Marwah Guru di Tengah Arus Media Sosial

Oleh :
Nurul Yaqin
Guru SMPIT Annur Cikarang Timur Bekasi. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Asal Sumenep Madura)

“Jarimu Harimaumu” barangkali merupakan adagium paling selaras untuk mendeskripsikan kasus yang menimpa Ibu Eni Rohaeni, guru SD Negeri Pondok Petir 03 Depok pada bulan Juli lalu. Bu Eni sempat menjadi buah bibir di jagat media sosial. Pasalnya, ibu guru tersebut menulis komentar di media sosial twitter tentang keterlibatan Habib Riziq Syihab (HRS) dengan Holywings. Sontak, komentar tersebut memantik respons para nitizen.

Mulanya, Bu Erni merespons cuitan Deny Siregar tentang Hollywings yang ditutup oleh pemerintah kota DKI Jakarta. Namun, komentar Bu Erni berisi narasi kebencian (hate speech) yang menyatakan bahwa HRS mendapatkan upeti dari pihak Holywings. Inilah yang memancing kegaduhan. Apalagi, komentar itu tidak dukung dengan data ilmiah yang memadai sehingga lebih mengarah pada fitnah atau hoaks. Apa yang menjadi fokus perhatian netizen sehingga kasus ini ramai diperbincangkan?. Ada dua hal, pertama, konten dari komentar yang ditulis. Kedua, status Bu Eni yang berprofesi sebagai guru.

Ketika berita hoaks ditulis oleh orang yang memiliki profesi mulia dalam kacamata sosial, maka tendensi untuk meledak ke permukaan akan lebih keras. Profesi guru yang melekat pada Bu Eni menjadi topik empuk untuk digoreng, mengingat guru merupakan profesi yang mulia. Guru identik dengan manusia teladan bagi peserta didik. Namun, ketika etika dan komunikasi guru bersebarangan dengan nilai moral keteladanan, maka ini akan menjadi bahan untuk meruntuhkan kredibilitasnya.

Candu Media Sosial

Daya tarik media sosial telah menggoda semua elemen. Sebuah studi yang ditemukan oleh University Of Chicago Booth School of Business terhadap 250 orang berusia 18 hingga 85 tahun di Jerman mengungkapkan orang-orang tersebut lebih bisa menahan keinginannya seperti tidur siang dan lain-lain dibandingkan berselancar dengan media sosial. Keinginan untuk bermain di media sosial lebih tinggi dari pada keinginan-keinginan yang lain.

Di Indonesia sendiri, jika mengintip data dari Hootsuite (We are Social) : Indonesian Digital Report 2021 menyebutkan pengguna media sosial aktif masyarakat Indonesia mencapai 170 juta orang. Artinya sebanyak 61,8 persen dari jumlah populasi penduduk Indonesa yaitu 274,9 juta jiwa. Angka ini juga meningkat 10 juta orang atau 6,3 persen dibandingkan tahun lalu. Bahkan, nama Indonesia tercatat sebagai 10 besar negara yang kecanduan media sosial, tepatnya di peringkat 9 dari 47 negara yang dianalisis.

Dari angka di atas disadari atau tidak kita telah membentuk tatanan kehidupan baru di media sosial. Media sosial telah menjelma rumah kedua yang berpotensi menjadi rumah utama seiring perkembangan zaman. Nahasnya, rumah itu dihuni oleh manusia yang rupa-rupa sehingga menampilkan isi yang berbeda pula, mulai dari muatan informasi, curhatan pribadi, bahkan saling caci-maki. Dunia tanpa batas, bebas penuh ekspresi. Akhirnya hal-hal yang tidak penting bersiliweran di layar gadget kita.

Kondisi ini memantik umat manusia (tanpa mengenal status dan profesi) untuk memposting apa saja tanpa pijakan baik dan buruk. Jika sampai pada tahap ini maka media sosial telah menjadi candu. Efek candu media sosial ini akan berimbas pada ketidakstabilan emosi, perilaku, dan hubungan antarmanusia. Sama persis yang telah dilakukan guru pada kasus di atas. Akhirnya, manakala seorang guru telah merobek kode etik keguruannya, maka akan menjadi bumerang yang dapat mereduksi wibawa guru tersebut.

Adaptif dengan Medsos

Di zaman yang serba cepat ini, informasi apapun bisa gegas melesat ke berbagai belahan dunia. Anthony Giddens menyebutnya sebagai globalisasi dini, yaitu intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitu pun sebaliknya. (Giddens, 1999; Harvey, 1989).

Akibatnya, informasi-informasi saat ini memiliki ruang lingkup tak terbatas. Lihat saja, kasus-kasus guru (sebelum teknologi secanggih hari ini) bisa tertutup rapat, atau hanya bertaraf lokal, namun kini mulai bermunculan dan bertebaran dengan mudahnya di dunia maya dalam taraf global. Namu, menghadapi kondisi seperti ini guru tidak lantas parno, takut yang berlebihan sehingga tidak adaptif dengan media sosial.

Media sosial adalah keniscayaan, kenyataan telah membuktikan bahwa media sosial menjadi salah satu solusi di era pandemi tatkala pertemuan-pertemuan sulit direalisasikan. Dengan adanya media sosial sendi kehidupan di segala bidang mulai dari ekonomi, politik, budaya, bahkan pendidikan dapat berdiri tegak meski di tengah hantaman virus Covid-19. Dan kebiasan-kebiasaan tersebut terbawa hingga pascapandemi.

Arif dan Bijaksana

Tak ada jalan lain bagi guru dalam menyikapi media sosial kecuali dengan sikap arif dan bijksana. Dalam artian, guru menjadikan media sosial sebagai wadah untuk meningkatkan kompetensi keguruannya. Mengisi arus media sosial dengan nuansa pendidikan yang dapat menjadi acuan bagi anak didik dan orang-orang sekitarnya. Fakta di lapangan memperlihatkan tidak sedikit guru yang kreatif menjadikan media sosial sebagai pembelajaran yang menyenangkan. Media sosial seperti whatsaap, instagram, youtube, dan lain-lain menjadi ruang-ruang kelas maya dengan segala inovasinya.

Di luar pembelajaran, guru juga harus bijaksana dalam menjaga tutur kata dan tindakan ketika bermedia sosial. Ruang pembelajaran dan laku keseharian guru di media sosial harus kompatibel, tidak saling bertentangan. Tampilan guru di media sosial bisa menjadi ancaman tatkala tidak sesuai dengan apa yang disampaikan. Misalnya, ketika guru mengajarkan anak didik untuk bertutur kata yang baik, tapi gurunya kerapkali memposting status dengan narasi-narasi kasar dan menyakitkan, spontan ini akan mereduksi kharismatik guru di mata siswa. Pada titik yang paling mengkhawatirkan, anak didik akan meniru perilaku sang guru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Media sosial hanya cipratan dari kecanggihan teknologi. Jangan sampai keberadaanya membuat guru candu sehingga bisa merendahkan marwah dan martabatnya. Fitur media sosial yang memukau jangan dibiarkan membius para guru sehingga abai dengan nilai-nilai keteladanan. Maka dari itu status, komentar, poto, dan video guru di media sosial harus penuh kehatian-hatian dan pertimbangan. Jangan sampai postingan buruk guru menjadi rujukan siswa untuk melakukan tindakan yang menyimpang. Naudzubillah!

———- *** ———–

Tags: