Malaikat di Lantai 13

Oleh:
Sulistiyo Suparno

Ini adalah lamaran ke-75 bagi Benny Ramadhan. Lamaran-lamaran terdahulu berakhir di tahap wawancara. Kadang, lelaki 25 tahun lulusan D3 Administrasi Perkantoran itu berharap Tuhan mengirimkan malaikat untuk menolongnya lulus dalam wawancara.

Pukul 10.00 Benny masih berada di lantai 13 sebuah gedung perkantoran. Menunggu sekian jam. Berdiri di ruang tunggu, karena semua kursi telah terisi oleh orang-orang seperti dirinya; berpakaian hitam putih dan menenteng stofmap merah.

Sebenarnya, Benny bosan berpenampilan seperti itu. Ia telah puluhan kali mengenakan pakaian resmi pencari kerja -berpakaian hitam putih- dan ketika kegagalan yang ia dapatkan, ia harus menundukkan kepala menyusuri jalan pulang. Ia merasa orang-orang di sepanjang jalan pulang memandangnya sinis atau setidaknya kasihan padanya.

Benny mengedarkan pandangan ke penjuru ruang tunggu yang terasa panas. Pendingin udara tak mampu menyejukkan ruangan itu. Beberapa orang mengipaskan stofmap ke wajah mereka.

“Panas, ya?” seorang lelaki muda, mungkin usia 30-an, yang berdiri di dekat Benny, membuka percakapan.

“Ya. Terlalu banyak orang di ruangan ini,” sahut Benny.

Sekilas, Benny mengamati lelaki itu yang mengenakan celana jins biru lusuh, kemeja kotak-kotak biru-merah, sepatu kets coklat, dan rambut sebahunya tergerai.

“Syamaran,” lelaki itu mengulurkan tangan.

“Benny,” sahut Benny. “Anda mau melamar kerja juga?”

“Ya.”

“Anda tidak membawa stofmap?” tanya Benny.

“Saya sudah mengirimkan semua berkas lamaran melalui e-mail. Jadi, saya kira tak perlu lagi membawa stofmap,” jawab Syamaran, lelaki itu, tersenyum.

Benny berpikir bagaimana mungkin lelaki itu akan mendapatkan kerja, kalau untuk menghadiri wawancara saja berpenampilan tidak sesuai aturan? Apa susahnya berpakaian formal dan membawa stofmap, meski telah mengirimkan berkas lamaran melalui surat elektronik?

Rupanya, Syamaran mengerti isi kepala Benny.

“Baru kali ini saya berpakaian seperti ini. Saya sendiri tak yakin, apa saya bisa diterima kerja di perusahaan ini. Berapa kali saya datang ke wawancara kerja? Ah, tidak terhitung. Kadang saya berpikir saya tidak cocok jadi pelamar kerja. Mungkin saya lebih cocok jadi motivator. Hahaha….” Syamaran tertawa.

Benny tersenyum basa-basi. Ia merasakan ada nada putus asa dalam tawa Syamaran.

“Anda tahu, kawan?” Syamaran menatap Benny. “Wawancara kerja itu penuh pertanyaan jebakan. Anda harus mampu melaluinya.”

“Jebakan?” Benny mengernyitkan dahi. “Seperti apa jebakannya?”

“Berapa nomor ponsel Anda?” tanya Syamaran.

“Kosong, delapan, satu, dua…”

“Anda terjebak,” tukas Syamaran.

“Terjebak bagaimana?”

Syamaran tersenyum.

“Apakah ada angka kosong?” tanya Syamaran.

Benny mengangguk-angguk. “Benar juga. Bukan kosong, tapi nol. Benar?”

Syamaran mengangguk. “Itu salah satu pertanyaan jebakan. Masih banyak lagi.”

Orang-orang yang mendengar percakapan itu segera mendekat mengelilingi Syamaran.

“Ceritakan pada kami, pertanyaan jebakan apa lagi yang akan kami terima?” pinta seseorang.

“Mungkin nanti kita akan diminta untuk memfotokopi dokumen tertentu. Itu juga jebakan,” kata Syamaran.

“Jebakan bagaimana? Ceritakan pada kami, Bung,” desak seorang pelamar.

“Pelamar yang tak paham, ia akan bertanya pada si pewawancara di mana letak tempat fotokopi. Itu kesalahan fatal,” kata Syamaran.

“Fatal bagaimana, Bung?”

“Kalian perlu tahu, si pewawancara itu mungkin seorang manajer. Manajer tak mungkin tahu tempat fotokopi. Kalau kita bertanya pada si pewawancara di mana tempat fotokopi, si pewawancara akan menilai bahwa kita tak becus bekerja,” kata Syamaran.

“Lalu apa yang harus kami lakukan bila ada perintah itu, Bung?”

“Kita jawab saja: siap! Lalu kita keluar ruangan, cari Satpam, OB, cleaning service, atau orang bawahan lainnya. Mereka tentu tahu tempat fotokopi, kita bertanyalah pada mereka.”

“Ah, Anda benar, Bung. Manajer mana tahu tempat fotokopi. Terima kasih, Bung. Ada tips lainnya, Bung?”

“Kalau ada pertanyaan: coba deskripsikan tentang diri Anda. Apa jawaban kalian?” tanya Syamaran.

Orang-orang menggeleng.

“Itu mudah,” kata Syamaran. “Kita jawab saja, misalnya: nama saya Syamaran, lahir di Kota X 35 tahun yang lalu, lulusan S1 Administrasi Niaga, belum menikah. Pernah bekerja sebagai karyawan supermarket, sales mobil, sales asuransi. Saya memiliki keahlian mengoperasikan komputer, menguasai Office, Corel, Photoshop, pernah mengikuti berbagai pelatihan perpajakan, akuntansi, dan lainnya, dan seterusnya. Pokoknya, ceritakan tentang diri kita.”

Orang-orang mengangguk-angguk dan meminta Syamaran menumpahkan semua pengalamannya dalam wawancara kerja. Dengan senang hati Syamaran meladeni mereka.

“Pukul 12 kurang lima belas menit,” kata Syamaran. “Maaf, saya mau ke kantin, sejak pagi saya belum makan.”

“Tapi, Bung. Bagaimana kalau nama Anda dipanggil?” tanya Benny.

Syamaran hanya tersenyum, lalu berlalu meninggalkan ruang tunggu itu.

Pintu ruang wawancara terbuka dan seorang perempuan paro baya berdiri di ambang pintu.

“Sebelum jam istirahat tiba, kami akan memanggil satu pelamar lagi. Saudara Benny Ramadhan silakan masuk,” kata perempuan itu.

Benny bergegas memasuki ruang wawancara. Seorang wanita muda berhijab pink, berkulit putih dan berhidung mancung memintanya duduk. Wanita itu tersenyum, mengamati Benny yang duduk agak gelisah di depannya.

“Siap wawancara, Saudara Benny?”

“Siap, Bu,” sahut Benny, diam-diam mengela napas.

“Boleh tahu nomor ponsel Anda, Saudara Benny?” tanya wanita itu.

Benny tertegun dan teringat pada Syamaran.

“Nol, delapan, satu, dua….”

“Coba deskripsikan pada kami tentang diri Anda, Saudara Benny,” perintah wanita itu.

Benny tersenyum, lalu menjawab dengan lancar. Begitu pula dengan pertanyaan atau perintah lain dari si pewawancara dapat dijawab Benny dengan penuh percaya diri.

Wanita si pewawancara tampak tersenyum puas dengan semua jawaban Benny.

“Saya perlu dokumen ini. Bisa Anda fotokopi dokumen ini, Saudara Benny?”

“Siap, Bu!”

Benny keluar dari ruang wawancara, turun menggunakan lift ke lantai dasar, menemui satpam dan bertanya letak tempat fotokopi, lalu ke luar gedung, berjalan kaki menuju tempat fotokopi.

Usai dari tempat fotokopi, Benny berjalan gegas untuk kembali ke gedung tinggi menjulang itu. Benny melihat Syamaran berdiri di halte di seberang jalan. Benny melambaikan tangan dan berharap Syamaran melihatnya. Tetapi, Syamaran telah masuk ke bus kota dan sesaat kemudian bus itu berlalu meninggalkan halte. Syamaran tidak muncul sampai jam wawancara berakhir.

Selama bertahun-tahun, tiap hari di meja resepsionis tempatnya bertugas, Benny berharap bertemu dengan Syamaran. Benny ingin mengucapkan terima kasih pada lelaki itu.

Siapa sebenarnya Syamaran? Benny telah mencarinya di media sosial, tetapi tidak menemukannya. Mungkin Syamaran memakai nama samaran sehingga sulit terlacak? Atau mungkinkah Syamaran adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk menolong dirinya agar lulus dalam wawancara kerja?

Suatu sore ketika pulang kerja dan duduk di halte, Benny membaca sebuah iklan di koran tentang Seminar Kiat Sukses Wawancara Kerja dengan pembicara seorang motivator bernama Syamaran, S.Sos., M.M.!

***SELESAI***

Batang, 24 Mei 2021
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional, seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Solopos, Radar Bromo, Bhirawa, dan lainnya. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Rate this article!
Malaikat di Lantai 13,5 / 5 ( 1votes )
Tags: