Masuk Agenda Nasional, Festival Jatilan Gunung Bromo Kembali Digelar

Gubernur Jatim Khofifah menyaksikan Festival Jathilan Gunung Bromo bersama bupati Tantri dan wabup Timbul.

Probolinggo, Bhirawa
Gubernur Jawa Timur Hj Khofifah Indar Parawansa mengamini ikhtiar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo bersama pelaku wisata dan masyarakat lokal dalam menjawab PR (Pekerjaan Rumah) besar untuk menjadikan wisata Gunung Bromo semakin mendunia melalui even seni budaya. Support lahir dan batin ini diutarakan Khofifah pada saat menyaksikan secara langsung Festival Jathilan Gunung Bromo kedua, Sabtu 29/9 sore di Amfiteater Terbuka Hotel Jiwa Jawa Resort Desa Wonotoro Kecamatan Sukapura.
Khofifah mengemukakan, berdasarkan trend kunjungan wisatawan eropa ke Indonesia disebutkan bahwa rata-rata memakan waktu selama 14 hari. Yakni dua hari di Candi Borobudur, satu hari di Gunung Bromo dan Kawah Ijen dan sepuluh hari sisanya akan dihabiskan di pulau Bali.
“Jadi PR kita adalah bagaimana kedepan untuk bisa mengajak para wisatawan terutama eropa agar mau berwisata di Gunung Bromo lebih lama. Paling tidak menjadi dua hari, syukur-syukur jika destinasi wisata lain bisa kita persambungkan,”ujarnya.
Festival Jathilan Bromo yang sedang di upayakan menjadi sebuah agenda wisata rutin di kawasan Gunung Bromo disebut Khofifah selaras dengan salah satu program pemerintah pusat yang sedang menyiapkan kawasan Bromo-Tengger-Semeru (BTS) menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dampaknya akan dirasakan langsung oleh daerah Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang.
Melihat antusias penonton dan kemasan festival yang cukup berkelas ini Khofifah berharap kedepan Festival Jathilan menjadi salah satu alasan bagi wisatawan mancanegara menambah harinya untuk tinggal lebih lama di kawasan BTS.
“Agenda ini bisa kita jadikan kalender bersama, bukan hanya menjadi kalender wisata Bromo dan Kabupaten Probolinggo saja, tetapi bisa kita jadikan satu kesatuan bersama kalender Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kemudian kita lanjutkan sebagai satu kesatuan kalender wisata nasional. Dengan begitu maka akan menjadi penunjang wisata baru disamping panorama alam Gunung Bromo,”tandasnya.
“Setelah sukses pada pagelaran yang pertama di bulan Agustus lalu, kami kembali menggelarnya. Festival bulanan ini, diharapkan mampu menambah destinasi wisata di kawasan Gunung Bromo. Selain keindahan alam, wisatawan disuguhi seni budaya lokal dan budaya nusantara,” ungkap bupati Tantriana Sari.
Selain jatilan khas Bromo, juga direncanakan ada penampilan Jatilan Kabupaten Lumajang, Banyuwangi, Yogja, dan Temanggung. Selain itu ada juga sendratari Jathilan Majapahit dan tari Kiprah Glipang khas Kabupaten Probolinggo. “Untuk giat pendukung, ada pasar rakyat dan pameran UKM,” katanya.
Bagas Indriatmono, panitia pelaksana mengungkapkan, sendratari Jatilan Majapahit bersumber dari Kitab Negara Kretagama gubahan Empu Prapanca. Sigit Pramono sebagai penulis skenario dan Dr. Kuswarsantyo, selaku penata tari, membaginya dalam 5 babak penampilan.
Babak pertama, dibuka dengan adegan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada menyaksikan parade militer tentara Majapahit. Parade itu menampilkan prajurit berkuda, prajurit gajah, dan prajurit jalan kaki (infanteri). Hal itu menggambarkan bahwa Kerajaan Majapahit memiliki kekuatan militer luar biasa sebagai negara besar pada masa.
Selanjutnya Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada blusukan ke pelosok negeri. Yakni ke Desa Warnana, Serba Serbi Desa, Njajah Desa Milangkori. Raja menyaksikan anak-anak kecil berlatih menari Jathilan di padepokan atau rakaryan. Adegan ini menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan yang makmur, riang gembira, sejahtera.
“Pada babak ketiga, ada adegan Raja, menteri, pujangga berkuda berburu binatang, semisal Celeng, Kaswari, Rusa, Kijang dan Kelinci. Di mana mereka memburu binatang menggunakan senjata tajam dan mengejarnya dengan berkuda. Komposisi tari ini menggambarkan keriangan atau pesta menikmati hasil binatang buruan,” tutur Bagas.
Selanjutnya Raja Hayam Wuruk melakukan upacara Srada (Nyadran) menghormati arwah nenek moyang atas perintah ibunda Sri Rajapatni. Dipimpin oleh Dukun Tengger, upacara memanjatkan doa ini berlangsung khidmat. Suasana magis, mencekam, mengharukan tergambar dalam pertarungan kekuatan spiritual baik dan kekuatan jahat.
“Adegan terakhir merupakan unjuk kebesaran Majapahit dan kekuatan militer Majapahit. Ada juga adegan Patih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Kemudian diakhiri pasukan kuda berbaris mengiringi raja meninggalkan pasebon atau lapangan,” tandas pengelola Jiwa Jawa Hotel itu.
Eksotika alam yang dipadupadankan dengan kekayaan budaya terus menggeliat selama 5 tahun terakhir di kawasan bromo. Berbagai seni budaya nusantara kerap ditampilkan di lereng bromo sebagai wahana akulturasi sekaligus penopang kebudayaan lokal, tambahnya.(Wap)

Tags: