Manusia Subyek di Tengah Bencana

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Bencana, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM, Alumni Hosei University, Tokyo dan Pendamping Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) Kota Batu, Jawa Timur)

Akhir-akhir ini hujan melahirkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Kondisi terkini yaitu Banjir di Kalimantan Selatan, Aceh, Jawa, serta daerah-daerah. Belum lagi kita lihat kota-kota/kabupaten di Indonesia yang menghadapi persoalan ini, seperti DKI Jakarta, Malang, Jombang Semarang dan daerah-daerah yang lain. Tahun ini pun, banjir merupakan bencana yang terjadi merata di seluruh Indonesia. Sekalipun bukan isu baru, ia persoalan kemanusiaan yang menyita keprihatinan manusia hari ini, sama peliknya bangsa ini yang menghadapi pandemi Covid 19. Untuk itu tidak ada pilihan lain, kecuali diatasi bersama-sama.

Langkah utama yakni mencari akar persoalan banjir yang selanjutnya kita harus menemukan etika lingkungan untuk mencegah hal ini ke depan.Persoalan bencana disebabkan banyak faktor baik terkait kondisi lingkungan fisik, kebijakan atau perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Singkatnya, “manusia gagal menjadi subyek”. Banyak keputusan pengelola kota dan perencana wilayah dikendalikan faktor sosioekonomi politik eksternal deterministik. Mereka disandera keputusan-keputusan relasi kuasa struktur tata ruang yang tidak ekologis yang berbuah bencana..

Karakter semacam dikarenakan kita hidup di masyarakat modern yang disebut pula dengan masyarakat beresiko (Ulrich Beck, 1992) dan masyarakat konsumsi (Baudrillard, 1998). Masyarakat beresiko menjebak manusia pada sistem ekonomi global dan determinisme industri. Keputusan-keputusan bangsa ini tidak murni karena kebutuhan kita, tetapi juga relasi ekonomi global. Demikian, pula masyarakat konsumsi melahirkan tanda (sign), simulasi, simulakrum dan simulakra. Kita tidak memandang krisis lingkungan sebagai hal serius, karena memandangnya sekedar arena permainan. Di mata publik, kesedihan akibat bencana misalnya, dilihat sebatas “berita-berita media sosial”, padahal krisis kemanusiaan hadir di situ.

Berangkat dari hal tersebut, agenda terpenting penyelematan ekologis dan penanganan bencana yakni mengembalikan citra diri manusia subyek yang mengendalikan keputusan berdasarkan jiwa merdeka yang memihak pada keselamatan lingkungan dan keselarasan sosial. Tanpa kembali subyek segala penanganan dan mitigasi bencana tidak akan efektif.

Khalifah Ekologis untuk Manusia Subyek

Dalam penanganan dan penanggulangan bencana, Tuhan sebenarnya sudah memberi pelajaran berharga dan mewariskan peran ideal untuk alam. Kitab suci yang telah membuka pelajaran penting tentang bencana. Dalam kisah Banjir Era Nabi Nuh misalnya, Ali Muhammad Ash Shallabi (2020) menjelaskan pelajaran penting bahwa banjir terjadi karena manusia melakukan pembangkangan atas perintah Tuhan (Al Qomar: 9-16).

Sayangnya, manusia tidak cerdas dan cenderung tidak tanggap atas pekerjaan ini. Tuhan sesungguhnya telah menjadikan sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. Al An’am: 165 dan An Naml: 62). Khalifah ekologis bertugas memakmurkan lingkungan dan alam. Kekhalifahan yang dimaksud bukan dalam artian politis yang dikaitkan sistem politik khilafah, tetapi menekankan pada subyek dengan kesadaran dan tanggung jawab sebagai manusia pelestari alam. Khalifah merupakan perintah Tuhan yang sekaligus pembebasan manusia dari kekuatan material dan bahkan sosiopolitik yang menghegemoni. Manusia menerjemahkan perintah Tuhan berarti ia menjadi subyek sepenuhnya.

Hadits nabi berikut melegitimasi peran kekhalifahan tersebut. “Bumi ini hijau dan indah dan Tuhan telah menunjukmu sebagai wakil-Nya untuk memelihara bumi. Dia melihat bagaimana kau melaksanakan tugasmu (HR Muslim).

Quraish Shihab (2020) menyatakan khalifah yakni mengganti peran Tuhan di muka bumi sebagai pemakmur bumi (Shihab, 2020: 40), sementara itu Abdullah Omar Naseef, sekretaris jenderal Liga Dunia Muslim menyatakan kekhalifahan melahirkan konsekuensi, akuntabilitas demi kesejahteraan yang berkelanjutan bagi bumi sendiri dan bagi semua spesies flora dan fauna.

Menghidupkan Khalifah Ekologis

Berangkat dari hal ini, kita membutuhkan aktualisasi kekhalifahan ekologis, maka langkah-langkah berikut bisa dilakukan, yaitu : Pertama, Basis kesadaran. Pengertian kesadaran yaitu perasaan sebagai bagian dari alam dan bertanggung jawab melestarikan alam itu. Kesadaran seperti ini sudah dimiliki setiap manusia, persoalannya materialisme membutakan manusia pada relasi manusia-alam itu. Terlebih, kompetisi pada kekayaan membuat alam dikorbankan. Pragmatisme juga melahirkan sikap tidak peduli. Disinilah, gagasan (ideal) khalifah harus menang dalam dialektika dengan material. Basis kesadaran ini penting sebagai titik pusat aksi-aksi ekologis lain.

Kedua, Kepedulian pada kepentingan orang lain . Selain peduli pada alam, khalifah ekologis juga memikirkan hak-hak ekologis manusia. Ingat, bahwa persoalan lingkungan berakibat pada kesejahteraan manusia. Dalam konteks human security, bahaya lingkungan akan berakibat pada tata sosial lain, seperti: kemerdekaan, kemiskinan, ketidakadilan dan perasaan ketakutan (Brauch, 2008).

Tidak heran, Endang Saefuddin Anshar (1984) menyatakan bahwa kekhalifahan menyaratkan kultur untuk meningkatkan martabat manusia dan kemanusiaan. Dengan mengkulturkan natur, maka peradaban semakin meningkat. Tantangan poin ini yakni mengeringnya solidaritas sosial transgenerasi antarsesama yang harus diatasi. Ketiga, Kerja sama sesama manusia. Kerja khalifah menyaratkan karakter altruistik dan berbasis kerelawanan, maka khalifah ekologis dibangun dari kebudayaan melalui pelembagaan nilai-nilai/norma-norma universal. Untuk itu khalifah harus memakmurkan bumi dan membudayakan alam yang diimbangi kerja kolaborasi. Keempat, Membangun Tata Kelola Lingkungan berkelanjutan. Kerja sama akan kuat jika didukung tata kelola lingkungan berkelanjutan, maka semua aktor penting, karenanya tidak ada dikotomi dalam penanggulangan bencana. Baik pemerintah, LSM maupun masyarakat lokal saling bahu membahu. Misalnya, regulasi yang sudah dibuat harus dijalankan. LSM mengawal implementasi regulasi itu, sementara masyarakat lokal sebagai alat kontrol sosial.

Pengetahuan modern berkolaborasi dengan pengetahuan lokal untuk menghasilkan model penanggulangan yang efektif. Pengetahuan lokal lebih pada siap siaga dan tanggap darurat. Pengambil kebijakan dipandu pengetahuan modern sementara masyarakat lokal pada pengetahuan mereka.

Inovasi sosial bersama diperlukan tantangan pada tata kelola. Hakekat watak manusia sebagai manusia serakah, pasti lupa dan tidak menyadari akan terjadi, maka evaluasi, refleksi, kontrol dan penataan kelembagaan harus selalu dilakukan. Pertanyaanya, seberapa jauh kita berhasil melakukan ini? Kita akan puas dengan bencana sebagai masalah rutin atau kita akan segera mengakhiri bencana?

——– *** ———-

Rate this article!
Tags: