Maraknya Kekerasan Pada Perempuan

Oleh :
Alya Maheswari Choirima
Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya.

Saat ini kita seringkali mendengar berita mengenai maraknya kekerasan pada perempuan. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kekerasan merupakan sebuah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Kekerasan yang terjadi pada perempuan tak hanya berupa kekerasan fisik seperti pemukulan dan penyerangan menggunakan benda tumpul maupun tajam, tetapi juga kekerasan emosional seperti penghinaan, pengancaman, perendahan harga diri, dan perundungan. Tidak hanya itu, perempuan pun rawan menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan pada perempuan ini terjadi pada hampir semua usia, dimana tidak hanya perempuan atau wanita dewasa saja yang mengalami kekerasan ini, tapi ada juga anak-anak dan remaja yang mengalaminya.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Sistem Informasi Online Perlindungan Anak dan Perempuan (SIMFONI) milik Kementerian PPPA Republik Indonesia, pada tahun 2022 ini, telah terjadi 8.063 kasus kekerasan dengan korban perempuan di Indonesia. Padahal tahun 2022 ini baru berjalan selama kurang lebih hampir enam bulan saja ketika esai ini ditulis dan telah terjadi lebih dari delapan ribu kasus kekerasan yang korbannya adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga adalah jenis kasus yang paling banyak terjadi. Selain itu, tempat terjadinya kekerasan pada perempuan ini juga beragam, mulai dari tempat atau fasilitas umum, tempat kerja, dan bahkan di sekolah. Dari seluruh jumlah kasus kekerasan tersebut, kebanyakan pelakunya berjenis kelamin laki-laki dengan prosentase 89,7%. Berarti, laki-laki merupakan mayoritas pelaku dalam kekerasan pada perempuan, terutama dalam KDRT. Hal yang paling disayangkan adalah anak-anak dan remaja merupakan rentang usia yang paling banyak mengalami kekerasan dibandingkan dengan perempuan dewasa. Hal ini sangat disayangkan karena semua anak terutama anak perempuan seharusnya tidak mengalami kekerasan yang bisa menyebabkan trauma sepanjang hidupnya.

Banyak faktor yang mendorong terjadinya kekerasan pada perempuan ini. Yang pertama adalah faktor psikologis, dimana terkadang para pelaku kekerasan ini mendapat kesenangan tersendiri jika berhasil menyakiti perempuan. Selain itu, banyak terdapat pula laki-laki yang melampiaskan amarah dan kekesalannya kepada perempuan dengan cara menyakiti melalui fisik maupun verbal. Faktor ini kebanyakan terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang tidak sehat dan menyebabkan angka KDRT meningkat. Selain kekerasan fisik dan verbal, faktor psikologis ini juga memengaruhi terjadinya kekerasan seksual pada perempuan. Banyak sekali contoh dari kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, ancaman seksual, dan lain sebagainya.

Selain faktor psikologis, faktor lingkungan dan faktor sosial juga turut mendukung terjadinya kekerasan pada perempuan ini. Ketika orang terlalu lama bergaul dan berada di tengah lingkungan yang menormalisasi kekerasan, maka orang tersebut juga bisa turut mendapatkan kebiasaan untuk melakukan kekerasan. Kekerasan yang menimpa perempuan akan meninggalkan trauma yang mendalam. Terutama bagi anak-anak, mereka akan mengenang peristiwa mengerikan itu seumur hidupnya dan bahkan bisa memengaruhi masa depannya. Ketidaksetaraan gender juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya kekerasan pada perempuan. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki atau maskulinitas di atas perempuan atau feminitas ini turut menimbulkan adanya kekerasan pada perempuan. Struktur sosial kita sejak dahulu telah menilai bahwa laki-laki sejatinya kuat dan perempuan sejatinya lemah. Dengan adanya stereotype seperti itulah yang mendorong pelaku kekerasan terutama laki-laki seringkali melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Hal ini juga turut menyebabkan laki-laki diberi hak istimewa atas perempuan (Jackson & Sørensen, 2013).

Kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan merupakan perbuatan melawan hukum. Kekerasan terhadap perempuan ini terus marak terjadi kendati sudah terdapat hukum yang mengatur mengenai hal ini. Peraturan mengenai kekerasan secara umum tertuang pada pasal 170 KUHP yang mengatur mengenai pelaku kekerasan akan mendapat penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. Selain itu, untuk melindungi perempuan dari KDRT, telah ada peraturan yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004, yang mana dalam undang-undang ini telah mengatur mengenai apa saja bentuk KDRT dan apa hukuman bagi pelaku KDRT. Khusus mengenai kekerasan pada anak, terdapat UU No. 02 Tahun 2010 yang mengatur mengenai pencegahan serta penanganan terhadap kekerasan pada anak.

Selain mengatur mengenai kekerasan secara umum, baru-baru ini DPR RI baru saja mengesahkan peraturan yaitu UU TPKS yang mengatur mengenai kekerasan seksual. Undang-undang ini secara khusus mengatur mengenai pencegahan serta penanganan terjadinya kekerasan seksual. Dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai pemulihan korban yang mendapat kekerasan seksual. Sebelum UU TPKS ini disahkan, Indonesia belum memiliki peraturan yang jelas mengenai kekerasan seksual seperti apa saja bentuk kekerasan seksual dan apa hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Oleh karena itu, dengan adanya pengesahan UU TPKS ini, diharapkan kasus kekerasan seksual terutama terhadap perempuan yang merupakan mayoritas korban dapat berkurang dan pelaku dapat diadili dan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yang menjadi trauma sepanjang hidup bagi korban.

Kekerasan terhadap perempuan ini tidak hanya menjadi permasalahan atau isu nasional saja, tetapi juga menjadi isu global karena satu dari tiga wanita di dunia pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya, yang mana kekerasan ini berupa kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Semua tindakan kekerasan merupakan sebuah tindakan pelanggaran terhadap HAM, terutama kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi. Dalam Deklarasi Universal HAM, telah tertulis dengan jelas bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dengan bebas termasuk bebas dari perbudakan dan siksaan dalam bentuk apapun serta berhak untuk mendapat keselamatan. Selain itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa hak asasi perempuan merupakan hak asasi manusia. Berdasarkan organisasi dibawah PBB yang secara khusus menangani kesetaraan gender yaitu UN Women, kekerasan berbasis gender terutama pada perempuan telah menjadi permasalahan global sejak dulu, dan semakin parah ketika adanya pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat dianjurkan untuk tetap berada di rumah selama pandemi, sehingga hal ini menyebabkan tingginya angka KDRT karena perempuan terjebak oleh pelaku kekerasan di dalam rumah untuk beberapa waktu. Menurunnya kondisi perekonomian turut menyulitkan perempuan dalam menghindari terjadinya KDRT.

Karena permasalahan atas kekerasan terhadap perempuan ini termasuk dalam permasalahan global, maka sudah seharusnya hal ini patut menjadi perhatian bagi tiap-tiap negara di dunia. Sebagai salah satu upaya terhadap hal ini, PBB turut mengajak pemerintah dari negara-negara di dunia, organisasi internasional, dan juga Non-Govermental Organization (NGO) atau lembaga non-pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan terhadap perempuan melalui penetapan tanggal 25 November sebagai Hari Anti Kekerasan Pada Perempuan Internasional. Seluruh masyarakat diharapkan peduli dan sadar akan kekerasan pada perempuan dan turut serta dalam pencegahannya. Selain itu, tidak hanya peraturan atau hukum nasional saja yang diperlukan untuk mengatur mengenai kekerasan pada perempuan ini. Diperlukan juga adanya hukum internasional yang bisa mengatur mengenai kekerasan pada perempuan. Pada 18 Desember tahun 1979, dibentuklah CEDAW atau Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women. Perjanjian internasional ini merupakan upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan-perempuan di dunia serta merupakan sarana untuk memenuhi hak yang dimiliki perempuan serta mengenai kesetaraan gender. CEDAW ini terdiri atas 30 pasal yang secara khusus mengatur mengenai diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam hukum internasional dan sebanyak 189 negara di dunia telah meratifikasinya menjadi hukum nasional. Oleh Indonesia sendiri, CEDAW diratifikasi ke dalam UU No. 47 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Dengan adanya hukum nasional dan hukum internasional yang mengatur mengenai kekerasan pada perempuan ini, diharapkan kasus kekerasan pada perempuan ini bisa dicegah dan dihapuskan. Selain karena kekerasan merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, kekerasan ini juga merupakan sebuah pelanggaran terhadap HAM yang berat. Setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang bebas dari siksaan dan mendapat kehidupan yang layak. Saat ini kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan dalam kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan terhadap perempuan, dan diharapkan hal ini bisa membuat masyarakat sadar akan kekerasan pada perempuan dan turut berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan pada perempuan untuk menciptakan dunia yang aman bagi seluruh perempuan.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: