Masuk Ranah PTUN, Hakim Tolak Gugatan Class Action Warga Dolly

Kuasa hukum Pemkot Surabaya Muhammad Fajar dalam sidang class action yang diajukan warga Jarak Dolly di PN Surabaya, Senin (3/9).[abednego/bhirawa]

PN Surabaya, Bhirawa
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Dwi Winarko menolak gugatan class action yang diajukan warga Jarak-Dolly atau tergabung dalam Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Independent (KOPI), Senin (3/9).
Gugatan ini dilayangkan atas dasar penggugat menuntut Pemkot Surabaya telah merampas hak ekonomi warga Dolly karena tidak memberikan ganti rugi atau pengganti sumber ekonomi dan kehidupan yang layak. Bahkan dalam gugatan tersebut, warga Jarak-Dolly meminta uang ganti rugi sebesar Rp 270 miliar.
Sebelum putusan, Hakim Dwi Winarko mempertimbangkan dua hal sebagai dasar putusan. Pertama, lanjut Hakim Dwi, gugatan pemohon tidak memuat usulan ganti rugi dan tidak menyebutkan nama tim panel sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).
Kedua, lanjut hakim, seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1986. Karena dilatarbelakangi konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat akibat adanya kebijakan pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan.
“Menyatakan gugatan penggugat tidak perlu dipertimbangkan lagi dan tidak dapat diterima. Serta seharusnya gugatan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” kata Majelis Hakim Dwi Winarko dalam putusannya, Senin (3/9).
Ditemui usai sidang, Kuasa Hukum Pemkot Surabaya Muhammad Fajar mengatakan, putusan hakim sudah tepat sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).
Fajar juga menegaskan pihaknya siap bila ternyata penggugat jadi mengajukan lewat PTUN. “Alhamdulillah, putusan Majelis Hakim sudah tepat dan sesuai dengan PERMA. Kamis siap-siap saja jika berlanjut ke PTUN,” tegasnya.
Sementara itu, salah seorang kuasa hukum penggugat Naen Soeryono menilai pertimbangan Majelis Hakim itu tidak sesuai dengan peraturan. Sebab gugatan yang diajukan ke PTUN harus sesuai dengan jangka waktu 90 hari terhitung sejak dikeluarkannya suatu kebijakan. Sebagaimana pada UU No 5 Tahun 1986 Pasal 55.
“Melihat hal ini, tidak mungkin kami menuntut lewat PTUN. Kalau dihitung jelas tidak mungkin karena kebijakan penutupan Dolly itu pada 2014 silam,” ujar Naen.
Terkait tidak lengkapnya persyaratan gugatan, Naen mengaku, gugatan mereka sudah memenuhi syarat. Karena sudah dicantumkan kelompok-kelompok yang mengajukan gugatan, dalam hal ini adalah warga negara dari yang terdampak usai pasca penutupan Dolly.
“Maka putusan hakim dalam hal ini menurut kami tidak benar. Yang kedua terkait syarat class action diatur dalam Pasal 2 dan 3, seharusnya gugatan kami sudah memenuhi syarat,” ucapnya.
Masih kata Naen, dalam posita (alasan) sudah dicantumkan tentang legal standing atau kelompok warga Jarak-Dolly yang terdampak dari kebijakan Pemkot Surabaya. “Seharusnya Majelis Hakim mempelajari hak ekonomi yang dilakukan pemerintah itu tidak mengena kepada penggugat. Karena dalam hal ini mereka berhak menerima hak-hak ekonominya,” pungkasnya. [bed]

Tags: