Makna Kurban dan Cita-cita Nabi Ibrahim

Ahmad FatoniOleh :
Ahmad Fatoni
Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Sebentar lagi, umat Islam dengan kesadaran keagamaan yang mendalam, kembali mengenang sebuah peristiwa besar yaitu ‘Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Mereka akan memaknainya dalam berbagai bentuk ritual yang sakral.
Sekian miliar manusia dari berbagai suku dan bangsa di penjuru dunia, dengan semangat yang tulus niscaya memekikkan takbir, tahmid, dan tahlil sebagai ungkapan rasa syukur dan sikap kehambaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sementara jutaan muslim yang lain membentuk lautan manusia di tanah suci Makkah, membuat sebuah panorama menakjubkan yang menggambarkan kelemahan manusia di hadapan kebesaran Tuhan Yang Maha Agung. Mereka hendak menyatakan kesediaannya untuk memenuhi panggilan-Nya, “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika lasyarikalaka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka la syarika laka.”
Hari Raya Kurban sesungguhnya terkait erat dengan apa yang dipatrikan Nabi Ibrahim ribuan tahun silam. Beliau telah memancangkan sebuah cita-cita universal yang kelak terbukti melahirkan sebuah peradaban besar. Nabi monoteisme tersebut menghendaki sebuah masyarakat ideal; masyarakat yang berpegang teguh pada keimanan, nilai-nilai luhur, dan tata aturan (syariat) sebagai dasar kehidupan bersama. Suatu masyarakat yang secara psikologis aman-tenteram dan secara materi subur-makmur.
Cita-cita universal Nabi Ibrahim merupakan momentum sejarah yang menentukan perjalanan hidup manusia sampai sekarang. Hal itu tentu tidak terlepas dari sosok Nabi Ibrahim sendiri sebagai suri teladan abadi. Ketundukannya kepada tata aturan Ilahiah selalu menjadi contoh hidup sepanjang masa. Ketika Allah berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah,” maka beliau tidak pernah menunda-nundanya walau sesaat, apalagi mengingkarinya. Ini mengisyaratkan agar generasi sesudahnya mau menerima secara utuh perintah Allah dan konsisten terhadap ajaran agama.
Nabi Muhammad sendiri, 14 abad lebih yang lalu juga telah memberikan isyarat tentang situasi yang akan menimpa sebuah komunitas bila tidak konsisten menjalani tata aturan agama. Komunitas semacam itu akan dilanda berbagai krisis (sosial, politik, ekonomi, moral, dan budaya) yang berkepanjangan.
Krisis multidimensi yang dikhawatirkan Rasulullah itu tampak mendapat pembenaran di negeri ini. Kita dapat menyaksikan lahirnya manusia-manusia yang secara fisik berpenampilan rapi, bersih, menarik, dengan gaya dan isi pembicaraan yang memukau seolah ingin menggambarkan tingginya kemampuan intelektual mereka dan keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan. Padahal kondisi sebenarnya, mereka justru membenci tegaknya kebenaran dan keadilan.
Celakanya, tampilan diri dapat mengelabui pandangan orang tentang kondisi batin yang sesungguhnya sehingga menjalani hidup dengan kepura-puraan telah menjadi realitas sosial yang lumrah. Di sana-sini terjadi pergeseran norma-norma sosial-budaya yang memicu aneka perilaku menyimpang yang akhirnya berpengaruh besar terhadap kenyamanan hidup bermasyarakat.
Sekedar contoh, dulu, kita merasakan adanya suatu pandangan yang sama di tengah masyarakat bahwa berhubungan seksual di luar nikah adalah aib besar yang benar-benar harus dijauhi, baik oleh yang belum maupun yang sudah menikah. Pandangan ini diterima sebagai suatu norma yang berlaku di masyarakat, sehingga bila ada orang yang melanggarnya akan mendapat perlakuan yang seragam. Yang bersangkutan akan menerima sanksi berupa penyingkiran dari pergaulan sosial, dimusuhi, tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga dan sebagainya.
Namun lihatlah kondisi masyarakat kita sekarang. Berzina dianggap sebagai salah satu ciri gaya hidup dengan dalih ‘pergaulan masa kini’. Pandangan ini begitu populer di kalangan masyarakat modern sehingga meruntuhkan norma-norma sosial yang berlaku sebelumnya. Kini, berbagai kemunkaran sosial telah merata, mulai dari kejahatan politik hingga kebejadan moral. Akibatnya masyarakat belakangan ini sulit memilah dan memilih mana perbuatan yang terpuji dan mana yang keji.
Kondisi seperti itu jelas mendorong dekadensi moral yang amat mengerikan. Kita lihat wabah seks, obat bius, minuman keras di lingkungan remaja Amerika Serikat telah menular ke Indonesia. Kenyataannya, gaya hidup sebagian besar masyarakat kita telah mengalami kehancuran akhlak. Berbagai aroma perkelaminan di negeri ini selalu laris dipasarkan. Kini seks bebas seakan tiada lagi dianggap dosa. Indonesia sudah mampu bersaing dengan Amerika Serikat dalam hal kemaksiatan.
Kemerosotan moral di negeri yang mayoritas berpenduduk muslim ini masih diperparah oleh perilaku sebagian pemimpinnya yang amburadul. Mereka terus melakukan korupsi dan manipulasi, penipuan dan penyalahgunaan jabatan. Tak pelak, Indonesia termasuk dalam kategori berpenyakit kronis dengan tingkat kejahatan korupsinya sangat tinggi. Di mata para ilmuwan sosiologi, korupsi di sini sangat sulit disembuhkan Berita korupsi dari dari waktu ke waktu selalu menghiasi wajah pertelevisian nasional, bahkan mengalahkan isu-isu kemiskinan di berbagai daerah.
Saat bangsa kita mengalami banyak musibah, bagaimana kita mampu mempraktikkan nilai-nilai semangat kurban dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermakna luas bagi perbaikan kondisi bangsa Indonesia. Di sini terdapat kesinambungan pelajaran yang diwariskan Nabi Ibrahim kepada masyarakat zaman sekarang. Bahwa kesediaan manusia untuk berkorban mestinya jauh melampaui daripada sekadar menyembelih kambing atau hewan ternak lainnya. Salah satunya adalah dengan berkorban tidak melakukan korupsi dan berbagai kemunkaran sosial lainnya.
Sayangnya, sampai sekarang belum tampak upaya-upaya serius untuk mengikis  praktik-praktik kemunkaran agar bisa keluar dari krisis yang telah mengepung bangsa ini. Parahnya lagi, masih terlihat keengganan di antara kita, sebagaimana dicita-citakan Nabi Ibrahim, untuk kembali ke nilai-nilai agama sebagai jalan menuju kesejahteraan lahir dan batin.

                                                                                       ———————- *** ———————

Tags: