Manfaatkan Limbah Kayu Jati untuk Hasilkan Karya Seni

Abdurahman sibuk mengamplas kayu ukiran sebagai bahan membuat krepyak jam atau bagian sabuk pada jam tangan. [achmad basir]

Abdurrahman, Perajin Jam Dinding dari Bojonegoro
Bojonegoro, Bhirawa
Limbah berbahan kayu, tak hanya bisa dijadikan sebagai bahan bakar. Limbah ini juga bisa dimanfaatkan menjadi karya seni, dengan nilai jual tinggi.
Kerajinan berbahan kayu jati menjadi andalan warga Dukuh Bandar Desa Batokan Kecamatan Kasiman Bojonegoro. Beberapa kerajinan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, seperti vas bunga, tempat payung dan cangkir, serta jam dinding. Ada juga miniatur kapal.
Abdurrahman (46), merupakan satu-satunya perajin jam dinding dari limbah kayu hutan di Desa Batokan Kecamatan Kasiman Bojonegoro. Profesi sebagai perajin telah dijalani selama 29 tahun sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah, kelas dua Madrasah Aliyah (MA).
Rumah milik Pak Durahman, demikian dia biasa disebut, seperti rumah desa pada umumnya. Bentuknya sederhana dan luas, serta satu atap dengan bengkel kerajinan di ruangan seluas 4×5 m2. Bagian paling belakang rumahnya terlihat tumpukan serbuk kayu memenuhi seluruh sudut bengkel pribadinya.
Saat berkunjung ke rumahnya, Pak Durahman sibuk mengamplas kayu ukiran sebagai bahan membuat krepyak jam atau bagian sabuk pada jam tangan. Bedanya, bagian itu berukuran 10 kali lebih besar karena jam dindingnya berdesain arloji.
Dia menceritakan memulai membuat jam dinding layaknya arloji saat berusia 17 tahun. Selama itulah, pahit manis pengalaman yang dialami tak sedikitpun mengendurkan meneruskan profesi sebagai perajin. Namun tak semua perajin membuat jam dinding, pasalnya proses pengerjaan yang rumit. “Tak ada warga lain yang memproduksi kerajinan serupa produk saya disebabkan proses pengerjaan yang rumit,” ujarnya.
Menurutnya, pengerjaan kerajinan ini terbilang rumit. Banyak bagian jam seperti krepyak, body jam dan ukir-ukiran di sekelilingnya memerlukan ketelitian. Selama ini, tak ada satupun orang lain yang membantu dirinya bekerja selain sang istri tercinta.
“Kebanyakan istri-istri perajin di sini justru dibebani kerja berat. Untungnya mereka hanya memproduksi kerajinan wadah air kemasan dan masih tergolong tak serumit jam dinding,”terang dia.
Bahan baku pembuatan kerajinan, dia mengaku membutuhkan 15 kilogram kayu rencek limbah dan 10 bonggol jati setiap hari. Untuk setiap satu kilogram terdiri lima buah rencek untuk membuat krepyak jam dinding beserta tempat gantungannya. Sedangkan bonggol jati diproses hingga berbentuk bundar sebagai body jam.
“Untuk membuat badan jamnya dipergunakan bonggol jati berdiameter 25 cm. Lalu, disempurnakan hingga bulat sempurna dengan mesin pemotong buatan sendiri,” tandasnya.
Lantaran menjadi profesi yang dia andalkan untuk menghidupi istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku SD, dia tekun menekuni profesi ini. Meskipun keuntungan yang dia dapatkan dari menjual puluhan set kerajinan jam dinding tak begitu besar, ada satu motivasi yang mengalahkan orientasi profit itu.
“Yang jelas kita akan terus bersaing dengan produk luar daerah seperti Cepu dan Jepara yang selama ini lebih banyak dikenal. Harapannya ke depan mereka juga mengenal produk Bojonegoro,” ujarnya.
Dia mengaku dari 10 penjualan ke showroom rata-rata per hari memperoleh uang antara Rp 35 ribu hingga Rp 50 ribu. “ Kita ambil keuntungan Rp 5.000 per unit jam dinding,” terangnya.
Seiring dengan produknya yang berkelana di beberapa daerah di Cepu, Jepara, Jogja, Pulau Sumatera dan Kalimantan, bahkan terekspor keluar negeri, banyak showroom yang tertarik bermitra dengannya. [achmad basir]

Tags: