Matahari Kembar yang Tak Dibiarkan Bersinar

Judul : Sarwo Edhie dan Misteri 1965
Penulis/penyunting : Arif Zulkifli dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Tempo Publishing
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal : xvi + 126 halaman
ISBN : 978-602-424-743-0
Peresensi : Lenni Ika Wahyudiasti

Seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014.
Namanya melambung bersama rangkaian peristiwa sepanjang 1965-1966 yang berujung pada tumbangnya Pemerintahan Orde Lama. Tampil berwibawa dengan tutur kata yang terukur, Sarwo Edhie Wibowo mendadak jadi idola mahasiswa. Popularitasnya meroket di tengah pergolakan politik pasca geger 1965. Ironisnya, prestasi yang melangit tersebut justru menjadi titik balik perjalanan karier Sarwo Edhie setelahnya.
Prestasi gemilang membasmi PKI dan peran pentingnya dalam proses pergantian pucuk pemerintahan di negeri ini ternyata tak serta-merta melesatkan karier militer Sarwo menuju puncak. Lantaran tak boleh ada matahari kedua, sang kolonel pun terdepak. Alih-alih meroket ke jenjang yang lebih ‘mulia’, selepas itu Sarwo Edhi justru ‘tersingkir’ dari orbit elite Jakarta dengan hanya menjadi seorang pangdam di Medan dan Papua. Jabatan terakhirnya di dunia milter pun “cuma” Gubernur Akademi Militer di Magelang sebelum menjadi Kepala BP7 (Badan Pembinaan, Pendidikan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) menjelang akhir hayatnya.
Dalam pertemuan dengan wartawan di Markas Operasi Khusus di Jalan Raden Saleh, Jakarta, pada 1967, Ali Moertopo berkali-kali berkata, “Adanya matahari kembar di Indonesia hanya membawa bencana. Karena itu, matahari kembar harus dicegah dan tak boleh dibiarkan terjadi.” Ali, Kepala Operasi Khusus dan kemudian menjadi penasihat utama Soeharto, memang tak pernah menyebut nama. Tapi hampir semua orang tahu, Ali menyindir Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang baru saja sukses menumpas Partai Komunis Indonesia, (hal. 66).
Bisa jadi, buku ini adalah satu-satunya buku yang khusus menulis biografi Sarwo Edhie dan peran sentralnya membumihanguskan PKI pasca Gerakan 30 September 1965. Meski pria kelahiran Purworejo ini pernah berniat menerbitkan catatan-catatan pribadinya, namun catatan itu hilang dan entah tercecer ke mana setelah ia berpulang. Seingat Ani, ayahnya saat itu sudah menyiapkan biografi yang berisi pengalamannya sebagai prajurit. … Tapi, saat penyusunan buku-buku itu mulai disiapkan, Sarwo terserang stroke. Maka, hingga akhirnya ia meninggal karena stroke tersebut, penulisan dan penerbitan buku itu pun hanya tinggal rencana, (hal. 97).
Membaca rekam jejak kehidupan Sarwo Edhie di buku yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo November 2011 ini memang mengasyikkan. Ditulis dengan gaya reportase para jurnalis, tak hanya sisi positif sang tokoh yang tersaji dengan humanis. Sisi gelap sang perwira pun dikupas habis. Rumor tentang asmara terlarang Sarwo Edhie yang konon turut andil menenggelamkan kariernya misalnya. Agaknya tim penulis punya pertimbangan khusus mengapa kisah asmara sang jenderal harus ada. “Kisah-kisah macam itu relevan untuk menggambarkan para perwira ini sebagai manusia. Kami percaya di balik perubahan sosial, keputusan politik, perjalanan jatuh bangun bangsa ini, ada wajah-wajah dengan pergulatannya sendiri, rahasianya sendiri. Memahami sisi gelap mereka, niscaya membantu kita memahami tindakan dan logika di baliknya,” (hal. xv).
Tak hanya mengantar kita mengenal sosok Sarwo Edhie sebagai salah satu perwira militer yang mengubah perjalanan sejarah negeri ini, buku di tangan saya ini juga menguak sejumlah misteri seputar peristiwa di tahun 1965 yang tak banyak orang tahu. Oleh karena itu, jangan coba-coba melewatkan buku yang tersaji dengan redaksi yang amat rapi dan nyaris tanpa saltik ini. Mungkin satu-satunya ‘saltik’ hanyalah soal pencantuman usia yang tak sama saat Sarwo Edhie tutup usia. Di halaman 99 tertera Sarwo meninggal pada usia 64 tahun, sementara pada halaman pertama tertulis 62 tahun. Mana yang benar?
Bisa jadi yang benar adalah 62. Sebab, pria yang sempat digelari ‘matahari kembar’ di negeri ini ternyata pernah mengubah tahun kelahirannya di masa mudanya dulu. Sarwo, yang baru lulus MULO, terpanggil menjadi prajurit. Dia ikut kakak pertamanya, Murtogo, ke Surabaya. Di sana, dia mendaftar menjadi heiho (pembantu tentara). Umurnya yang baru 15 tahun tidak sesuai dengan persyaratan. Tak hilang akal, dia mengganti tahun kelahirannya menjadi 1925, (hal. 35-36).

——— *** ———

Tags: