Makin Dilarang, Semakin Dilanggar

Oleh :
Nurudin
Penulis Adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.

Puncak demonstrasi protes atas UU Ciptaker yang dilakukan mahasiswa berujung munculnya surat dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Surat Edaran nomor 1035/E/KM/2020 mempermasalahkan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Dalam SE tersebut, mahasiswa dihimbau untuk tidak melakukan unjuk rasa karena dianggap “membahakan keselamatan dan kesehatan”. Kampus dan dosen diharapkan ikut serta melaksanakan SE itu.

Poin lainnya SE juga meminta — cenderung menuduh — agar dosen tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti/mengadakan kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi. Kemdikbud juga meminta agar kampus membuat kajian akademis yang objektif. Hasilnya disampaikan kepada pemerintah maupun DPR melalui mekanisme yang ada.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya terjadi puncak demonstrasi mahasiswa karena kekecewaan atas pengesahan draft RUU Ciptaker oleh DPR yang diajukan pemerintah. Demonstrasi hampir merata di seluruh Indonesia. Di beberapa daerah demonstrasi berujung pada perusakan bangunan, fasilitas umum, gedung dan bentuk fisik lain. Yang tak kalah penting untuk diperhatikan, beberapa aparat keamanan melakukan tindak kekerasan saat mengatasi unjuk rasa tersebut.

Lembaga Ilmiah

Tulisan ini tidak akan membahas pro dan kontra soal omnibus law. Penting kiranya membahas pasang surut selepas UU Ciptaker itu disahkah. Bahkan sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang mana naskah asli yang disahkan DPR.

Tentu saja, berbagai argumentasi atau tepatnya jurus menghindar dilakukan. Muncul alasan karena naskah belum final, ada juga karena alasan ukuran kertas yang dipakai. Entah nanti akan muncul alasan apa lagi. Seolah memang UU ini dibuat dengan proses “kucing-kucingan”. Sekelas lembaga negara saja berbuat ceroboh seperti itu. Apakah memang ada skenario agar gaduh? Pertanyaan ini sangat mungkin muncul dan sah karena dampak pengesahan UU itu berbuntut panjang.

Melarang unjuk rasa memang hak pemerintah. Apalagi unjuk rasa itu dianggap akan mengancam ketertiban atau keamanan umum. Dalam hal ini pemerintah umumnya berpikiran, apapun akan dilakukan yang penting ketertiban dan keamanan tercapai. Kalau tidak tercapai, tentu saja pemerintah yang akan dirugikan. Bagaimana jika seandainya banyak fasilitas rusak? Bukankah nanti yang akan mengeluarkan biaya juga pemerintah? Meskipun sumber dana berawal dari pajak rakyatnya.

Namun demikian, kampus adalah lembaga ilmiah. Meskipun begitu kadang kampus juga diseret-seret ke wilayah politik. Kampus harus independen. Tetapi individu dalam kampus juga sering tak lepas dari masalah politik. Tetap ada orang-orang kampus yang menjadikan lembaga ilmiah itu sebagai “alat politik”. Ini kemungkinan tetap ada. Jadi, keterlibatan kampus dalam politik itu sering karena “ulah” individu di kampus.

Menjadi masalah jika keterlibatan politik kampus itu bertolakbelakang dengan kebijakan pemerintah. Selama keterlibatan politik kampus mendukung kebijakan pemerintah, hal demikian tidak menjadi persoalan bagi pemerintah.

Kita bisa ambil contoh era Orde Baru (Orba). Banyak rektor dan pejabat kampus yang mendukung atau bahkan menjadi pengurus Golongan Karya (Golkar). Saat ini hal demikian juga hampir tidak jauh berbeda. Beberapa individu kampus mendukung kebijakan pemerintah. Karena mendukung, mereka akan dianggap bukan ancaman dan aman-aman saja. Namun demikian, jika sudah “berseberangan” kebijakan pemerintah maka ia akan berususan dengan “alat negara”. Lihat saja, rektor yang mendukung kebijakan negara akan aman tetapi ada rektor yang berseberangan itu bisa berada dalam “ancaman”.

Bukankah banyak juga kalangan akademisi yang mendukung kebijakan negara membabi buta? Dengan kata lain asal mendukung. Bukan tidak baik, hanya profesi dirinya sebagai akademisi, bahkan guru besar, sudah luntur. Mengapa? Ia sudah menjadi “pegawai” atau alat negara. Bukan lagi mencerminkan dirinya sebagai akademisi, meskipun tetap memakai gelar akademik. Akademisi itu sudah terlibat dalam kepentingan politis, maka apa yang dilakukan tentu punya kepentingan politis pula.

Tak Efektif

Niat pemerintah melarang kampus agar mahasiswanya tidak ikut unjuk rasa tidak salah. Namun demikian mengebiri kritisisme mahasiswa tentu bukan tindakan bijaksana. Mengapa? Pertama, kebijakan pelarangan itu tidak akan efektif. Kampus bukan lembaga politik atau sebuah birokrasi yang terkait langsung dengan lembaga negara. Juga bukan, wilayah yang ikut dukung mendukung kebijakan negara sebagaimana partai politik (parpol). Kecuali, kampus negeri karena rektornya juga dipilih/ditentukan oleh Kemdikbud. Namun, kebijakan rektor belum tentu akan diikuti oleh para dosen. Dosen bukan manusia politik yang dari padanya hanya mengikuti keinginan rektor karena mendukung pemerintah. Ada memang, tetapi tidak seluruhnya.

Kedua, kampus lembaga ilmiah yang daripadanya kebebasan mimbar dan akademik sangat dijamin. Sebagai lembaga ilmiah maka salah satu tujuan kampus adalah tanggungjawabnya kepada masyarakat. Tanggung jawab ini tentu tak hanya sekadar menerima calon mahasiswa tetapi juga ditunggu langkah kongkritnya jika masyarakat membutuhkan.

Ombinus law ini kebijakan yang terkait langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Maka kampus akan ikut terpanggil untuk berperan serta. Demonstrasi satu diantara bentuk tanggungjawab kampus pada masyarakatnya. Tentu saja, ada banyak cara, unjuk rasa hanya salah satu cara saja.

Ketiga, sebagai lembaga bukan politik maka larangan pada kampus tentu tidak akan mudah dilakukan. Bahkan ada ungkapan yang berlaku umum, “makin dilarang, semakin dilanggar”. Maka, pelarangan kampus untuk tidak terlibat dalam unjuk rasa bukan saja mengebiri kampus sebagai lembaga ilmiah tetapi juga tidak akan efektif. Alasannya, kebijakan pelarangan “masyarakat kampus” ikut unjuk rasa akan ditentang karena dianggap sebagai “campur tangan” negara terlalu besar dalam kehidupan kampus.

Pemerintah sekarang tentu harus banyak belajar pada pemerintah Orba. Berapa banyak pelarangan-pelarangan dilakukan toh pada akhirnya akan dilawan. Pelarangan pada era Orba berbuah dengan pembangkangan. Sebaiknya kita bisa mengambil teladan dari sejarah bangsa ini di masa lalu.

————- *** —————

Rate this article!
Tags: