Masalah Minimarket Terletak di Perizinan, Bukan Jam Operasional

Rencana Disperindag Kota Surabaya untuk mengatur pembatasan jam operasional minimarket menuai kritik dari legislatif. Di sisi lain Aprindo mengkhawatirkan bakal terjadinya gelombang PHK sebagai imbas dari kebijakan ini.

Aprindo Khawatirkan Gelombang PHK Karyawan
DPRD Surabaya, Bhirawa
Penegasan Disperindag Kota Surabaya terkait pembatasan operasional minimarket sampai pukul 00.00 sebagaimana Perda No 8 Tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan di Kota Pahlawan mendapat kritikan dari legislatif.  Perda No 8 Tahun 2014 dianggap belum layak karena justru tidak melindungi ekonomi kecil  sebagaimana dinyatakan Pemkot.
“Masalahnya justru bukan terletak pada jam operasional minimarket bila mengacu pada persaingan usaha dan upaya perlindungan usaha ekonomi kecil. Tapi aturan tentang jarak perizinan minimarket. Perda 8 Tahun 2014 itu harus dikaji kembali,” ujar anggota Komisi C Bidang Pembangunan Vinsensius Awey, Selasa (7/2).
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemkot Surabaya menegaskan larangan minimarket buka selama 24 jam di seluruh Surabaya per Maret nanti. Batas buka hanya sampai pukul 24.00 atau pukul 00.00. Larangan tersebut mengacu pada Perda Nomor 8 Tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan di Kota Pahlawan.
Karena itu Disperindag Kota Surabaya berencana menerapkan seluruh aturan dalam perda itu, termasuk soal jam buka minimarket. Pada pasal 12 Perda No 8 Tahun 2014, jam buka minimarket paling malam hanya sampai pukul 24.00. Itu pun hanya saat libur hari besar. Pada Minggu, minimarket hanya diperbolehkan buka sampai pukul 23.00. Pada 1 Maret 2017 mendatang seluruh minimarket harus menerapkan aturan tersebut.  Versi Disperindag Kota Surabaya tujuan dari pembatasan tersebut dilakukan untuk melindungi pasar rakyat dan UMKM.
Lebih jauh Awey menyebut jam beroperasional memang telah diatur dalam Perda No 8 Tahun 2014. Namun menurutnya, Disperindag juga harus jujur adanya dan tidak hanya melihat salah satu pasal dalam Perda No 8 Tahun 2014 namun juga harus melihat secara keseluruhan.
Salah satunya perlu aturan mengenai jarak antar minimarket yang beroperasi. Dalam Perda No 8 Tahun 2014, lanjutnya, tidak  mengatur pembatasan jarak ini, sehingga para pengusaha swalayan mengembangkan bisnis mereka semakin banyak di sekitar lokasi yang  sama.
“Yang diatur perda tersebut  barulah jarak antara toko swalayan yang didirikan dengan pasar rakyat berjarak 500 meter. Justru inilah pangkal dari kalahnya ekonomi kecil dan menengah,” tegasnya.
Awey menyebut jarak satu swalayan dengan swalayan lainnya tidak diatur dalam Perda itu. Sehingga dijadikan celah untuk berdiri toko-toko swalayan secara berdempetan. Para pengusaha bersaing bisnis sehingga mereka mendirikan toko swalayan (kategori minimarket) secara berdempetan.
“Ini yang mematikan usaha kecil, menengah. Jadi bukan di jam operasional. Jangan salah di titik tekannya,” terang mantan pengusaha furniture ini.
Menurutnya kalau Pemkot Surabaya memang punya niat untuk melindungi UMKM dan pasar tradisional adalah dengan cara menertibkan semua toko swalayan di kota Surabaya dengan mengacu landasan hukum Perda No 8 Tahun 2014.
Sehingga yang  ditertibkan tidak hanya jam operasional toko swalayan, akan tetapi juga  ditertibkan toko toko swalayan yang berdiri tanpa ada IUTS dari dinas terkait. Selain itu juga  menertibkan toko-toko swalayan yang  berdiri tidak  sesuai ketentuan bunyi perda yang  ada, meliputi syarat berdirinya toko swalayan (kategori minimarket) di depan ruas jalan yang jarak paling sedikit 8 m.
“Sedangkan di Surabaya ada banyak toko swalayan (kategori minimarket) yang berdiri di depan ruas jalan yang hanya lebar 6 meter atau di bawah 8 meter,” terangnya.
Sebagaimana pasal 6 ayat 2 Perda No 8 Tahun 2014 disebutkan toko swalayan berada pada jalan dengan lebar jalan paling sedikit 8 meter untuk  minimarket, 10 meter untuk  Dept Store, 12 meter untuk  Hypermarket.
Terkait jalan keluar masalah minimarket ini, Awey menyebut Perda No 8 Tahun 2014 harus direvisi untuk mencantumkan 1 pasal  terkait jarak antara minimarket. Perlu tindakan tegas dan bila perlu penutupan bagi  toko-toko swalayan yang berdiri tidak  sesuai ketentuan perda yang ada. Baik soal lokasi pendirian yang terkait RTRWK, RDTRWK, zonasi, maupun ruas.
Selanjutnya, keluarkan moratorium untuk sementara waktu terkait terbitnya IUTS berdirinya toko swalayan (minimarket, supermarket, dll) di Kota Surabaya  sambil menata kembali dan sekaligus menertibkan berdirinya toko-toko swalayan yang telah melanggar Perda No 8 Tahun 2014 pasal 6 ayat 1 dan 2 serta juga pasal 9 tergolong yang banyak pelanggarannya .

Pangkas Jumlah Karyawan
Sementara itu rencana pembatasan jam operasional toko swalayan oleh Pemkot Surabaya dikhawatirkan oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jatim. Selain itu, Aprindo ingin agar ada sedikit pelonggaran dalam aturan tersebut. Salah satunya adalah pengkajian ulang jam tutup.
Dalam Perda No 8 Tahun 2014 pasal 13 ayat 1 dan 2 menyebutkan toko swalayan meliputi minimarket, supermarket, hypermarket dan department store diharuskan tutup pada pukul 21.00.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jatim Donny Kurniawan mengaku khawatir dengan penerapan aturan jam toko swalayan di Kota Surabaya. Kekhawatiran itu yakni akan terjadi gelombang PHK oleh perusahaan ritel, khususnya minimarket berjejaring.
“Karena dengan adanya penerapan ini, otomatis shift nya akan berkurang. Pengurangan shift ini kan otomatis ada pegawai yang tidak lagi dipekerjakan,” ujarnya, Selasa (7/2).
Ia berharap, Disperindag mempertimbangkan hal ini. Dia juga mengatakan, DPRD Surabaya sebagai inisiator Perda ini, juga perlu mendengarkan suara masyarakat.
Aprindo Jatim, kata dia sedang menunggu keputusan dari Abraham Ibnu Koordinator Aprindo Wilayah Indonesia Timur. Rencananya, Jumat (10/2) besok, Aprindo akan mengirimkan surat permohonan revisi Perda tersebut.
Namun Donny mengaku menghormati Perda Kota Surabaya sebagai produk hukum Pemkot Surabaya. Bagaimanapun juga, bila telah berbentuk Perda, asosiasi itu akan tetap mendukung penerapannya.
Koordinator Aprindo Wilayah Timur Abraham Ibnu mengaku kebijakan pembatasan jam operasional sedikit memberatkan. Sebab, demand pada jam tersebut masih sangat tinggi. Sehingga menyebabkan para pengusaha ritel bakal kehilangan banyak pendapatannya.
“Kami belum hitung berapa besar potensi kehilangan pendapatan. Yang jelas, pendapatan kami pasti berkurang karena imbas kebijakan itu jika jadi diterapkan,” katanya.
Oleh sebab itu, ia bakal mengajukan keringanan dalam aturan tersebut. Salah satunya adalah tambahan jam buka bagi minimarket di kawasan padat. “Seperti minimarket di kawasan Darmo atau di Ahmad Yani. Kami berencana mengajukan pelonggaran untuk minimarket tersebut,” tambahnya.
Selain itu, dibatasinya jam operasional juga mengancam terjadinya pengurangan pegawai. Jika minimarket buka 24 jam, perseroan akan memperkerjakan setidaknya 14 orang dalam 3 shift. Jika jam operasional dikurangi, maka otomatis jumlah pekerja mau tak mau juga harus dipangkas.
“Satu shift kan ada 3 sampai 4 orang. Kalau jam operasional dikurangi, kan nggak ada shift ketiga. Paling tidak pengusaha ritel akan melakukan efisiensi pegawai hingga 3 orang,” ulasnya. [gat,geh]

Tags: