Mantiq dan Kesadaran Simulakra

Judul Buku : Mantiq
Penulis : Aziz Anwar Fachrudin
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, Mei 2021
Tebal Buku : 222 Halaman
Peresensi : Slamet Makhsun
Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga

Dunia ini adalah entitas ketidakpastian, suatu hal-hal yang ada, tiadalah yang bersifat hakiki-semua yang ada bersifat semu dan tidak bisa diketahui bagaimana nasib dan cara kerja, pun demikian terkait kesejatian kebenarannya. Begitulah anggapan kaum Skeptisisme terhadap realitas dunia. Berkelindan pula dengan anggapan kaum Relativisme, bahwa pengetahuan dan kebenaran tidak mungkin bisa diraih. Pandangan manusia akan hal itu dibatasi, baik oleh akal budi maupun cara mengetahui yang serba terbatas.

Dua kelompok diatas ialah termasuk kaum Sofis. Yakni kaum yang selalu menggunakan argumen muluk-muluk-lemah dan palsu-yang pada akhirnya akan jatuh pada sesat pikir. Pemahaman seperti di atas, cukup menggema dengan kuat di paruh awal abad 19 sehingga berimbas munculnya beragam bentuk ateisme ‘baru’ seperti yang digaungkan oleh Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, Leo Tolstoy, ataupun Nietzsche.

Tracing sejarah menunjukkan bahwa jauh sebelum berkembangnya ‘Sofisme Modern’, filsafat Yunani Kuno pada era pasca Plato dan teman-temannya telah memulainya lebih dahulu. Sehingga, ateisme modern ini, bukanlah suatu hal yang baru dalam dunia pemikiran.

Dalam banyak hal, pemikiran kaum Sofis ini bertentangan dengan doktrin dasar umat Islam. Misalnya terkait tauhid, rasul, mukjizat, penciptaan alam semesta, ataupun tentang Yaumul Qiyamah. Jika alur pemikiran seperti itu tidak segera dikonter, maka akan berimbas pada eksistensi agama Islam yang akan dianggap sebagai agama yang tidak rasional, non-logis, serta bersumber dari takhayul.

Kala awal ketika umat Islam ramai mengkaji filsafat Yunani Kuno, membuat Islam turut melahirkan filsuf-filsuf besar yang tentunya telah mengkomparasikan ajaran Islam dengan pemikiran filsafat, sehingga pemikiran-pemikiran filsafat yang bertentangan dengan Islam telah termentahkan.

Raksasa-raksasa pemikiran itu, sampai detik ini pun, karya-karyanya masih terus dipelajari, yang tentunya telah berkontribusi besar dalam mengangkat manusia ke dalam dunia modern. Misalnya Alfarabi, Alkindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Alghazali. Khusus nama terakhir ini, telah memilah dan acapkali mengkritik berbagai aliran filsafat Islam yang sekiranya telah melenceng dari aqidah. Oleh karenanya, umat Muslim Sunni menjulukinya Hujjatul Islam karena telah mendudukkan teologi ‘Asy’ariyah sebagai basis aqidah yang bilamana mendapat kritikan bernada filosofis, bisa membantahnya secara nalar filsafat.

Salah satu karya Alghazali yang kental filsafatnya adalah kitab Mi’yarul Ilmi. Kitab ini, secara khusus membahas logika-logika dasar dalam mencapai suatu kebenaran. Dalam dunia Islam, pembahasan seperti itu disebut Mantiq. Yakni ilmu yang menuntut penalaran logika secara benar, termasuk dalam hal aqidah dan ibadah (Ushul Fiqh). Dalam bukunya sendiri pun Alghazali mengatakan, “Bahwa siapa yang tidak menguasai mantiq, maka ilmunya tidak terpercaya”.

Salah satu penerapan mantiq ialah mampu membantah nalar-nalar kaum Sofis. Misalnya ketika mereka skeptis bahwa di dunia ini tidak ada kebenaran, musti ditanyai. “Apakah pengingkaranmu terhadap adanya kebenaran itu, adalah suatu kebenaran?”, jika mereka menjawab “Ya”, maka mereka sedang mengafirmasi terhadap adanya kebenaran itu (dengan demikian, menyanggah pandangan mereka sendiri). Jika mereka bilang “Tidak”, maka mereka juga percaya bahwa kebenaran memang ada.

Selain hal di atas, mantiq juga bisa diterapkan dalam menyangkal pendapatnya orang ateis. Misal mereka bertanya, “Bila segala sesuatu ada karena diciptakan, dan alam semesta ini ada diciptakan Tuhan, maka siapa yang menciptakan Tuhan?”

Sebenarnya, pertanyaan semacam itu bernada fallacy-cacat. Karena akan menuntut adanya sistem kausalitas yang tidak akan pernah terputus. Contohnya si A diciptakan oleh si B, si B diciptakan oleh si C, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Maka, logika Islam yang digunakan dalam asas penciptaan bukan seperti itu. Yakni likulli al-hawadits ‘illah. Setiap yang bermula memiliki sebab.

Jadi, Islam menempatkan Tuhan sebagai kausa prima (sebab utama). Sehingga, hukum kausalitas akan berhenti dan terputus pada Tuhan. Sama halnya dengan angka satu. Angka satu tidak bisa terbentuk dari nol, namun, dari angka satu bisa membentuk angka-angka lain yang berjumlah tak terhingga, entah dengan cara penjumlahan, perkalian, pengurangan, atau pembagian.

Tuhan mustahil tercipta dari ketiadaan, namun, Tuhan-lah yang menjadi awal segala sesuatu, sehingga segala sesuatu selain Tuhan, keberadaannya mutlak bergantung kepada-Nya. Inilah yang disebut kausa prima, yakni Dzat yang tidak memiliki awal atau akhir, serta tidak butuh segala sesuatu yang menyebabkan ada-Nya ada.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: