Oleh :
M Fakhruddin Al-Razi
Magister Psikologi ulumni UNY. Pernah menulis sejumlah buku.
Semenjak saya sekolah, baru kali ini saya menemukan ada jam masuk yang sangat pagi melebihi jam sekolah yang pernah saya alami seumur hidup. Pada umumnya, sekolah baik yang negeri ataupun swasta mulai dari jenjang SD sampai SMA akan masuk pada kisaran jam 06.30-7.00, atau paling siang ada yang mulai masuk pada jam 08.00. Tapi ini tidak, ya, kebijakan yang dikeluarkan oleh gubernur NTT menjadikan jam masuk di beberapa sekolah lebih maju sehingga siswa harus masuk pada jam 05.30 pagi. Ini jam masuk sekolah terpagi yang pernah saya tahu.
Sebuah kanal berita yang sempat saya buka beberapa hari lalu bahkan memosisikan sekolah di NTT itu menjadi sekolah dengan jam masuk paling pagi di dunia. Entah, apakah itu adalah sebuah prestasi ataukah hanya sensasi. Tapi yang mengganjal dalam benak saya adalah kenapa waktu sekolah harus menjadi sebuah persoalan bahkan sampai harus menjadi patokan?
Memang, harus dimaklumi bahwa masyarakat kita sering terjebak pada hal-hal yang bersifat kuantitatif daripada hal yang kualitatif. Kita kerap menjadikan banyaknya sesuatu sebagai sebuah patokan daripada bagus dan tidaknya sesuatu.
Gambarannya begini, orang yang bekerja akan dikatakan bekerja keras ketika mereka bekerja dengan jumlah waktu yang sangat banyak, dari pagi sampai siang. Jarang ada orang yang menilai keras dan tidaknya pekerjaan seseorang dari besar dan tidaknya usaha yang dia keluarkan. Sama seperti belajar, selama ini, sekolah-sekolah banyak yang berlomba-lomba untuk memperpanjang rentang pembelajaran yang mereka lakukan. Seperti halnya memundurkan jam pulang sekolah bahkan menjadi full day school. Dan sekarang, sekolah di NTT sedang melakukan pemajuan jam masuk sekolah menjadi lebih pagi. Masuk kepagian, pulang kesiangan. Begitulah warna-warna sistem pendidikan di Indonesia.
Dari berapa pemberitaan yang muncul, alasan gubernur NTT untuk memajukan itu adalah untuk meningkatkan kedisiplinan dan etos kerja para siswa di samping beberapa alasan baik lainnya. Lagi-lagi yang patut dipertanyakan adalah kenapa harus dengan memajukan jam masuk sekolah? Ya, memang orang yang disiplin salah satu tandanya adalah tepat waktu. Tapi bukan berarti yang datangnya lebih maju itu lebih disiplin, tidak. Yang berangkatnya paling pagi, bukan berarti juga etos kerjanya paling tinggi. Maka dari itu, yang perlu dilakukan oleh pemangku kebijakan terkait hal ini adalah memberikan alasan yang logis kepada masyarakat, bila perlu yang melalui hasil riset akademis yang dapat membuktikan bahwa kebijakan masuk sekolah lebih pagi adalah langkah yang tepat. Bukan lantas membuat kebijakan berdasarkan keyakinan, logika dan ambisi pribadi semata.
Kembali pada persoalan waktu tadi, memang sulit untuk menyamakan besar dan tidaknya usaha yang dikeluarkan seseorang tanpa ada patokan waktu. Tapi yang perlu dipahami kembali adalah bahwa rantang waktu bukanlah substansi, melainkan hanyalah sebuah wujud penyeragaman agar sesuatu mudah untuk diatur. Sekolah dari pagi sampai siang atau bahkan seharian, bukan waktunya yang menjadi esensi dari sekolah, tetapi kegiatan belajarlah yang menjadi inti dari rentang waktu kegiatan tersebut. Dengan begitu, maka menjadi aneh bila kemudian kebijakan yang diambil gubernur NTT itu malah menyasar sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu substansial. Kenapa tidak lantas membuat kebijakan yang mengarah pada hal-hal yang lebih substansial semisal sistem belajar, proses, dan lain sebagainya?
Terlepas dari niat baik yang dimaksudkan dalam kebijakan tersebut, namun yang bisa saya katakan sebagai masyarakat biasa adalah sudah selayaknya setiap pemimpin atau pemangku kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan setelah melalui sejumlah proses analisis dan koordinasi yang benar-benar matang dengan berbagai pihak terutama masyarakat. Sistem pemerintahan bukanlah ladang uji coba gagasan yang bisa dengan seenaknya langsung dicoba ke dalam masyarakat melalui sebuah kebijakan. Bila kebijakan diambil tanpa adanya proses analisis akademis terlebih dahulu, maka kebijakan itu adalah kebijakan yang mentah sehingga masyarakat yang dibebani kebijakan tersebut tak lebih dari sekedar sebuah lahan uji coba atas sebuah ide mentah yang dipaksakan menjadi sebuah kebijakan.
Saya tidak akan mempersoalkan manakah waktu yang tepat untuk masuk sekolah dan apa saja risiko yang akan muncul di balik itu. Biarkan itu menjadi lahan akademis di balik analisis kebijakan yang telah dikeluarkan itu. Namun sebagai masyarakat yang turut prihatin juga atas nasib masyarakat yang dikenai kebijakan itu, yang perlu saya suarakan adalah masyarakat bukan lahan uji coba sebuah ide dan kebijakan. Tempatnya uji coba ide dan gagasan ada di kampus atau lembaga-lembaga riset dan akademik lainnya, sehingga bila memang sebuah ide atau gagasan suatu pemerintah belum begitu matang hendaknya melemparnya dulu ke dalam lahan-lahan analisis kebijakan dan menunggu respon masyarakat agar ide tersebut menjadi matang dan siap dinikmati oleh masyarakat. Layaknya buah yang matang atau tidak, kebijakan adalah produk atau ide pemerintah yang akan diberikan pada masyarakat. Bila kebijakan itu masih mentah maka pemerintah sama saja memberikan buah yang mentah kepada masyarakat untuk mereka makan. Bagaimana buah yang mentah? Rasanya pahit, dan mungkin bisa saja berbahaya bila dikonsumsi.
———— *** ————