenci.
Bukan Pengecut
Maiyah bukan forum media sosial yang pengecut karena komentatornya memilih anonim saat meluncurkan pendapat. Bukan pula akun-akun sok tahu dan sok suci yang doyan mengklaim kebenaran. Cobalah sesekali berkunjung ke Maiyahan, terlihat bagaimana perbedaan disikapi dengan kesabaran dan toleransi untuk memikirkan perspektif yang kontradiktif. Tidak ada saling hujat dengan hasrat menjatuhkan.
Forum Maiyah saat ini semakin tinggi gelombang gerakannya. Dengan konsisten, signifikan, penuh keikhlasan, tanpa banyak perhatian dari media massa mainstream. Tak hanya dapat dilihat dari peningkatan jumlah hadirin di masing-masing lokasi. Namun juga, dari makin menjalarnya cakupan semangat Maiyah di tanah air maupun dunia maya.
Di sini kebersamaan diagungkan melebihi apapun. Tepatnya, kebersamaan melangkah untuk mencari kebenaran. Yang kemudian dihayati dalam hati dan diaplikasikan dalam tindakan masing-masing.
Kemerdekaan berpikir yang menyasar pada perdamaian adalah keniscayaan. Manusia sangat mungkin berbeda pandangan dan pola pikir tak bisa dipaksakan. Namun, semua manusia ingin merdeka dan berdamai, bukan?
Dalam sajak Nikmat Hidup, HAMKA bersuara, hanya dua tempat bertanya: Tuhan dan hati. Sedangkan Tuhan tidak akan dapat ditemukan dalam otak yang kosong. Tuhan selalu meminta manusia “membaca” dan berpikir untuk kemudian mengecap ilmuNya.
Mufti kelahiran Palestina Imam Syafii menuturkan, percuma mencari ilmu jika hanya untuk pamer. Tentu, termasuk di dalamnya pamer pada orang yang berbeda strata dan pandangan. Apalagi, bila tujuannya menyombongkan diri.
Hati adalah wadah introspeksi tentang kehakikian tujuan. Kebenaran hanya dapat diserap dari hati yang luas dan kaya referensi. Bukan dari hati yang angkuh dan sulit terbuka.
Maiyah begitu jauh dari sikap tertutup atau eksklusif. Inilah yang membuatnya disukai dan dinantikan para penikmatnya pada setiap bulan. Forum yang menempatkan manusia sebagaimana seharusnya manusia, sebagai sesama makhluk di muka bumi.

                                                                                                                ——————- *** ——————

Rate this article!
Tags: