Masa Depan KPK dan Uji Formil

Oleh :
Adam Setiawan, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda

Belakangan terakhir ini eksistensi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sedang dipertanyakan, bahkan KPK sedang mengalami krisis kepercayaan publik (public distrust). Hal tersebut dikarenakan merosotnya skor dan peringkat Indeks Persepsi Korupsi di tahun 2020 yang dirilis Januari 2021, menempatkan Indonesia di peringkat 102 dari 180 negara dengan skor 27/100 jika dibandingkan pada tahun 2019 Indonesia berada di peringkat 85 dari 180 negara dan berada di skor 40/100.

Kinerja KPK semakin dipertanyakan tatkala KPK untuk pertama kali menerbitkan surat penghentian penyidikan (SP3) terhadap aktor yang terlibat dalam kasus bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) yakni Sjamsul Nursalim dan Istrinya. Perlu diketahui dalam kasus BLBI negara ditaksir mengalami kerugian 4,5 Triliun. Banyak ahli yang mempertanyakan legal reasoning terbitnya SP3.

Bahkan di tengah merosotnya peringkat Indeks Persepsi Korupsi dan kinerja KPK yang tidak menentu arahnya. Ada oknum penyidik Internal KPK yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan terhadap Wali Kota Tanjungbalai Sumatera Utara bahkan dalam kasus ini diduga melibatkan salah satu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Tentu hal demikian semakin mempertebal ketidakpercayaan publik terhadap kinerja KPK dalam upaya memberantas korupsi. Rasanya akan menjadi sia-sia jika ingin membersihkan kotoran namun alat sapunya telah kotor.

Nasib KPK
Pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK), ada beberapa substansi yang dinilai bermasalah di antaranya perubahan format kelembagaan dan kehadiran organ baru KPK.

Pertama, KPK saat ini ditasbihkan sebagai lembaga negara dalam rumpun eksekutif. Kedua, kini KPK mempunyai Dewan Pengawas yang wewenangnya adalah memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang masuk dalam kategori pro justitia. Ketiga, perubahan status Pegawai KPK yang beralih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Untuk poin ketiga, sekarang ini proses peralihan status Pegawai KPK menjadi ASN sedang mendapat perhatian publik. Sebabnya ada beberapa penyidik senior yang akan tersingkir dari KPK karena tidak lulus tes asesmen yang dilakukan oleh KPK bekerjasama dengan Badan Kepegawaian Negara. Dari 1351 pegawai KPK Pegawai yang memenuhi syarat sebanyak 1274 orang, ada sekitar 75 orang yang tidak lulus.

Kritik mengarah pada proses asesmen tes wawasan kebangsaan yang dinilai tidak layak untuk ditanyakan kepada para pegawai KPK. Misalnya “apakah anda bersedia melepas jilbab”. Pertanyaan seperti itu rasanya tidak pantas untuk ditanyakan karena berpotensi melanggar hak-hak yang telah dijamin UUD.

Selain itu ketentuan mengenai pengalihan status Pegawai KPK diatur dalam UU KPK jo PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Jika ditinjau secara yuridis nomenklatur dari pengaturan tersebut adalah Pengalihan Status menjadi ASN bukan rekrutmen atau seleksi ASN KPK. Namun praktiknya pengalihan status tersebut layaknya seperti seleksi karena menggunakan sistem gugur.

Akibat proses asesmen tersebut ada stigma bahwa ada upaya pelemahan KPK secara sistematis dari dalam. Kendati proses pengalihan status ASN merupakan domain KPK, perlu ada langkah progresif yang dilakukan Presiden agar proses pengalihan status ASN diadakan secara objektif terhindar dari conflict of interest.

Uji Formil

Selain persoalan substansi ada persoalan prosedural dari pemberlakuan Revisi UU KPK. Revisi UU KPK cukup menyita perhatian publik karena proses legislasi Revisi KPK dari tahap ante legislative hingga post legislative hanya memakan waktu yang relatif singkat. DPR melalui rapat paripurna, seluruh anggotanya sepakat dengan suara bulat untuk merevisi UU KPK sebagai inisiatif DPR.

Ada beberapa persoalan prosedural yang telah dilanggar oleh DPR bersama Pemerintah dalam pembentukan Revisi UU KPK di antaranya: pertama, UU KPK tidak masuk dalam daftar Prolegnas; Kedua, RUU KPK tidak disertai Naskah Akademik; Ketiga, proses pembentukannya tidak sesuai dengan Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke wetgeving); Keempat, proses pembentukannya tidak partisipatif. Hal yang dikemukakan tersebut kurang lebih menjadi dasar pemohon mengajukan uji formil Revisi UU KPK.

Untuk menguji keabsahan prosedural pembentukan undang-undang, telah tersedia mekanisme pengujian formil (procedural review) yang dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Untuk batasan waktu permohonan pengujian formil dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari.

Dalam konteks pengujian formil Revisi UU KPK, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya menyebutkan kriteria untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah pertama, bentuk yang tepat (approriate form); kedua, institusi yang tepat (approriate institution); ketiga prosedur yang tepat (appropriate procedure).

Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi (MK) menilai proses pembentukannya telah sesuai ketentuan prosedural yang berlaku. Misalnya MK berpendapat merujuk fakta-fakta yang disebutkan dalam persidangan bahwa RUU KPK telah terdaftar dalam Prolegnas dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas. Kemudian MK menilai bahwa tentang status RUU KPK dilakukan jauh sebelum prolegnas 2015-2019 karena tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu berapa lama RUU harus diselesaikan.

Sikap MK saat menilai tidak adanya ketentuan yang mengatur batas waktu RUU harus diselesaikan, menunjukan MK tidak lagi progresif seperti sebelumnya. Hendaknya MK membuat tafsir tentang batas waktu berapa lama suatu RUU harus diselesaikan dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum (legal certainty) mengingat tugas pembentuk undang-undang yang merepresentasikan kepentingan rakyat harusnya diberikan batas waktu yang jelas, karena undang-undang khususnya UU KPK mempunyai dampak kepada kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya dalam pertimbangan MK yang mengatakan pembentuk UU KPK telah mengikuti syarat formil yaitu asas keterbukaan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat. MK menilai Baleg dan Panitia angket DPR telah melakukan prosedur yang tepat mulai Raker hingga penyerapan aspirasi dengan mengundang elemen masyarakat. Dalam hal ini MK alpa karena tidak mempertimbangkan situasi dampak dari terbitnya Revisi UU KPK. Dimana penolakan secara masif dari masyarakat melalui demonstrasi di berbagai daerah atas terbitnya Revisi UU KPK.

Seyogianya MK menilai secara utuh makna keterbukaan dan partisipatif untuk menghasilkan produk hukum yang responsif, dengan melihat kondisi sosiologis yang ada di masyarakat, apakah masyarakat mengakui dan mendukung keputusan yang diambil oleh Pemerintah. Mendengarkan aspirasi masyarakat merupakan prioritas utama dalam membentuk suatu undang-undang yang baik sebagaimana dikemukan Eugen Ehrlich yang berpesan bahwa hendaknya undang-undang yang dibentuk memperhatikan apa yang hidup dan diimpikan oleh masyarakat.

Kendati Putusan MK menolak seluruh provsi Pemohon, namun Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dengan salah satu argumentasinya agar pembentuk undang dapat mengulang proses pembentukan undang-undang mengenai KPK dengan cara yang lebih baik dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional.

Adapun putusan MK yang menolak permohonan uji formil terhadap Revisi UU KPK, kita semua berharap besar terhadap political will pemerintah (di masa depan) untuk mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga yang independen dalam memberantas korupsi, tidak masuk rumpun kekuasaan manapun dan terbebas dari segela bentuk intervensi.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: