Makam Eks Laskar Pangeran Diponegoro Jadi Wisata Religi

Makam Mbah Bungkuk di Kelurahan Pagentan, Kec Singosari, Kab Malang sebagai salah satu wisata religi

Kab Malang, Bhirawa
Perlu diketahui bahwa Kabupaten Malang tidak hanya mempunyai lokasi wisata alam yang indah dan terkenal di seluruh penjuruh tanah air, namun kabupaten tersebut juga memiliki wisata religi yang juga dikenal oleh masyarakat muslim yang ada di Indonesia. Seperti wisata religi di wilayah Kecamatan Singosari yakni yang dikenal dengan makam Mbah Bungkuk, sedangkan Mbah Bungkuk itu adalah Kyai Haminuddin.
Lokasi makam Mbah Bungkuk itu berada di Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Dan di area makam Mbah Bungkuk juga terdapat masjid yang pertama kali didirikan oleh Mbah Bungkuk itu sendiri. Dan tidak hanya makam Mbah Bungkuk yang dikenal masyarakat, tapi juga dikenal dengan Masjid Mbah Bungkuk. Sehingga makam Mbah Bungkuk di area masjid tidak pernah sepi dari peziarah seperti makam-makam Wali Songo yang ada di Pulau Jawa ini, serta makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) ke 4, yang juga sama tidak pernah sepi dari peziarah.
Menurut, cicit dari Kyai Haminuddin, KH Moensif Nachrowi, bahwa Kyai Haminuddin merupakan eks laskar Pangeran Diponegoro yang tersisa dan lari ke daerah Malang Utara yakni di Singosari. Sedangkan perang Diponegoro pada tahun 1825 sampai 1830, dari perang itu telah membuat laskar Pangeran Diponegoro tercerai-berai di tahun 1830 seiring dengan meninggalnya Pangeran Diponegoro. Dengan tercerai berainya laskar Pangeran Diponegoro, maka Kyai Amuniddin menetap di Singosari lalu mendirikan musala, yang kini musala tersebut menjadi masjid yang masyarakat menyebutnya Masjid Mbah Bungkuk atau Masjid At-Thohiriyah.
Dijelaskan, Kyai Haminuddin memiliki tujuh orang anak dari perkawinannya dengan Nyai Siti Sofwah, dan dari salah satu anak beliau yang bungsu bernama Hj Siti Hindun Murthosiah dinikahkan dengan KH Thohir putera Kyai Rosyidin dari Desa Canga’an Bangil, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Pasuruan. “Setelah merintis penyebaran agama Islam di wilayah Singosari, maka Kyai Haminuddin wafat yakni di tahun 1850 Masehi, yang kini makamnya di belakang Masjid Bungkuk,” ungkapnya.
Setelah Kyai Haminuddin wafat, lanjut Moensif, maka pondok pesanteren (ponpes) dan masjid diserahkan kepada KH Thohir. Sedangkan perkawinan KH Tohir dengan Hj Siti Hindun Murthosiah memiliki tujuh orang anak. Dari perjalanan meneruskan amanah yang diberikan oleh Kyai Aminuddin kepada KH Thohir, maka ponpes dan madrasah mulai berkembang sehingga banyak santri. Bahkan, KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pernah belajar di Pondok Bungkuk. Sehingga cikal bakal berdirinya NU awalnya juga dibahas di Pondok Bungkuk ini.
Dan setelah KH Thohir wafat pada tahun 1933, terang dia, maka segala kepengurusan pondok, madrasah dan masjid diserahkan kepada anak bungsu yakni KH Nachrowi untuk meneruskannya, yang wafat pada tahun 1980. Sehingga dengan berkembangnya jaman, maka peninggalan Kyai Haminuddin seperti masjid, pondok dan madrasah banyak perubahan terutama pada bangunan. “Meski banyak perbuhan pada bangunan, tapi hal itu tidak mengurangi esensi dari apa yang sudah diperjuangkan oleh pendahulunya. Hal ini dibuktikan dengan tidak pernah sepinya para peziarah datang ke makam Mbah Bungkuk untuk mendoakan beliau,” ujar Moensif.
Dalam kesempatan itu, dia juga menyampaikan, jika KH Nachrowi memiliki tujuh orang anak dari pernikahannya dengan Hj Ruhkoyah, dan dari tujuh anak tersebut salah satunya adalah dirinya sebagai anak yang ke lima, sehingga saya ini cucu dari KH Thohir. Moensif juga menerangkan, makam yang selalu dikunjungi para peziarah berada di makam utama persis di belakang masjid, dan di makam utama itu terdapat 13 buah makam, termasuk makam Mbah Bungkuk dan istri, serta KH Thohir dan istri termasuk juga ayah saya KH Nachrowi dan umi saya Hj Ruhkoyah, karena makam tersebut merupakan makam keluarga.
Ditambahkan, seiring dengan berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 dimana KH Nachrowi menjadi salah satu muassisnya, sehingga Madrasah Muslimin Nahdlatul Wathan berubah menjadi Madrasah Muslimin Nahdlatul Ulama. Begitu pula dengan madrasah untuk anak-anak perempuan berubah menjadi Madrasah Muslimat Nahdlatul Ulama. Dan ketika pemerintah memberlakukan pendidikan dasar berupa Sekolah Rakyat (SR) tahun 1945, maka sekolah-sekolah yang berada pada level dasar lebih dikenal dengan sebutan SR. “Begitu juga madrasah milik Nahdlatul Ulama dikenal dengan sebutan SR NU,” pungkasnya. [cyn]

Tags: