Manfaatkan Kulit Udang Kembangkan Chitosan

Yuli Setiyorini ST MPhil PhD Eng

Yuli Setiyorini ST MPhil PhD Eng
Berbagai peneliti dunia berlomba-lomba melakukan pengambangan obat atau vaksin untuk penanganan Covid 19. Tak terkecuali, dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Yuli Setiyorini ST MPhil PhD Eng. Dalam penelitiannya fokus pada pengembangan chitosan sebagai material untuk aplikasi medis dan industrial dengan metode yang ramah lingkungan dari bahan baku lokal.
Menurut dosen yang akrab disapa Rini ini, chitosan merupakan biopolymer, polisakarida linier. Pada penelitian chitosan dirinya tak menggunakan bahan kimia (green technology). Melainkan dengan memanfaatkan energi dari gelombang mikro. Sehingga produk yang dihasilkan sudah pada skala nano partikel (nano chitosan) atau bubuk yang memiliki sifat perbaikan jaringan yang lebih cepat.
“Ini merupakan produk chitosan dengan metode proses yang baru,” ungkap dosen Teknik Material dan Metalurgi.
Untuk pemanfaatannya, Rini menggunakan bahan baku kulit udang dan limbah organik lain yang mengandung chitin seperti cangkang kepiting, beberapa cangkang binatang laut, serangga serta tumbuhan jamur dan alga. ”Selama ini olahan limbah kulit udang hanya berkisar untuk pakan ternak dan campuran pelet makanan binatang. Jika tidak diolah justru akan memicu terjadinya gas methane yang berbahaya,” ujarnya.
Sehingga Rini memanfaatkan kulit udang sebagai bahan dalam pembuatan chitosan. Kendati sudah banyak di pasaran, diakui Rini, produk chitosan belum tentu memiliki sifat yang sama persis atau kualitas dan performanya sama. Karenanya perlu pengkajian dalam proses pembuatannya hingga ia menemukan banyak kekurangan terutama pada tingkat efisiensi dan ramah lingkungan. Namun untuk produk chitosan hasil penelitiannya menggunakan proses yang berbeda tanpa bahan kimia.
“Dengan teknik yang berbeda pada proses konvensional yang menggunakan bahan kimia, alhamdulillah properties (sifat) chitosan juga berbeda,” tutur alumnus Curtin University of Technology, Western Australia ini.
Lulusan doktor dari Institute Materials for Research (IMR), Tohoku University, Jepang ini juga membeberkan chitosan yang dikembangkan bukan hanya untuk aplikasi medis. Melainkan juga bisa diaplikasikan untuk industri pengolahan makanan, industri pertanian, industri perikanan, tekstil, kertas, sampai biosorption logam tanah jarang dan logam berat lainnya.
Tapi yang paling utama adalah menciptakan kemandirian dalam membuat dan memproduksi sendiri dari bahan baku lokal dalam rangka meningkatkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dengan proses murah dan ramah lingkungan.
Diharapkan, produk chitosan buatannya ini berkualitas medis dengan tingkat efisiensi yang tinggi, murah dan ramah lingkungan. Secara tidak langsung, hal ini menjawab tantangan isu dalam proses pembuatan chitosan yang saat ini masih belum efisien.
“Produk ini sudah diuji coba. Baik in-vitro maupun in-vivo. Juga telah diaplikasikan sebagai dental filler, bone cement, implant coating, antibacterial dan therapeutic agent,” sambungnya.
Selain itu, pengujian secara klinis juga sudah dilakukan kepada pasien sukarela dengan trackrecord medis yang sudah tidak mampu lagi ditangani dokter. Serta ada beberapa pasien yang memang tidak memiliki asuransi kesehatan tetapi penyakit yang diderita membutuhkan biaya yang besar seperti kanker, diabetes, bacterial diseases, virus diseases, Covid 19 dengan penyakit bawaan (penyerta), dan pneumonia serta beberapa penyakit lainnya.
Dalam penanganan pasien Covid 19 dengan chitosan sendiri dapat mengurangi replikasi virus dalam tubuh, sehingga memicu naiknya level macrophage, DC (dendritic cell) dan NK (Natural Killer Cell) yang memegang peranan penting dalam memproteksi dari infection virus.
“Pemilihan chitosan sebagai theraputic agent dikarenakan multi properties yang dimilikinya, yang berpotensi sebagai therapeutic agent multifunction. Properties regeneration dari chitosan juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak karena terinfeksi yang kerusakan jaringan paru menimbulkan kesulitan bernafas. Ditambah sifat antiinflammation dan antioksidan dari chitosan dapat mengurangi proses peradangan dan oxidative stress selama proses penyembuhan,” jelas dia.
Pengujian secara klinis ini dilakukan Rini dengan memberikan chitosan secara gratis untuk terapi bagi yang membutuhkan. Ia juga tetap ingin dapat membantu sesama yang membutuhkan hingga seterusnya, sebagai sumbangsih kemanfaatan ilmu yang telah diperoleh.
“Alhamdulillah, chitosan (penelitian) kami memberikan harapan bagi para pasien tersebut dan proses kesembuhan juga sangat signifikan,” tandasnya.
Saat disinggung mengenai kendala risetnya, lulusan ITS tahun 2003 ini mengatakan bahwa biaya produksi dan rumitnya birokrasi kesehatan menjadi kendala terbesar. Sehingga ia berharap adanya mitra yang juga memiliki jiwa kemanusiaan dan sosial untuk program gratis chitosan bagi yang membutuhkan terutama bagi masyarakat tidak mampu. [ina]

Tags: