Majelis Sastra Urban #15, Kantong Sastra Surabaya Ada di Kampus

Diskusi puisi dan pertunjukan seni di pelataran Taman Budaya Jatim Jalan Genteng Kali Surabaya. Tepatnya depan Kantin Heri Lentho, Sabtu (25/06/2022) malam.

Surabaya, Bhirawa.
Mungkin ini berbeda dengan kota atau daerah lain, kantong-kantong sastra Surabaya mayoritas ada di kampus. Mulai dari Unair, Unesa, Uinsa, Unipa, Unusa, UMS, STKW, AWS, dan kampus lainnya.

Demikian diungkapkan oleh anggota Tim Kreatif Majelis Sastra Urban Nanda A Rahmah, Sabtu (25 Juni 2022). Penyair muda Surabaya itu menilai, kampus sebagai institusi intelektual menjadi ladang subur bagi kemunculan sastrawan baru. Aktivitas semacam pembacaan puisi ataupun diskusi sastra kerap diadakan oleh mahasiswa.

“Rata-rata sastrawan Surabaya berasal dari kampus. Di kampus mereka memulai atau mematangkan proses kreatif. Status mahasiswa membuka luas penjelajahan eksplorasi sastra sebagai bagian dari kerja intelektual. Infrastruktur dan situasi kampus turut menunjang pula,” kata Nanda yang kebetulan memulai kepenyairan di Teater Gapus Unair.

Menyikapi fakta tersebut, kata Nanda, sejak kegiatan awal, yaitu tahun 2028, Majelis Sastra Urban selalu berusaha memberi kesempatan luas bagi mahasiswa yang memiliki hobi menulis sastra. Juga mahasiswa yang bergiat di wilayah seni. Tujuannya agar mahasiswa mendapatkan ruang eksplorasi, bertemu dengan publik, saling bertukar gagasan, dan mematangkan proses kreatifnya.

“Kerap kali, Majelis Sastra Urban itu menjadi tempat pertama mahasiswa membacakan puisi ataupun menjadi narasumber di hadapan publik. Bertemu audien umum. Sebelumnya mereka hanya berkutat di kampus atau di ruang maya,” kata Nanda.

Setelah sempat prei akibat pandemi Covid-19, bulan ini, Majelis Sastra Urban hadir kembali dengan menggelar diskusi puisi dan pertunjukan seni, Sabtu (25 Juni 2022) malam di pelataran Taman Budaya Jatim, tepatnya depan Kantin Heri Lentho. Pergelaran bertajuk Mahmoud Darwish dan Tradisi Puisi Kita. Perhelatan ini merupkan edisi ke lima belas.

Koordinator Majelis Sastra Urban Ribut Wijoto menuturkan, puisi-puisi Mahmoud Darwish layak untuk dibicarakan karena mengandung 2 aspek penting. Pertama dari aspek puitik. Puisi Mahmoud Darwish telah memberi kontribusi terhadap tradisi sastra Arab modern.

Kedua dari aspek ketajaman pandangan atas tema. Mahmoud Darwish secara konsisten memerjuangkan kemerdekaan Palestina. Perjuangan yang membuat dia, bahkan, terusir dari negerinya (eksil) sampai ajal menjemput.

“Saya membaca buku puisi Mahmoud Darwish ‘Surat dari Penjara’ terjemahan Brah Muhammad. Saya rasakan, di situ, puisi memiliki gelora untuk memerjuangkan sesuatu. Suara dari suatu wilayah, suara dari suatu kultur, suara dari suatu kaum, suara dari gejolak sosial politik. Juga suara dari kesepian, senyap, dan impian-impian personal. Puisi yang mungkin ideologis atau propaganda tapi tetap hadir sebagai sebuah puisi,” kata Ribut.

Anggota Tim Kreatif Majelis Sastra Urban Alfian Bahri menambahkan, Mahmoud Darwish telah menerapkan perlawanan melalui puisi. Sebuah perlawanan yang dimulai dari perenungan dan kesedihan. Sehingga mempunyai kekuatan dasar yang kuat, ketimbang melawan dengan fisik dan ungkapan berapi-api.

“Darwish mengajak pembaca bukan hanya untuk melakukan perlawanan, tetapi juga untuk dengan bijak menyalurkan perlawanan lewat perenungan, penyesalan, hasrat perjuangan, dan kekalahan. Ini jelas berbeda dengan konsep perlawanan yang selama ini dikenal dalam perspektif umum. Cara pandang Darwish justru lebih mengedapankan keintiman dan keontetikan yang mendasar,” ujar Alfian yang sehari-hari bekerja sebagai guru di SMP Kawung 1 Surabaya.

Diskusi sastra bakal dipandu oleh penyair wanita Surabaya, yakni Nanda A Rahmah. Adapun narasumber pertama Brah Muhammad, penerjemah buku puisi Mahmoud Darwish berjudul Surat dari Penjara. Narasumber kedua Fahruddin Al-Mustofa, kritikus sastra lulusan Université Hassan II Casablanca, Maroko.

Majelis Sastra Urban juga menampilkan beragam pertunjukan seni. Mulai dari pembacaan puisi oleh Regina Jawa (Teater Gapus Unair dan Nanang Prastyawan (Unipa), musikalisasi puisi dari Tetar KU Unitomo, monolog berjudul Buram Bahagia oleh Cece Fransiska Putri (STKW).

“Ada pula pertunjukan musik oleh Mas Arul Lamandau dan tari remo oleh Mbak Dini. Serta lapak buku oleh Penerbit Dalam Gang Surabaya,” kata Alfian. (gat.hel).

Tags: