Masa Depan Pendidikan Zaman Blusukan

HusamahOleh :
Husamah
Dosen Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang

Suatu hari, tokoh modernisasi pendidikan negeri sakura Jepang dan pendiri Universitas Kejo, Fukuzawa Yukichi, tiba-tiba mendapat ilham yang sangat luas biasa dahsyat. Ia kemudian menuliskan ilham tersebut dalam bukunya Gakumon no Susume. Dalam bahasa Indonesia, buku tersebut kurang lebih berjudul Dorongan untuk Belajar.
Fukuzawa Yukichi dalam bagian pengantar atau kalimat pembuka buku Gakumon no Susume tersebut menuliskan, “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan sebab Langit (Tuhan) tidak menciptakan seseorang dengan harkat di atas atau di bawah orang lainnya. Jika pada faktanya dalam masyarakat memang ada orang yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah, maka perbedaan tersebut disebabkan yang berkedudukan tinggi telah mementingkan pendidikan, sedangkan yang rendah sebaliknya”. Kalimat pembuka  tersebut sampai saat ini masing sangat dikenal masyarakat Jepang, khususnya para pelajar, bahkan dapat dikatakan sebagai ikrar pendidikan masyarakat Jepang.
Tentu tak dapat dipungkiri bahwa sejak bergulirnya Meiji Ishin atau Restorasi Meiji  pada tahun 1868 sampai detik ini, Jepang mampu mencengangkan dunia. Jepang menjadi negara  yang terdepan dalam aspek IPTEKS. Jepang “membongkar” sistem pendidikannya yang kuno, tradisional, dan feodal  (dikenal dengan Terakoya) menjadi ala Eropa/Amerika. Seluruh masyarakat Jepang, dari level rakyat jelata sampai pejabat pemerintah sepakat bahwa pendidikan Jepang harus direformasi secara untuh dan menyeluruh yang disesuaikan dengan dunia Barat, namun tetap bernuansa kearifan kultur Jepang.
Sebenarnya, kita seharusnya tidak perlu jauh-jauh bercermin ke Jepang. Marilah sejenak mengingat ucapan founding father Indonesia, Soekarno. Suatu ketika, Soekarno secara lantang pernah berkata, “Awali langkahmu membangun negeri ini dengan mengajar”. Akhirnya, semangat dan keseriusan Soekarno yang sangat tinggi untukmemajukan bangsanya lewat pendidikan itu dirumuskan secara jelas dalam tujuan nasional Indonesia, yang dicantumkan dalam bagian preambule atau pembukaan UUD 1945.
Alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan kemerdakaan Indonesia, yaitu “membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Soekarno sadar betul, sebagaimana pula Fukuzawa Yukichi bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah salah satu tujuan negara dibentuk atau didirikan. Pendidikan sudah pasti menjadi jalan paling penting atau sangat krusial. Pendidikan bahkan mungkin layak dikatakan sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan itu. Mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh, menurut Soekarno berarti mendorong seluruh rakyatnya agar dapat mengakses pendidikan seluas dan setinggi-tingginya, tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi.
Menurut Soekarno negara harus memastikan bahwa setiap manusia Indonesia, tanpa memandang suku, agama, jenis kelamin, status sosial, dan adat istiadat dapat mengakses pendidikan di semua jenjang. Guna memenuhi amanat dan target tersebut maka diperlukan suatu strategi “ampuh” yang ditempuh dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Strategi yang diambil dan dijalankan tidak cukup hanya bersifat pragmatis, apalagi hanya lip service untuk memoles citra layaknya artis.
Masalah Kronis
Adalah pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang saat ini terpilih dan dipercaya rakyat Indonesia untuk menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Secara praktis, masyarakat Indonesia menitipkan banyak harapan kepada pasangan yang kebetulan diusung oleh partai “katanya” merupakan penerus perjuangan dan cita-cita Soekarno (yaitu PDI Perjuangan). Harapan tersebut tidak lain adalah kemajuan Indonesia ke depan, termasuk dalam hal pendidikan.
Tentu saja, harapan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan besar telah menanti Jokowi-JK dalam hal pendidikan. Saya kira, pasangan Jokowi-JK juga sangat menyadari akan hal itu, meski pada saat kampanye dan debat kandidat terkesan menganggap semua itu mudah. Wajar, karena itu strategi untuk meyakinkan para pemilih dan meyakinkan masyarakat Indonesia. Adanya banyak permasalahan kronis yang harus diselesaikan bila kita tidak ingin terjerembab dalam ketertinggalan. Beberapa diantaranya mungkin layak kita sebutkan.
Pertama, akses pendidikan. hingga saat ini banyak warga negara yang kesulitan mengakses pendidikan akibat biaya pendidikan yang mahal dan tidak meratanya fasilitas pendidikan. masalah ini sesuai data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan yang menunjukkan hingga akhir tahun 2013, masih ada 3,6 juta atau 4,5% penduduk Indonesia berusia 15-59 tahun yang buta huruf (Republika, 28/11/2013). Direktur Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Non formal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan memperkirakan setiap tahunnya sebanyak 880.000 anak di Indonesia berpotensi untuk menambah angka buta aksara. Jumlah tersebut diperkirakan berasal dari anak-anak di daerah terpencil sekitar 300.000 orang dan 580.000 orang anak sekolah dasar Drop Out di kelas 1-3 jumlahnya juga sangat besar mencapai 1,7% dari 1,29 juta siswa kelas 1-3 SD.
Angka putus sekolah pun juga masih sangat tinggi. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari 100% anak yang mengikuti SD, yang berlanjut hingga lulus SD hanya 80%. Sementara 20% sisanya putus di tengah jalan. Sudah begitu, dari 80% yang lulus itu, hanya 61% yang lanjut ke SMP dan dari jumlah itu, yang bertahan hingga lulus SMP hanya 48%. Lalu, dari angka 48% itu, yang melanjutkan ke SMA hanya 21%. Sementara dari 21% yang masuk SMA, hanya 10% yang berhasil lulus. Ironisnya, hanya 1,4% yang berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (Berdikari Online, 2014).
Persoalan berikutnya yang sangat mencolok mata adalah fasilitas dan infrastruktur pendidikan serta SDM guru yang belum memadai dan merata. Masih banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan infrastruktur pendidikan yang memadai, seperti ruang belajar yang memadai, buku-buku, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Terlalu  sering kita menjumpai secara langsung atau melalui berita media massa sekolah-sekolah yang tidak layak, rusak, dan hampir roboh. Kondisi ini merata di seluruh Indonesia, bahkan di ibu kota Negara kita, Jakarta.
Guru sebagai pasukan terdepan dalam mencerdaskan generasi bangsa juga masih menyimpan masalah. Meskipun ribuan sarjana pendidikan diwisuda LPTK-LPTK setiap tahunnya, namun kenyataannya masih banyak daerah yang kekurangan tenaga guru. hal ini jelas menunjukkan lemahnya pola distribusi tenaga guru, sehingga menyebabkan penumpukan tenaga guru di kota besar (dan di pulau Jawa). Permasalahan guru tidak hanya terkait kuantitas tetap juga kualitas dan kesejahteraan. Beberapa penelitian memberikan kesimpulan bahwa kualitas guru di Indonesia sangat rendah, kebanyakan mengajar dengan pola lama dan sekadar gugur kewajiban. Terlebih bagi mereka yang berstatus guru swasta, guru bantu, dan guru honorer, dimana kesejahteraan dan kualitas menjadi tantangan setiap hari. Tak heran bila banyak dari mereka yang dibebani pekerjaan sampingan untuk menopang ekonomi keluarganya.
Berbagai permasalahan pendidikan tersebut belum termasuk karakter, budi pekerti, norma, dan budaya bangsa. permasalahan tersebut belum juga termasuk rendahnya kualitas perguruan tinggi-perguruan tinggi di  Indonesia baik negeri maupun swasta (PTN/PTS). Faktanya, masalah karakter menjadi sangat mencolok akhir-akhir ini, ditunjukkan dengan maraknya tauran, bentrokan, kriminalitas, free sex, KKN, dan budaya instant. Terkait Pendidikan Tinggi, sampai saat ini kampus-kampus di Indonesia cenderung tidak dilirik oleh dunia, terlebih hasil-hasil riset dan teknologi yang dihasilkan.
Akumulasi dari rendahnya kualitas pendidikan Indonesia tersebut akhirnya dapat terlihat dari Human Development Report (HDR) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang menunjukkan bangsa yang sudah merdeka sejak 69 tahun lalu ini berada di posisi ke-108 dari 187 negara pada tahun 2013. Peringkat kita jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Nilai Human Development Index Indonesia untuk tahun 2013 adalah 0,684, termasuk dalam kelompok pembangunan manusia yang sedang.
Kita Berharap
Pasangan Jokowi-JK sebentar lagi akan dilantik, dalam hitungan hari saja. Nasib pendidikan Indonesia dititipkan kepada pasangan ini. Visi dan misi Jokowi-JK dalam bidang pendidikan seperti tertuang dalam dokumen yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan kita sebuah asa. Pembenahan bidang pendidikan menjadi salah satu agenda utama yang bakal dilakukan dan menjadi janji presiden yang terkenal gaya blusukannya ini. Secara jelas dikatakan bahwa perlu ada pembenahan terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Secara lebih rinci janji Jokowi-JK dalam visi dan misi bidang pendidikan ada 10, yaitu 1) Menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan; 2) Memperjuangan agar biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara; 3) Tidak akan memberlakukan penyeragaman dalam pendidikan seperti menghapus ujian nasional; 4) Mengadakan kurikulum yang menyeimbangkan aspek muatan lokal dan nasional. 5) Meningkatkan sarana dan prasaran pendidikan; 6) Rekrutmen dan distribusi tenaga pengajar (guru) yang berkualitas secara merata; 7) Memberi jaminan hidup yang memadai pada guru di daerah terpencil, pemberian tunjangan fungsional, dan pemberian asuransi: 8) Pemerataan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah: 9) Memperjuangan Undang-Undang Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dan segala pungutan; dan 10) Memberikan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan.
Tentu saja, janji kampanye harus ditepati. Sebagai langkah pertama, sudah saatnya Jokowi-JK memilih tokoh profesional untuk mengomandani kementerian yang mengurusi pendidikan. Kita tentu tidak mempermasalahkan apakah urusan pendidikan akan dipecah menjadi dua atau hanya satu. Tidak masalah apakah hanya ada satu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau justru menjadi dua, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, karena yang  penting adalah para pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan bekerja dengan maksimal sesuai dengan tupoksinya, dari level menteri sampai level terendah.
Leadership pendidikan menjadi sangat penting, tokoh yang memiliki pengalaman mumpuni, kreatif, tanah banting, dan memiliki pola komunikasi yang baik. Kendala selama ini, misalnya dalam hal pemerataan pendidikan terjadi karena lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah, parahnya lagi keputusan pusat banyak yang diabaikan daerah dan bahkan lembaga pendidikan.
Kriteria tersebut bisa saja dimiliki oleh tokoh yang berasal dari luar partai dan dapat pula berasal dari partai pengusung. Namun, alangkah eloknya bila para menteri yang mengurusi pendidikan, yang menentukan masa depan bangsa ini, berasal dari luar partai agar mereka lebih fokus dan tidak tersandera partainya.
Akhirnya, rakyat Indonesia memiliki harapan besar kepada pasangan Jokowi-JK. Harapan rakyat, bagaimanapun susahnya harus “dikabulkan” karena merupakan bagian dari janji. Janji adalah utang. Toh, tentu Jokowi-JK selalu ingat bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Semoga saja.

                                                                                    —————————- *** —————————–

Rate this article!
Tags: