Malapraktik ‘Klinik’ Chiropractic

Oryz SetiawanOleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Terbongkarnya praktik klinik Chiropractic First di kawasan elit mall Pondok Indah Jakarta tengah menjadi perbincangan khalayak. Selain tidak mengantongi ijin dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, juga memperkerjakan tenaga asing yang tidak memiliki ijin imigrasi sehingga keberadaan layak dinyatakan illegal sehingga dapat dikatagorikan dalam malapraktik yang berujung pada ranah pidana. Secara legal formal keberadaan praktik chiropractic memang bukan termasuk klinik dimana penyelenggaraan layanan kesehatan menyediakan pelayanan medis atau spesialistik sehingga keberadaan dianggap bukan sebagai upaya medis, meski didalamnya terdapat tenaga kesehatan. Sebenarnya chiropractic merupakan teknik terapi alternatif untuk tulang belakang dan saraf  tergolong pengobatan tradisional.
Di sisi lain penyebutan klinik dalam praktik chiropractic kurang tepat oleh karena dalam proses penyelenggaraan pengobatan tidak menyediakan pelayanan medis baik dasar maupun spesialistik serta tenaga chiropractic bukanlah diakui dalam tenaga kesehatan. Hal tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik pada pasal 1 (satu) dinyatakan bahwa “klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik”. Sedangkan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Pengembangan Batra
Pengobatan tradisional (battra) yang kini juga berkembang pesat dalam pusaran spektrum pengobatan di tanah air. Perbedaan yang mendasar antara pengobatan rasional (ilmiah/medis) dan tradisional terletak pada dasar-dasar penyelenggaraan pengobatan didukung oleh bukti ilmiah (empiris) sedangkan pengobatan tradisional merupakan salah satu pengobatan dimana dalam proses pengobatan belum didasari oleh uji ilmiah yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan medistis sehingga tingkat “kesembuhan” dari pengobatan tradisional lebih banyak didukung oleh kekuatan sugesti sang pengobat maupun kondisi daya tahan (imunitas) tubuh meningkat pasien yang bersangkutan. Meski kini pengobatan tradisional terus berkembang untuk memperoleh pengakuan ilmiah seperti produk jamu (herbal) maupun akupuntur sehingga baik sistem penyelenggaraan pengobatan hingga tenaga pengobat wajib memiliki kompetensi dan standar.
Momentum
Maraknya layanan pengobatan tradisional bahkan pengobatan alternatif kini tengah menjadi pilihan dan tren di masyarakat. Pelan namun pasti jumlahnya meningkat seiring dengan peningkatan peningkatan permintaan masyarakat maupun dari iklan yang gencar ditayangkan di berbagai media. Iming-iming kesembuhan secara instan, mudah, murah adalah faktor yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat yang membutuhkan pengobatan. Pengobatan ala India, China, ramuan berbahan herbal, gurah dan lain-lain adalah sederet ‘jualan’ para pengobat yang selama dijadikan andalan dan promosi. Ibarat perang dagang, eksistensi pengobatan alternatif kini kian menjamur baik di sentra perkotaan maupun wilayah marginal di daerah beberapa diantaranya mereka gencar mempublikasikan bahkan mengiklankan. pengobatan alternatif memang bukan didasarkan atas uji ilmiah maupun rasionalitas serta argumentasi rasio, namun lebih merupakan sebuah pengobatan alternatif yang kekuatan supranatural, berbau magis, irrasional termasuk penggunaan doa-doa dimana potensitasnya tidak dapat diuji secara imiah biofarmakologis termasuk bahan dasar, efek samping hingga dampak yang timbul setelah dilakukan pengobatan.
Dengan kata lain, pengobatan alternatif telah menjadi sebuah pilihan (option) yang dipercaya oleh sebagian masyarakat terhadap upaya memperoleh layanan kesehatan ditengah modernitas layanan kesehatan yang ada. Ketiadaan biaya, takut operasi, ketidaksiapan psikis acapkali menjadi faktor yang mendorong maraknya pengobatan alternatif. Tak jarang, pengobatan tersebut dipilih oleh karena secara medis penyakit yang diderita sudah tak mampu disembuhkan atau dipulihkan seperti sedia kala. Secara faktual dan legal, eksistensi pengobatan alternatif diakui, sebab banyak yang telah mengantongi ijin praktik sehingga keberadaan mereka sejajar dengan pengobatan berstandar ilmiah yang telah ada. Kondisi tersebut memang dipandang sebagai aspek pengkayaan (enrichment) sebuah pengobatan dan konsekuensi logis terhadap globalisasi dan bentuk-bentuk liberalisasi kesehatan kekinian yang tak terhindarkan.
Di sisi lain, eksistensi pengobatan alternatif dapat pula dimaknai sebagai wujud keputusasaan masyarakat terhadap layanan kesehatan yang merupakan layanan yang berbasis ilmiah, rasional dan memiliki standar kompetensi profesi maupun farmatologis secara ketat. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa telah ada rasa kurang percaya (distrust) sebagian masyarakat terhadap layanan kesehatan yang selama ini. Jika pengobatan medis menggunakan acuan bukti medistis maka pengobatan alternatif biasanya mengandalkan kekuatan supranatural maupun doa-doa tertentu sehingga disinilah masyarakat (pasien) sebagai penentu kemanakah mereka akan berobat. Harus diakui bahwa semakin menjamurnya klinik swasta maupun pengobatan alternatif baik di perkotaan yang noabene modern hingga di pelosok pedesaan seperti bekam, menyebabkan pengawasan maupun monitoring dari institusi kesehatan baik Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota belum optimal. Penyebabnya klise antara lain, kian minimnya personal di institusi kesehatan, tersebarnya praktik-praktik pengobatan tradisional, tenaga pengobat tradisional yang sangat bervariasi serta aturan formal yang belum semua diakomodasi dalam jenis pengobatan tradisional.

                                                                                                    ——————- *** ——————–

Rate this article!
Tags: