Mari Lindungi Anak dari Kekerasan !

Oleh :
Oman Sukmana
Ketua Prodi Kesejahteraan Sosial, FISIP-UMM

Kekerasan kepada anak (childhood maltreatment) didefinisikan sebagai tindakan kelalaian orang tua, pengasuh, atau orang dewasa yang mengakibatkan potensi bahaya bagi kesehatan dan pengalaman anak, yang meliputi bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, emosional, dan sosial. Butler dan Robert (2004) menyatakan bahwa bentuk kekerasan terhadap anak, meliputi: pelecehan fisik (physical abuse), pelecehan seksual (sexual abuse), pengabaian (Neglect), pelecehan emosional (emotional abuse), perampasan (deprivation), dan eksploitasi (exploitation).

Tindakan kekerasan terhadap anak masih terus terjadi dan setiap tahun angkanya selalu menunjukkan peningkatan. Kekerasan anak merupakan fenomena sosial yang cenderung meningkat pada akhir-akhir ini, baik secara kuantitas maupun kualitas. Menurut Rusyidi dan Tri Rahardjo (2018), kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA) merupakan salah satu persoalan sosial global yang dihadapi setiap negara tanpa tergantung dari tingkat perkembangan sosial, ekonomi, politik dan budayanya.

Data pasti mengenai jumlah kekerasan seksual terhadap anak memang sangat sulit didapatkan. Institusi pemerintah mau pun swasta yang bergerak di bidang perlindungan anak, secara berkala menyajikan angka kekerasan anak yang cenderung meningkat. Namun demikian, angka-angka yang dipublikasikan tersebut masih sebatas kasus yang dilaporkan atau yang memperoleh pelayanan di Rumah Sakit, Puskesmas, KPAI, Kepolisian dan lembaga pelayanan dan perlindungan anak. Sedangkan angka-angka yang sesungguhnya masih sulit dilacak, karena kekerasan anak ini merupakan fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan anak yang tidak terungkap ke publik dengan berbagai alasan (Suradi, 2013). Padahal menurut Undang-undang Nomor: 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di Indonesia misalnya pada tahun 2017 tercatat jumlah pengaduan terkait dengan persoalan pada anak (child maltreatment) sebanyak 3.849 kasus. Jumlah kasus kekerasan anak pada tahun 2016 sebanyak 327 kasus, pada tahun 2017 sebanyak 338 kasus, dan pada 2018 tercatat 445 kasus. Pada tahun 2018, dari jumlah 445 kasus kekerasan pada anak, sebanyak 228 kasus (51,20 persen) di antaranya merupakan kasus kekerasan fisik, seksual, dan verbal.

Sementara jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih menjadi kasus tertinggi, dimana pada tahun 2017 jumlah ABH sebanyak 1.209 kasus, sementara pada tahun 2018 sebanyak 1.434 kasus. Khusus untuk tahun 2018, dari total 445 kasus kekerasan terhadap anak, kekerasan yang terjadi dalam bidang pendidikan sebanyak 228 kasus (51,20 persen), yakni kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang kerap dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah dan juga peserta didik. Kasus cyberbully di kalangan siswa juga meningkat. Selanjutnya, kasus tawuran pelajar mencapai 144 kasus (32,35 persen), dan 73 kasus (16,50 persen) merupakan kasus anak yang menjadi korban kebijakan (www.kpai.go.id).

Di Jawa Timur, kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2018 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2017. Berdasarkan data tahun 2017 yang melapor langsung berjumlah 159, sedangkan pada tahun 2018 menjadi 131. Sedangkan data yang dihimpun dari media massa, pada tahun 2017 terdapat sekitar 390 kasus, dan pada tahun 2018 ada sekitar 333. Dari tinjauan pelaku dan korban, pada tahun 2017 yang terkategori pelaku meski mereka juga adalah korban sebanyak 570 anak dan sebagai korban langsung sebanyak 466 anak, sementara pada Tahun 2018 jumlah korban pelaku sebanyak 503 dan sebagai korban langsung 471.

Ditinjau dari jenis kekerasan, kasus kekerasan seksual pada tahun 2017 yang melapor langsung ke Lembaga Perlindungan Aanak (LPA) sebanyak 18 kasus, sedangkan pada tahun 2018 sebanyak 22 kasus..Sedangkan jika mengacu kepada data yang dihimpun dari media massa, maka jumlah kekerasan seksual pada anak sebanyak 151 kasus pada tahun 2017, dan pada tahun 2018 sebanyak 121. Sementara untuk kasus anak yang berhadapan dengan persoalan hukum (Anak Berhadapan dengan Hukum: ABH), pada tahun 2017 jumlah yang melapor langsung ke LPA Jawa Timur sebanyak 14 kasus, dan pada tahun 2018 sebanyak 5 kasus. Selanjutnya dalam kasus kekerasan anak di dunia pendidikan, pada tahun 2017 jumlah kasus yang melapor langsung ke LPA sebanyak 21 kasus, dan pada tahun 2018 sebanyak 5 kasus.

Ditinjau dari jumlah korban dan pelaku, pada tahun 2017 data jumlah pelaku kekerasan anak langsung sebanyak 570, sementara pada tahun 2018 sebanyak 466. Sedangkan apabila dilihat dari jumlah korban, pada tahun 2017 sebanyak 503 kasus, dan pada tahun 2018 sebanyak 471 kasus (https://jatimnow.com). Kecenderungan kasus kekerasan anak pada tahun 2019, 2020, dan 2021 nampaknya akan terus mengalami peningkatan.

Meningkatnya kasus kekerasan atau penyiksaan terhadap anak baik fisik dan/atau emosional, seksual, akan berdampak terhadap kondisi psikososial anak dan masa depan anak. Selain bahaya aktual dan potensial bagi kesehatan anak juga bahaya bagi perkembangan psikologis anak. Anak akan mengalami cedera, gangguan kesehatan seksual dan reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, resiko terhadap HIV, gangguan kesehatan jiwa, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, menutup diri dari pergaulan, dan meningkatnya kejadian penyakit kronis pada orang dewasa, bahkan perilakunya cenderung bermasalah, yakni melakukan penyimpangan sosial ketika beranjak dewasa, serta cenderung menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari (Kurniasari, dkk., 2017).

Menurut United Nations International Children’s Emergency Fund (Unicef, 2000), Intervensi untuk penanggulangan kekerasan pada anak harus berjalan di seluruh tingkatan, yaitu: pada tingkat keluarga (melibatkan ayah, ibu, anak, dan remaja), tingkat komunitas local (melibatkan kerjasama orang-orang senior atau tua, pemimpin agama, kelompok masyarakat, dan tetangga), tingkat masyarakat sosial (melibatkan kelompok professional, kelompok laki-laki, perempuan atau anak, media, lembaga pendidikan dan badan-badan tertentu), tingkat negara (melibatkan system hokum dan criminal, system perawatan kesehatan, badan legislative dan parlemen serta badan pendidikan yang lebih luas), serta tingkat internasional (melibatkan organisasi-organisasi internasional).

Layanan perlindungan anak berada pada beberapa tingkat, yakni primer, sekunder, dan tersier (Susmiati, dkk., 2015). Intervensi primer, diarahkan pada seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengasuh keselamatan anak. Kegiatan ini mencakup pola perubahan sikap serta perilaku, mendorong penggunaan metode pendisipinan, selain hukum, fisik, dan pemahaman mengenai dampak kekerasan terhadap anak. Intervensi sekunder, pemberian pelayanan intervensi dini yang ditujukan pada anak dan keluarga rentan atau beresiko mengalami kekerasan atau penelantaran. Pelayanan intervensi dini ini ditujukan pada keluarga yang diketahui terbiasa dengan kekerasan guna mengubah keadaan sebelum kebiasaan tersebut berdampak pada anak. Intervensi tersier, merespons keadaan dimana seorang anak mengalami resiko berat ataupun mengalami kekerasan, perilaku salah penelantaran dan eksploitasi.

Melindungi anak dari tindakan kekerasan adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Oleh karena itu “Mari kita lindungi dan selamtkan anak-anak dari tindakan kekerasan”.

——– *** ————

Rate this article!
Tags: