Mata Najwa Mantra di Layar Kaca

IMG_20150622_152556_BURST1Judul: Mata Najwa Mantra Layar Kaca
Penulis: Fenty Effendy
Penerbit: Media Indonesia Publishing
Halaman: 328
Cetakan: 2015
Talkshow politik yang dianggap serius-berat-menjemukan, kenyataannya begitu ditunggu-tunggu.
Memperbincangkan politik juga bisa asyik seperti menonton pertunjukan musik, asalkan dikemas secara apik.
Bagi politisi, politik itu sekadar logika, tapi di mata publik, politik adalah soal perasaan. Ramuan itulah yang diaduk-aduk untuk menyihir pemirsa, sehingga Mata Najwa menjadi mantra.

Mata Najwa adalah salah satu program unggulan di MetroTV, dan boleh jadi merupakan talkshow politik paling favorit di Tanah Air. Tayangan yang dipandu oleh Najwa Shihab ini, memang sukses memikat hati banyak kalangan. Kuncinya? bisa Anda telusuri dengan membaca buku Mata Najwa Mantra Layar Kaca.
Fenty Effendy, penulis buku ini, apik dalam merekam dan menyuguhkan momen-momen penting dalam perjalanan Mata Najwa, baik yang telah menjadi konsumsi publik, maupun peristiwa-peristiwa yang selama ini menjadi kisah-kisah yang hanya melegenda di kalangan ‘orang dalam’ MetroTV.
Penulisan yang luwes dalam Mata Najwa Mantra Layar Kaca memungkinkan pembaca seolah-olah masuk ke dalam ruang rapat tim Mata Najwa yang penuh pergulatan ide, dan menyaksikan langsung proses syuting yang kadang mengharu biru, seperti saat BJ Habibie mencurahkan kesedihannya setelah ditinggal sang istri, Hasri Ainun Habibie, dalam episode Separuh Jiwaku Pergi.
Pada awal kelahiran Mata Najwa, tim memang berpijak dari keinginan menghadirkan talkshow, yang isinya tidak boleh bersifat permukaan saja. Sebaliknya mengedepankan kedalaman dan kuat sebagai narasi. “Tetapi tidak melupakan unsur show,” kata Julius Sumant, produser awal Mata Najwa.
Mata Najwa Mantra Layar Kaca mengkonstruksi kembali interaksi antara Najwa dan para tamunya. Penulis memilih episode-episode yang memiliki narasi kuat dan menangkap berbagai dialog secara cermat; yang bernas sebagai sebuah diskursus kebangsaan, atau yang jenaka namun bermakna.
Pernyataan-pernyataan inspiratif yang datang dari para kepala daerah tingkat dua yang sukses membawa kemajuan daerah mereka pada episode Menatap yang Menata, kembali disajikan. Pun, dialog-dialog segar ketika Mata Najwa menghadirkan tokoh-tokoh nasional seperti Boediono, Jusuf Kalla, Joko Widodo, Prabowo dan Megawati, dalam lain-lain episode.
Bagian-bagian dialog dalam Mata Najwa yang kembali diangkat dalam buku ini menjadikan Mata Najwa Mantra Layar Kaca seperti rangkuman dokumentasi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Tanah Air dengan sudut rasa yang berbeda. Data, pengakuan, emosi yang tergali dari narasumber, dan kepiawaian Najwa menyelisik, berkelindan apik: sebagai catatan-catatan sejarah, buku kisah inspiratif, di satu sisi – atau mungkin – buku komunikasi seri seni wawancara, di sisi lain.
Halaman demi halaman buku ini membawa pembaca untuk memahami bagaimana Mata Najwa menggerakan logika untuk berstrategi menyingkap data dan rasa dari narasumbernya agar tujuan akhirnya dalam satu episode tercapai.
Ini menarik. Sebab cara dan gaya bertanya Najwa Shihab  bagi sebagian orang diangggap terlalu “menghakimi” atau “menelanjangi” narasumber. Seperti saat mewawancarai pengacara Farhat Abbas, penyanyi Rhoma Irama, atau ketika mewawancarai calon legislator Angel Lelga. Dalam buku ini, penulis juga menyinggung apa yang diyakini Najwa Shihab dalam memainkan perannya sebagai pewawancara saat memandu talkshow yang muncul pertama kali pada 29 November 2009 itu.
Cerita-cerita di balik produksi Mata Najwa juga kerap diselipkan di sana-sini oleh Fenty. Selain membuat buku ini menjadi lebih hidup, berbagai kisah di balik layar ini cukup membantu pembaca, terutama mahasiswa dan peminat dunia broadcasting bisa ‘ikut mengalami’ seluk beluk proses produksi sebuah program talkshow politik yang  berpengaruh di Tanah Air.
Di layar kaca, misalnya, Najwa terlihat hanya tinggal duduk manis dan berbincang dengan narasumber, tetapi di belakang, prosesnya tidak sesederhana itu. Najwa kadang harus turun langsung untuk mengejar narasumber di lapangan, sama seperti jurnalis umumnya, saat memburu berita.
Penulis juga memotret kegundahan sekaligus keuletan kru Mata Najwa dalam sejumlah tayangan monumental di Mata Najwa. Momen-momen menegangkan atau mengharukan dari narasumber, yang tak bisa dilihat di layar kaca, juga diungkap, membuat buku ini semakin menarik.
Publik yang telah menyaksikan episode Blak-blakan dengan Risma, mungkin masih ingat bagaimana tangisan Wali Kota Surabaya ini pecah saat bercerita tentang penderitaan para penghuni lokalisasi Dolly dan dera-dera dari lawan politiknya.
Episode Blak-blakan dengan Risma adalah salah satu yang monumental dalam perjalanan Mata Najwa. Jagat maya ramai membicarakan Risma, dukungan mengalir deras kepadanya. Namun, episode Blak-Blakan dengan Risma, sebenarnya menyimpan rahasia di balik layar. Selain, kru yang ikut mendung terbawa suasana, tangisan Risma, mengubah rencana tim Mata Najwa ketika itu. Kisah di balik layar Mata Najwa dalam episode Blak-blakan dengan Risma juga diungkap dalam buku ini.
Sejak awal, Mata Najwa memang mantap untuk berkelit dari penyajian isu politik yang hanya berisik. Dalam konteks inilah, Mata Najwa menawarkan rasa yang berbeda. Kredo “cara beda menikmati berita” menjadi tantangan yang harus diwujudkan untuk menjiwai setiap tayangan Mata Najwa.
Apa yang disajikan penulis dengan menuangkan kembali dialog-dialog dari sejumlah topik yang diangkat, menguatkan contoh perwujudan kredo itu. Bagaimana, Mata Najwa mendekati persoalan dengan apa yang mereka sebut “politik rasa”, menemukan relevansinya dengan kredo “cara beda menikmati berita”.
Ini mungkin menjadi bahan yang bisa dibolak-balik oleh siapa pun terutama penikmat, atau penggiat jurnalistik, sebagai materi-materi yang layak dijadikan referensi tentang bagaimana sebuah berita politik bisa lebih didengar tanpa harus menampilkan kegaduhan. Perbincangan Risma dengan Mata Najwa cukup memberikan gambaran. Satu jam sebelum episode Blak-blakan dengan Risma diputar, Risma muncul dalam siaran langsung di sebuah stasiun televisi lain.
“Diwawancarai banyak media, tapi nangisnya, sensasinya cuma ada di Mata Najwa.” begitu komentar sportif seorang petinggi Media.
“Saya sangat sadar, acara talkshow bermuatan politik mengandaikan seorang pemandu yang bukan sekadar bertanya, melainkan pula menguji pernyataan, menunjukkan ironi, menghadirkan fakta-fakta yang saling bertubrukan, hingga mengaduk emosi sampai batas-batas terjauhnya,” kata Najwa Shihab dalam pengantarnya. Mungkin inilah salah satu kuncinya.

                                                                                          ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: