Masuk 10 Besar, Sidoarjo Kurang 90 Ribu Jamban

Warga Sidoarjo yang hidup di pinggir sungai masih banyak yang memanfaatkan sungai untuk buang air besar (BAB). [alikusyato/bhirawa]

Warga Sidoarjo yang hidup di pinggir sungai masih banyak yang memanfaatkan sungai untuk buang air besar (BAB). [alikusyato/bhirawa]

Sidoarjo, Bhirawa
Penyakit diare di Kab Sidoarjo selama ini termasuk dalam 10 besar penyakit yang diderita masyarakat. Penyebabnya bakteri ecoli, bakteri ini berkembang biak karena kebiasaan membuang air besar yang sembarangan. Baik di sungai atau tempat lain yang tidak pada jamban yang bersepitank.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kab Sidoarjo, dr Ika Harnasti, berdasarkan data hingga kini kekurangan jamban pada sebanyak 95.477 KK dari 519.129 KK di Kab Sidoarjo. Paling tidak sekitar 40 ribu jamban masih dibutuhkan dan harus direalisasikan secara bertahap.
Wilayah yang masih belum terdapat jamban bersepitank itu, menurut data Dinas Kesehatan Sidoarjo, diantaranya di Kec Waru masih kurang sebanyak sekitar 17 ribuan dan Kec Tanggulangin sekitar 12 ribuan. Sedangkan Kec yang terbilang rendah diantaranya Kec Buduran masih butuh sekitar 646 dan Kec Sukodono sekitar 816 KK.
Menurut dr Ika, di wilayah Kec Waru terbilang masih cukup tinggi kebutuhan untuk tersedianya jamban ini, dikarenakan Waru termasuk daerah urban sehingga banyak tempat kos  dan sebagainya sehingga kebutuhan jamban masih tinggi.
Sedangkan di Kec Tanggulangin, daerah itu termasuk banyak sungai terdapat sungai, sehingga masih banyak orang disana yang lebih senang memanfaatkan untuk BAB. Misalnya seperti yang terjadi di Kec Jabon dan Tarik. Sehingga di Kec Tarik masih butuh sekitar 2000 an jamban dan Kec Jabon 700 jamban.
”Karena banyak sungai di daerahnya sehingga mereka  enggan membikin jamban, namun kami harus terus mensupport  secara psikologi agar masyarakat secara mandiri mau membuat jamban,” kata dIka, yang dibenarkan Kasi Penyehatan Lingkungan Dinkes Sidoarjo, Drs Supaat Setia Hadi.
Tapi masalahnya ada  pada masyarakat yang tak  mampu untuk membangun jamban secara mandiri. Maka itu Dinkes Sidoarjo akan berkoordinasi dengan SKPD terkait yang mempunyai Tupoksi untuk  membangun Jamban. Misalnya dengan Dinas PU  Cipta Karya agar mengalokasikan anggarannya.
Ia mengatakan pernah terbantu dengan sejumlah SKPD pada tahun 2014 dan tahun 2015. Misalnya dari TNI pada tahun 2015 yang terbantu 157 jamban untuk kec Buduran dan Kec Jabon. Terbantu dari BPMPKB Kab Sidoarjo sekitar 2 ribu jamban dan bantuan dari IUWASH sekitar  600 jamban. ”Jamban di Sidoarjo itu wajib, karena itu untuk kesehatan,” kata Ika.
dr Ika uga menjelaskan, selain penyakit diare bakteri ecoli karena BAB yang sembarangan, juga bisa menimbulkan penyakit hepatitis A. Diare jangan dipandang remeh, sebab kalau terlambat penangannya maka bisa menimbulkan kematian. Tapi sekarang yang mulai cepat dalam penanganan, maka tidak sampai menimbulkan kematian.
”Kalau penanganan lambat bisa bahaya dan diare ini sangat risakan pada anak-anak, tapi karena penyakit ini penyakit  biasa, sehingga masyarakat memandangnya sebagai penyakit biasa saja,” tegas dr Ika.
dr Ika masih prihatin di sejumlah sungai  masih banyak jamban atau kakus. Ia pernah memeriksa, ada 2400 juta bakteri ditemukan pada per 100 mm kotoran di sungai. Padahal normalnya tidak gak boleh lebih dari 50 mm. Ini ditemukan pada saat mengambil sample di Sungai Pelayaran dan Sungai Magetan yang dipakai sebagai air baku PDAM Sidoarjo.
Sehingga tahun 2015 ada kebijakan Bupati Sidoarjo yang meminta pada camat untuk membersihkan jamban atau kakus dipinggir sungai. Sehingga sempat berkurang banyak, saat ini masih dipakai tapi tidak banyak lagi seperti dulu. ”Memang tak mudah menghabisakan jamban di sungai, bila di rumah tak ada jamban,” kata dr Ika. (kus)

Tags: