Maksimalkan Layanan dengan IKM

Drs Sumardijono MSi

Drs Sumardijono MSi

Aktivitas di UPT Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan Kejuruan (PPPK) selalu tampak sibuk setiap harinya. Siswa dan guru SMK dari berbagai daerah di Jatim silih berganti mendatangi tempat yang berlokasi di daerah komplek Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu. Tujuan mereka beragam, menjadi peserta pelatihan, mengikuti praktik kerja industri, atau menjadi peserta uji kompetensi.
Sebagai lembaga yang langsung bersentuhan dengan masyarakat itu, kepuasan terhadap layanan menjadi urusan nomor satu. Lalu bagaimana mengukur kepuasan itu? Kepala UPT PPPK Dinas Pendidikan Jatim Drs Sumardijono MSi punya pedoman tersendiri yang selalu dia pegang. Yakni mengukur kepuasan dengan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Instrumen di dalamnya meliputi berbagai pertanyaan tentang fasilitas layanan. Baik sarana prasarana seperti asrama, peralatan training, maupun instruktur. “Di IKM itu detil, sampai urusan Air Conditioner (AC) sudah dingin atau tidak juga kita tanyakan,” kata Sumardijono.
Dia memang tak main-main dalam urusan ini. Jika dari hasil IKM menunjukkan ketidakpuasan terhadap metode pelatihan dan cara mengajar instruktur, dia tak segan untuk segera mencoret instruktur dari list. “Kalau ada instruktur yang mengajarnya asal, ya kita ganti. Untuk apa dipakai lagi,” tegas dia. Apalagi, selama ini instruktur yang dia datangkan tidak punya ikatan dinas dengan pemerintah.
Hal ini dilakukan Mar, sapaan akrab Sumardijono, agar hasil pelatihan benar-benar maksimal. Sebab, yang dia hadapi adalah para siswa dan guru yang diajari untuk menguasai satu kompetensi. Karena itu, peralatan training baik di bengkel mesin dan otomotif, dapur tata boga, ruang tata busana, maupun salon tata kecantikan benar-benar tersedia secara lengkap.  “Kami tidak ingin melatih siswa dan guru hanya untuk merealisasikan program. Kalau hanya asal program jalan, asal anggaran terserap, untuk apa?,” kata dia.
Tak ayal, dengan kepuasan layanan yang terjamin dan terukur ini, banyak sekolah yang antre ingin menjadi peserta pelatihan maupun prakerin di sana. “Setiap tahun kita selalu kewalahan menerima proposal yang mengajukan untuk mengirim guru dan siswanya ke sini,” tutur dia.
Menurut Mar, mengukur kepuasan layanan dengan IKM ini adalah cara biasa dan sudah lama ada. Namun demikian, tak banyak yang masih menerapkannya. Bahkan pelatihan umumnya hanya mengundang peserta datang untuk mendengar nara sumber yang ngomong sendiri dengan proyektor dan slide translation. Setelah itu mereka pulang lagi tanpa dapat apa-apa. “Di sini tidak bisa seperti itu. Keterampilan itu harus dipraktikkan dan didukung dengan peralatan yang memadahi. Bukan cuma teori,” pungkas dia. [tam]

Rate this article!
Tags: