Mantan Kajati Jawa Timur Ingin Koruptor Dihukum Mati

Mantan Kajati Jatim Maruli Hutagalung saat menjadi pembicara seminar pemberantasan korupsi yang digelar ‘Asian Law Student Association’ (ALSA) di Gedung Fakultas Hukum Unair Surabaya.

Surabaya, Bhirawa
Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim yang juga calon legislatif (caleg) DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Surabaya-Sidoarjo dari Partai Nasdem, Maruli Hutagalung ingin koruptor yang masih tumbuh subur di Indonesia dihukum mati. Dengan hukuman berat ini akan membuat orang lain tak berani melakukannya.
“Seharusnya memang dihukum mati agar tidak terulang korupsi di negeri ini. Agar ada efek jera kalau ada hukuman berat,” ujar Maruli, ditemui usai menjadi pembicara seminar pemberantasan korupsi yang digelar ‘Asian Law Student Association’ (ALSA) di Gedung Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kamis (18/10).
Menurut dia, selama ini hukuman yang diterima koruptor sangat jauh dari harapan. Sebab jarang ada yang divonis hingga belasan tahun atau dihukum seumur hidup meski tindakan yang dilakukannya sangat membuat rakyat menderita.
“Ada satu dua koruptor dihukum berat, tapi banyak juga yang hukumannya membuat rakyat sakit hati karena tergolong ringan. Ke depan harus diperberat agar mereka tobat dan yang lain berpikir dua kali jika mau melakukan tindakan korupsi,” ucapnya.
Selain itu, terhadap lembaga hukum diharapkan juga memberikan ketegasan dengan menempatkan para tahanan korupsi di penjara yang tempat tidurnya beralaskan lantai, termasuk tak memberikan kesempatan dengan fasilitas.
Sementara itu, Maruli juga membeberkan pentingnya semangat antikorupsi ke ratusan mahasiswa Unair Surabaya. Mahasiswa dianggap sebagai pilar penting dalam membangun generasi antikorupsi di masa depan.
Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) menunjukkan tren menurun. Pada 2017, sebesar 3,7, lalu turun menjadi 3,66 pada 2018. IPAK adalah hasil riset BPS dengan ukuran bila mendekati angka 5, maka masyarakat semakin antikorupsi. Sebaliknya, jika makin mendekati angka 0, maka masyarakat makin permisif terhadap korupsi.
“Mahasiswa harus sadar bahaya ini, lalu bertekad dan bergerak menjadi generasi antikorupsi. Jangan cuma nongkrong dan pacaran. Ayo tanam perilaku disiplin antikorupsi dari diri sendiri. Mulai dari hal kecil, misalnya jangan mencontek, jangan copy-paste tugas kuliah, jangan bohongi orang tua soal uang jajan,” tegas Maruli yang dua kali menyabet penghargaan sebagai kepala kejaksaan tinggi terbaik dalam pemberantasan korupsi.
Kerugian karena korupsi pun, kata Maruli, semakin tinggi. Hanya dalam enam bulan pertama 2018, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), nilai kerugian Negara karena korupsi sudah menembus angka Rp 1,09 triliun dari 139 kasus korupsi yang terungkap dengan 351 tersangka. Kasus-kasus itu membentang dari kementerian sampai tingkat kabupaten/kota.
Maruli menilai, korupsi marak karena belum optimalnya tiga pendekatan, yaitu hukum, ekonomi, dan moral. “Pencegahan korupsi juga masih jargon, karena belum berfokus pada perbaikan sistem hukum, ekonomi, kelembagaan, dan perbaikan SDM,” ujar Maruli yang berperan mengembalikan aset Rp 200 miliar milik Pemkot Surabaya yang telah puluhan tahun dikuasai swasta. [iib.bed]

Tags: