Mak Inang

Mak Inang

Oleh :
Yossar Jambak

Aku sibuk dengan handphone yang aku pegang. Keramaian di stasiun kereta api yang akan membawaku ke tempat kerja tak aku hiraukan sama sekali. Aku sibuk mengecek pesan dan WA yang masuk. Mataku memeriksa setiap pesan dengan teliti. Kebisingan tak mengganggu fokusku. Beberapa pesan aku coba balas, akhirnya selesai juga.
Aku layangkan pandangan ke arah kereta datang, namun belum juga muncul. Aku lihat jam, masih ada sekitar lima menit lagi jadwal kedatangan.
Aku coba memandangi sekitar. Aku melihat seorang wanita tua yang duduk tak begitu jauh dari tempatku. Sekali-sekali wanita itu melihat kiri dan kanan. Matanya tak henti menatap setiap orang yang lewat. Aku melihat dia memegang sesuatu. Perkiraan aku itu seperti sepucuk surat. Namun aku tak tahu pasti. Itu hanya pradugaku saja.
Tiba-tiba suara kereta datang. Dia segera bangkit dari duduknya. Matanya terus memandangi setiap penumpang yang turun. Namun tak ditemukan apa yang dicari. Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Aku segera masuk dan duduk. Aku pandangi wanita itu masih terus mondar-mandir. Matanya selalu awas memandangi setiap penumpang. Kereta pun berangkat. Aku lihat wanita itu terduduk lemas. Seketika raut wajahnya berubah muram. Apakah sebenarnya yang dicari wanita tersebut?. Hingga saat kereta jauh meninggalkan, wanita itu masih duduk.
* * *
Esoknya aku kembali ke rutinitas. Rasa penasaran masih bergelayut dipikiranku. Aku lihat wanita kemaren masih duduk di tempat biasanya. Matanya tak henti melihat setiap penumpang yang datang. Kertas di tangannya masih ada. Dia memandang dan terus melihat wajah yang datang. Aku langkahkan kaki menuju wanita itu. Sesaat aku agak ragu untuk menyapanya. Tatapan mata wanita itu teras aneh bagiku.
“Buk.” Panggilku
Dia hanya diam. Tak menghiraukan ucapanku sama sekali. Matanya sibuk memandangi sekeliling.
“Buk,” aku mengulanginya
Sejenak dia terhenti. Menatapku dari kaki sampai ujung rambut.
“Boleh aku duduk disini?”
Dia diam. Tak bersuara. Tetapi dia bergeser dan memberikan aku tempat duduk disebelahnya. Sejenak aku perhatikan wanita yang ada disampingku. Wajahnya mengingatkan aku pada emak di kampung. Tak ada yang istimewa dari wanita yang berusia 60 an tersebut. Baju lusuh dengan secarik kertas ditangannya. Matanya selalu menatap dan menatapi orang yang berlalu lalang.
“Buk, sebenarnya apa yang ibu cari?”
Dia menatapku. Namun tak bersuara.
Tiba-tiba suara peluit masinis mengejutkan aku. Kereta sebentar lagi akan datang. Aku segera bersiap dan meninggalkan wanita itu sendiri. Aku menatap wajahnya. Sepertinya dia ingin tersenyum padaku namun ditahannya. Aku segera berlalu dan meninggalkan wanita itu dalam kesendiriannya. Aku lihat melalui jendela dia masih duduk disana.
* * *
Hujan semalaman masih jelas tersisa. Jalanan nampak basah. Aku melangkah kaki menuju stasiun kereta. Sesekali aku hirup udara yang cukup sejuk untuk mengisi paru-paru. Aku langsung mencari wanita yang kemarin. Aku lihat dia sudah duduk di bangku biasa. Padahal itu baru pukul 6 pagi. Masih sepi. Hanya ada beberapa pekerja stasiun yang menyabu disana.
“Buk,” panggilku. Sepertinya panggilan aku mengejutkan wanita itu.
“Boleh aku duduk di sebelahmu?” pintaku
Dia masih diam dan menggeser posisinya. Aku langsung mengisi tempat yang kosong itu. Sejenak aku mengikuti kemana pandangan wanita itu. Aku lihat kertas digenggamannya. Aku pandangi wajah yang menua itu. Guratan kehidupan jelas di wajahnya.
“Buk, aku Idris.” Sambil aku mengulurkan tanganku
Wanita itu enggan untuk menjabat tanganku. Aku turunkan. Namun tiba-tiba aku lihat dia mengulurkan tangannya. Langsung menyambut tanganku.
“Saya Inang.” Jawabnya datar
Akhirnya aku tahu siapa nama wanita itu.
“Panggil saja saya Mak Inang. Panggilan ibu itu terlalu mewah ditelinga saya.”
“Baiklah Mak Inang”
Aku sebenarnya sudah ingin menanyakan langsung apa sebenarnya yang dilakukan Mak Inang di stasiun ini setiap hari namun aku masih berbasa-basi.
“Mak,” panggilku.
“Ya nak.” Mak Inang sudah bisa menerima kehadiranku
“Apa sebenarnya yang membuat emak seperti ini? Aku perhatikan emak selalu menunggu dan menunggu penumpang yang datang ke stasiun ini?”
Mak Inang tak menjawab. Dia diam. Tangannya masih memegang erat kertas. Aku coba untuk mengambilnya namun Mak Inang tak mengizinkan.
“Apakah itu surat dari anak emak?”
Seketika matanya berkaca-kaca.
“Mak, kenapa?”
Air mata Mak Inang seketika bercucuran.
“Apakah pertanyaanku melukai hati Emak?”
Dia menggeleng. Lalu merabah saku bajunya dan mengeluarkan sesuatu lalu memberikan kepadaku.
“Ini foto siapa Mak?”
Aku lihat wajah seorang pria berpakaian prajurit. Dia nampak gagah.
“Dia adalah anak emak. Namanya Andi. Dia seorang prajurit TNI yang tangguh.” Begitu emak menceritakan anaknya.
“Mak rindu padanya?”
Emak mengangguk.
“Apakah dia tak pernah mengunjungi emak?” Aku semakin penasaran
“Dua tahun yang lalu dia masih mengunjungi emak. Semenjak keberangkatannya ke Jawa dia tak pernah kembali lagi.”
“Mak tak tanyakan pada temannya?”
“Mak tidak tahu harus kepada siapa harus bertanya.”
“Itu sebabnya Mak selalu menunggu dia disini.”
“Ya. Mak yakin dia akan kembali. Dia sudah berjanji akan mengunjungi emak jika tugasnya di pulau Jawa selesai.”
“Lalu surat itu?”
“Ini adalah surat terakhir dari kantornya.”
“Boleh aku lihat Mak?”
Agak ragu Mak Inang untuk memberikan surat itu. Aku tahu itu sesuatu yang sangat berharga bagi emak. Itu merupakan benda pusaka baginya sebelum anaknya tak pernah muncul.
“Boleh kamu katakan kepada emak apa isi surat itu?”
“Ya.” Aku menerima surat itu.
Aku sangat terkejut. Itu bukan surat dari Andi tapi surat dari rumah sakit. Aku tak tahu bagaimana mengatakan pada emak. Surat itu dengan jelas mengatakan bahwa Andi telah gugur dalam tugasnya. Hatiku seketika teriris. Selama dua tahun dia masih setia menanti anaknya yang tak akan pernah kembali lagi.
“Apakah anak emak sehat Idris?”
Aku terdiam. Bibirku terasa terkunci. Aku tak mau membuat emak sedih. Entah kata apa yang bisa aku ucapkan untuk menjelaskan semua ini.
“Alhamdulillah sehat Mak. Sekarang dia sudah di tugaskan di tempat yang jauh Mak.”
“Jauh? Apakah dia akan mengunjungi emak?”
“Ya, dia akan mengunjungi emak.”
“Kapan?”
Terdengar kegembiraan dalam pertanyaan emak. Senyum bahagia terpancar dari wajah emak.
“Selesai dia bertugas dari tempat yang baru, dia akan mengunjungi emak.”
“Alhamdulillah, ternyata omongan tetangga itu bohong belaka.”
“Omongan? Omongan bagaimana Mak?”
“Mereka mengatakan kalau anakku telah meninggal. Aku tahu mereka pasti iri dengan keberhasilan anakku. Mereka sengaja menipuku karena mereka tahu kalau emak tidak bisa baca tulis.”
Jawab emak membuatku terkejut. Ternyata emak sudah tahu kalau anaknya sudah meninggal. Namun dia tak percaya dengan kata-kata tetangga. Aku telah membohongi emak. Niatku hanya ingin membahagiakannya namun sekarang aku telah menambah panjang penantiannya.
“Kenapa kau terdiam Idris?”
“Aku tak terdiam Mak, cuma terharu melihat pengorbanan emak. Emak begitu setia menunggu kepulangan Andi.”
“Oh pasti. Andi adalah anak mak satu-satunya. Dialah jantung hati emak.”
“Kalau begitu aku permisi ya Mak?”
“Silahkan. Nanti kalau Andi telah kembali pasti akan emak kenalkan denganmu. Emak akan mengundangmu untuk makan bersama.”
Aku mengangguk dan meninggalkan emak. Tuhan maafkan aku. Mak Inang aku telah berbohong padamu. Semoga Andi menemuimu malam ini.
* * *

Profil Penulis
Yossar Jambak lahir di Lubuk Sarik, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Padang, 5 Juli 1987.
Merupakan alumni dari Sagu Sabu Padang 3 dan STKIP PGRI Padang Sumatera Barat lulusan 2011 jurusan Matematika. Kini aktif mengajar di SMPN 2 Kampar Kiri Hulu, Bangkinang, Riau.

Rate this article!
Mak Inang,5 / 5 ( 1votes )
Tags: