Marley Sang Penantang

Oleh:
Mahan Jamil Hudani

“Di mataku, Kau bukanlah seorang tipikal penyerang atau petarung, tapi kau seorang defender. Kau tak akan mampu menyerang dan mendapatkan atau merebut apa yang kau inginkan. Kau hanya dalam posisi menunggu untuk itu. Tapi kau memiliki pertahanan luar biasa saat ada orang ingin menghantammu, menyerangmu, atau menjatuhkanmu. Kau akan sulit digoyahkan.”

Itu adalah kalimat-kalimat Marley yang selalu kuingat. Aku rasa Marley punya alasan kuat untuk memiliki penilaian seperti itu padaku. Awalnya aku tak menanggapi pernyataan Marley itu. Semua orang berhak menyatakan pendapatnya. Lagipula itu bukan hal penting untuk kupikirkan meski Marley menyatakan itu padaku beberapa kali pada kesempatan yang berbeda.

Marley, itu tentu bukan nama sebenarnya. Nama lengkap pemberian orangtuanya sejak lahir adalah Marabbul Akhir. Namun sejak kecil ia sering dipanggil Bob oleh teman-temannya. Marley, itulah nama pemberianku padanya karena ia sering dipanggil Bob. Awalnya tentu agar tampak keren saja seperti penyanyi terkenal yang memiliki nama itu. Bob menjadi anak badung, begitu menurut penuturannya sendiri padaku.

Semasa awal masuk kuliah, Marley membiarkan rambutnya menjadi gondrong dan gimbal agar tampak benar seperti penyanyi reggae terkenal yang namanya kini ia sandang sebagai nama panggilan dariku. Aku lebih senang memanggilnya Marley saja, bukan Bob seperti yang lainnya. Perkenalanku dengan Marley terjadi pada saat memasuki perguruan tinggi di kota pelajar.

Marley kemudian masuk pada beberapa organisasi kemahasiswaan baik internal atau eksternal kampus. Beberapa diklat keorganisasian ia ikuti. Ia menjadi aktivis yang sangat frontal. Dia akan berada di barisan terdepan jika ada demonstrasi pada pihak kampus atau pada kebijakan pemerintah. Suaranya lantang tanpa kenal kompromi. Saat terjadi diplomasi antara pihak pendemo atau pihak kampus, Marley tak suka basa-basi dan tegas pada sikap dan tuntutan yang disuarakan pendemo.

Ketika aku menjadi presiden Badan Eksekutif Mahasiswa, Marley adalah orang paling lantang mengkritik apa yang selalu menjadi keputusanku. Sepertinya sangat tak asyik baginya jika membiarkan semua sikap dan keputusanku diterima dan dijalankan begitu saja. Bahkan di setiap rapat, Marley akan selalu mengambil sikap yang berlawanan denganku. Aku tentu sering jengkel dan ingin marah pada sikapnya yang selalu frontal padaku namun aku berusaha bersikap setenang mungkin. Ia seolah telah menjadi sang penantang bagiku padahal banyak teman lain menjadi pendukungku. Namun Marley, karena sikap tegas dan frontal yang selalu ia tunjukkan, banyak pendukung kebijakanku merasa segan berhadapan dengannya.

Kadang Marley juga seakan senang melakukan pembunuhan karakter kepadaku. Misal jika ada teman mencari dan menemuiku di sekretariat – namun mereka tak mendapatkanku – Marley akan berkata, “Coba cari presiden BEM kalian di kos Lusiana, Deanise, Yuni, atau Rohmah. Dia paling senang tebar pesona di sana.” Ia mengesankan aku sebagai seorang presiden BEM yang lebih senang mengurus para mahasiswi ketimbang mahasiswa.

Marley akan menjadi sang penantang bagiku untuk hampir semua urusan entah itu di kelas, di forum atau rapat, dalam pembicaraan santai dengan teman-teman baik di kantin atau di halaman kampus, atau saat aku sedang mengobrol dengan para mahasiswi. Banyak teman tahu jika Marley memang mengambil sikap berlawanan denganku. Tapi dalam satu hal Marley bisa menjadi pendukungku, yaitu saat kami berada pada barisan yang sama, saat berhadapan dengan pihak kampus atau pemerintah. Pada saat itulah ia akan membelaku, meski di belakang, ia akan tetap selalu menentangku. Itu berjalan beberapa tahun selama kami sama-sama menjadi mahasiswa dan aktivis.

***

Selepas kuliah, Marley dan aku merantau di kota yang berbeda. Hubungan kami tetap berlanjut. Awalnya di fesbuk, aplikasi BBM, dan kemudian di group Whatsapp. Marley masih sama seperti dulu, masih bersikap kritis dan lantang padaku. Kami sering berdebat di komentar-komentar fesbuk atau di group Whatsapp. Aku berpikir itu memang sudah menjadi karakternya. Aku mulai malas berdebat dan menanggapi komentar-komentarnya. Sudah tak begitu berguna menurutku.

Kuperhatikan Marley masih bersikap seperti seorang aktivis walau ia telah menikah dan memiliki dua anak. Ia masih sering melontarkan kritikan pedas pada kebijakan pemerintah yang menurutnya tidak pro rakyat. Ia sering menulis di akun media sosialnya. Bagiku, topik itu sudah kurang menarik. Marley juga sering menyindirku bahwa aku telah menjadi seorang hedonis dan telah melupakan jiwa seorang aktivis.

“Kita sudah berada pada masa berbeda, Ley. Kita juga harus tahu dalam kapasitas apa kita bicara,” jawabku singkat.

“Tapi kita tetap harus menjadi alat kontrol bagi pemerintah. Ketidakadilan akan selalu terjadi dan tidak bisa dibiarkan, Pak Pres.” Aku diam jika ia sudah mengatakan itu, lalu Marley akan mengeluarkan pernyataannya dulu bahwa aku memang bukan seorang tipikal petarung walau aku kadang masih bingung dengan apa yang dimaksudnya.

***

Belakangan, aku makin benar-benar malas melakukan interaksi dengan Marley. Postingan-postingannya di media sosial cenderung partisan. Walau sering jika ada teman yang bertanya dan berkomentar, Marley akan mengatakan jika ia tak bergabung pada satu partai politik tertentu. Ia berdalih bahwa setiap manusia harus melek politik. Istilah dan kosakata aktivis masih sering muncul dalam tulisannya.

“Kita tak akan pernah bisa lepas dari persoalan politik. Hidup itu sendiri adalah politik. Aku rasa kau sudah lebih memahami hal itu, Pak Pres.” Komentar Marley pada satu pembicaraan di group media sosial. Dan sungguh aku akan kembali diam tak membalas komentarnya. Marley seakan kembali melakukan pembunuhan karakter padaku bahwa aku telah menjadi seorang pengecut dan tak memiliki keberanian menyuarakan persoalan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Ah, sangat bombastis menurutku.

Sebagai lulusan dari kampus yang sama, aku sering ketemu dengan Marley di banyak group. Kami pernah juga bertemu langsung. Kampus kami cukup sering mengadakan reuni. Aku dan Marely beberapa kali bertemu langsung di situ seperti beberapa waktu lalu. Sikap Marley tak berubah. Padahal hampir dua dekade kami telah lulus dari kampus. Dia masih seperti seorang oposan bagiku dengan segala kelantangan dan keberaniannya. Tentu jika di suatu forum ada Marrley dan diriku, akan terpecah menjadi dua kubu di situ. Sebagai oposanku, Marley akan menggiring opini teman-teman lain untuk mendukungnya.

“Terlalu naif jika kita hanya menghabiskan hidup untuk urusan kerja dan keluarga. Kita memiliki tanggung jawab moral, sosial, dan politik. Kau sebagai mantan presiden BEM harusnya tak lupa untuk itu.” Kata-kata Marley memang kadang terkesan heroik dan bombastik. Kadang aku merespon dengan lebih logis dan realistis namun tetap dengan gaya tenang. Aku tak ingin terpancing dengan atmosfir yang Marley ciptakan.

***

Ada satu hal yang sebenarnya sering aku tutupi pada Marley dan semua teman. Sebenarnya ini bukan suatu hal yang rahasia atau penting. Aku terkadang hanya merasa minder saja untuk menceritakannya atau teman-temanku sekadar tahu tentang ini, yaitu tentang pekerjaan. Banyak teman menganggap aku seorang sukses dengan beragam profesi. Aku sering dianggap teman-temanku sebagai wartawan, editor, penulis, pengajar, pembicara pada diskusi, dan penceramah. Sesungguhnya semua profesiku itu belum cukup mapan. Buktinya secara ekonomi aku memang masih jauh dari mapan jika dibanding Marley atau teman-temanku yang lain. Tapi meski ada rasa minder, aku tetap menjalani hidup ini dengan penuh rasa syukur dan optimis.

Kadang ada juga rasa iri jika aku melihat kehidupan teman-temanku yang lain seperti Marley meski kemudian aku halau jauh-jauh perasaan itu. Aku melihat kehidupan ekonominya telah mapan. Aku cukup tahu karena kami terlibat pembicaraan panjang saat reuni kami terakhir di kampus. Tapi satu hal yang cukup aneh, Marley ternyata tak senang juga jika ada teman yang bertanya tentang pekerjaan. Hal ini juga aku perhatikan benar dalam setiap chattingan group atau dalam pembicaraan dan pertemuan langsung.

Beberapa hari belakangan ini, pikiranku mencari dan mencoba menemukan jawaban yang paling logis hubungan antara diriku dan Marley. Aku bukan bermaksud untuk membandingkan, tapi ingin mengambil suatu pelajaran hidup karena bagaimanapun Marley telah menjadi bagian cukup erat dalam hidupku. Kalimat-kalimat Marley kembali terngiang di telingaku. Kali ini aku memikirkannya dengan serius. Ia memang seorang penantang dan tipikal penyerang, sementara aku sebaliknya. Di balik kalimat Marley itu, aku seakan membuka satu teka-teki yang akan membuatku lebih baik menghadapi dan menata kehidupan ini. Kami berdua ternyata berada dan membutuhkan panggung yang sama dengan penonton yang sama. Hanya tentu saja peran yang kami mainkan berbeda, dan Marley telah bisa memahami dan akhirnya mampu merebut perhatian publik dengan peran yang ia mainkan, bahkan ia juga tahu betul peran yang kumainkan.***

Tentang Penulis :

Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua. Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress dst, Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), dan Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019)

——— *** ———-

Rate this article!
Marley Sang Penantang,5 / 5 ( 1votes )
Tags: