Maraknya Kasus Intoleransi Sulit Dilepaskan dari Kondisi Politik

foto ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Kasus penyerangan yang terjadi kepada berbagai tokoh agama dan juga tempat ibadah disinyalir tak bisa dilepaskan dari keadaan politik di Indonesia saat ini.
Pandangan itu diungkap oleh salah satu pengamat politik, Hendri B Satrio.
“Gerakan ini (kasus penyerangan, red) terlalu terlihat dan aneh untuk sebuah gerakan yang disebut kebetulan. Sulit sekali bagi masyarakat mempercayai bahwa gerakan ini tidak ada hubungannya dengan tahun politik,” ujar Hendri, Selasa (13/2).
Hendri kemudian menyatakan ada sebuah teori politik yang membahas mengenai sebuah negara demokrasi. Negara yang demokratis akan mudah melaksanakan demokrasinya jika sudah mencapai tiga hal. Yaitu kesetaraan hukum, ekonomi yang merata, serta kedewasaan politik yang di dalamnya termasuk toleransi.
Dia melihat toleransi adalah pekerjaan rumah yang sangat besar bagi pemerintahan Jokowi saat ini. Masalah toleransi semakin menguat sejak Pilkada DKI beberapa waktu lalu. Dan masalah terkait toleransi itu masih belum bisa diredam hingga saat ini.
Saat ini hampir semua agama sudah menjadi korban dari penganiayaan ini. Mulai dari Budha, Kristen, apalagi Islam. Keterburu-buruan pihak kepolisian menyebut pelakunya gila atau terpengaruh pemikiran radikal menjadi pemicu masalah toleransi ini. Pemerataan hukum bagi siapa pun, kata Hendri harus ditaati. “Bagaimana dengan misalnya pelanggaran lain? Contohnya saja salah satu petinggi partai politik yang jelas-jelas mendiskreditkan sebuah agama, sampai sekarang kan tidak diapa-apain. Jadi masyarakat perlahan tapi pasti melihat ada ketidakpastian hukum terkait toleransi,” ujar Hendri.
Sementara itu anggota Komisi Hukum MUI Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah meminta agar semua pihak tidak terburu-buru menyimpulkan kasus penyerangan ulama dan pastur akhir-akhir ini. Misalnya, pelaku penyerangan terhadap ulama disimpulkan sebagai orang gila. Bahkan, dalam kasus penyerangan terhadap seorang pastur di Gereja Santa Lidwina di Sleman Jogjakarta pelakunya juga secara cepat sudah disimpulkan sebagai orang yang terpengaruh paham radikal. Padahal, hal tersebut belum bisa dibuktikan.
“Semua pihak supaya tidak cepat ambil kesimpulan termasuk aparat apalagi penyidik karena penyidik dalam menangani tiap perkara tindak pidana harus secara ilmiah teruji kebenarannya,” ujar Anton dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (13/2).
Sebagai mantan Jendral Polri dan 35 tahun menjadi penyidik, Anton menjelaskan bahwa untuk mengambil kesimpulan harus didukung dengan alat bukti dan saksi-saksi yang akurat, serta menggunakan cara-cara investigasi ilmiah. [cty, bed]

Tags: