Manfaatkan Jaringan Nirkabel, Jaga Privasi Pasien saat Diperiksa Dokter

Mahasiswa STIKOM Surabaya Eka Sari Oktarina menguji coba alat periksa jantung ciptaannya.

Mahasiswa STIKOM Surabaya Eka Sari Oktarina menguji coba alat periksa jantung ciptaannya.

Kota Surabaya, Bhirawa
Mitos sakit jantung adalah penyakit orangtua, kegemukan, dan malas berolahraga, itu dulu. Belakangan kasus meninggal secara mendadak karena serangan jantung justru kerap terjadi pada seorang yang masih muda, energik, dan suka berolahraga. Tengok beberapa artis seperti almarhum Adjie Massaid, Ricky Jo dan terbaru yakni Yani Libels.
Melihat kompleksnya permasalahan penanganan terhadap penyakit jantung, mahasiswa STIKOM Surabaya Eka Sari Oktarina tergerak menyalurkan keilmuannya dari sisi teknis. Keinginannya memajukan teknologi di bidang kesehatan, menginspirasi mahasiswa jurusan Sistem Komputer ini untuk menciptakan alat periksa jantung secara massal.
” Alat sensor detak jantung yang memanfaatkan jaringan nirkabel atau wireless ini bertujuan memudahkan dokter dan menjaga privasi pasien yang hendak diperiksa,” ujar Eka, perempuan asli Malang ini akhir pekan lalu.
Perempuan yang memperoleh IPK 3,86 mencoba mencari solusi dengan membuat sebuah alat yang mampu mengirim data serempak dari beberapa pasien kepada dokter yang menanganinya. Selama ini, menurutnya, pasien enggan membuka sebagian bajunya saat ditempeli stetoskop, apalagi kalau pasiennya perempuan diperiksa dokter laki-laki.
” Karena memeriksa jantung itu kan harus keseluruhan. Selain cepat dan akurat, dengan kondisi buka sebagian baju ini ada sebagian pasien yang kurang nyaman ditangani oleh dokter beda gender. Kaitannya dengan privasi terutama pasien perempuan. Padahal penyakit jantung itu jenis penyakit yang mematikan, sama dengan kanker, diabetes dan gagal ginjal. Karena itu penanganannya harus semaksimal dan seakurat mungkin,” terang Eka.
Meski masih dalam bentuk prototipe, menurut Eka, alat ini sudah bisa digunakan untuk mendeteksi sinyal denyut jantung sekaligus mentransfer data dalam bentuk grafik di komputer.
Selain itu, perempuan kelahiran 4 Oktober 1991 ini mengakui kesusahan dalam pengoperasian alat periksa jantung yakni dalam tahap pengiriman dari dua data. “Jadi harus memisahkan data satu ke data yang lainnya, karena itu harus ada ID masing-masing agar tidak terjadi tabrakan,” ungkapnya.
Sementara itu, dosen pembimbing Eka Sari Dr Jusak mengatakan, sejumlah peneliti menyebutkan risiko serangan jantung pada usia di bawah 65 tahun sebesar 18 persen. Sebanyak 10 persennya terjadi pada usia di bawah 45 tahun. Data lain menyebutkan, sekitar 17 juta orang meninggal tiap tahun karena serangan jantung.
” Penanganan cepat dan akurat terhadap penderita penyakit jantung harus segera dilakukan. Namun, kondisi di lapangan terkadang membuat dokter kesulitan melakukan penanganan pada beberapa pasien sekaligus,” kata Jusak saat mendampingi Eka memamerkan karyanya.
Jusak menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi kendala seorang dokter kesulitan dalam menangani pasien yakni faktor alat, jarak, biaya, dan banyaknya pasien yang juga menjadi kendalanya. ” Belum lagi terbatasnya tenaga dokter spesialis jantung,” ujarnya.
Dengan menggunakan alat ini, Jusak menambahkan, pasien tidak perlu khawatir terjadi kesalahan data yang diterima oleh dokter. Sebab, data yang dikirm ke komputer dokter berdasarkan ID khusus, sehingga data pasien satu dengan yang lainnya tidak mungkin tertukar.
” Alat ini mengadopsi teknologi Wireless Sensor Network (WSN) yang bekerja dengan cara memancarkan gelombang radio melalui alat stetoskop. Alat ini bekerja dengan cara menghubungkan stetoskop ke Arduino 2560, sebuah alat untuk mengontrol suatu sistem. Data tersebut diolah oleh software khusus agar dapat dibaca sesuai kebutuhan analisis dokter,” tambah Jusak.
Selain itu, dosen pembimbing lainnya, Ira Puspasari menyakini, alat periksa jantung secara massal tentu masih memiliki beberapa kelemahan dan perlu banyak penyempurnaan. Menurut Ira, tugas akhir mahasiswanya ini akan dilakukan riset lanjutan agar lebih optimal manfaatnya. ” Ini baru pertama kali, dan ke depannya bisa diproduksi secara massal. Kami juga perlu dokter pendamping untuk penelitian selanjutnya. karena alat ini dari sisi elektronya memang seperti ini,” urainya. [geh]

Tags: