Oleh :
Nanang Qosim
Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang, Peneliti di LTN NU Kota Semarang.
Andai kedua filsuf Yunani kuno–Plato dan Aristoteles–hidup kembali dan datang ke Indonesia saat ini, pasti mereka menyesali tesis politik yang pernah mereka kemukakan pada zaman dahulu. Kedua filsuf besar itu menegaskan bahwa politik sungguh indah dan terhormat.
Itu tertulis dalam dua karya klasik yang telah menjadi magnum opus: Republic-nya Plato dan Politics atau Nichomachean Ethics-nya Aristoteles. Mereka menjelaskan, sejatinya politik itu indah dan terhormat. Keindahan politik itu terletak pada kesejatiannya sebagai wahana membangun masyarakat utama.
Alasan dasar tesis mereka: tujuan utama dan target akhir politik adalah menyelenggarakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang berkeadaban dan terwujud dalam tatanan sosial serta berlandaskan pada hukum, norma dan aturan, sehingga terciptalah kesejahteraan. Karena itu, dikatakan: semua cabang ilmu lain bersifat melayani dan mengabdi kepada kepentingan ilmu politik dan berbagai aktivitas politik sebagai wujud manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon).
Penyesalan kedua filsuf itu bisa terjadi mengingat realitas politik di Tanah Air saat ini semakin menunjukkan tanda-tanda kematian tesis mereka soal keindahan politik. Yang kita saksikan kini adalah berbagai praktik politik yang penuh kebusukan dan persekongkolan, yang berada di luar koridor keindahan dan keterhormatan politik. Banyak politikus di partai politik dan parlemen terlibat kasus suap dan korupsi, yang menjelaskan bahwa yang dikejar dalam politik adalah kekuasaan dan harta, bukan pengabdian yang tulus untuk membangun masyarakat utama.
Dalam hal ini, parlemen laksana Academy-nya Plato, yakni lembaga politik tempat persemaian pemikiran-pemikiran brilian, dan ruang pertukaran ide-ide cemerlang di kalangan politikus, yang mengemban misi utama sebagai perumus kebijakan negara dan pembangunan kebajikan publik.
Dan politisi adalah kumpulan negarawan yang berhati dan berakhlak mulia yang dengan kecerdasannya mampu melahirkan gagasan-gagasan luhur, dan ide-ide cemerlang yang memberi pencerahan politik bagi masyarakat. Politik, kata Plato, adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society, dan bagi Aristoteles, politik sebagai cara meraih dan merengkuh apa yang disebut the best possible system that would be reached.
Tetapi, apa yang terjadi? Lembaga parlemen kini–menyitir Amich Alhumami (2006)– berubah menjadi ground breeding bagi praktik korupsi. Parlemen telah beralih fungsi menjadi medan transaksi politik, yang berujung pada uang dan materi. Pesona politik parlemen bukan lagi terletak pada tugas mulianya sebagai pengemban amanat rakyat dan perumus kebijakan negara, melainkan lebih pada kemudahan akses untuk menumpuk harta. Parlemen dijadikan jalan pintas untuk mengubah kehidupan, sebab ia menjanjikan kekuasaan dan kekayaan.
Sedangkan partai politik telah dijadikan sebagai lahan mencari pekerjaan dan wadah untuk mengeruk uang negara. Parpol bukan sebagai lembaga politik demokratik yang autentik, berdaulat dan bermartabat untuk memberikan pencerdasan dan pencerahan politik rakyat, melainkan telah merosot menjadi pasar kuasa dan supermarket untuk memperdagangkan politik. Maka, terjadilah banyak skandal suap dan korupsi. Para politisi dan elite partai sangat kewalahan mencari sensasi untuk menutupi segala kebusukan mereka di depan publik.
Akhirnya, citra dan wajah parlemen, parpol, dan politikus kita saat ini sungguh-sungguh telah kehilangan martabat. Tak ada lagi kebeningan dan kecerahan pada wajah parlemen, parpol, dan politikus di negeri ini.
Mengacu pada Aristotels, politik yang bermartabat itu mengubah rakyat dari sekadar “hidup belaka” (bare life) menjadi “hidup yang baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin dan atau politikus memancar dari keberanian, komitmen dan konsistensinya dalam menggerakkan masyarakat menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan menghasilkan hukum yang berwibawa.
Celakanya, tampilan para politikus kita saat ini seolah tidak merasa bersalah atau seperti tidak memiliki beban moral sedikit pun dengan selalu menutupi segala kebusukan di antara mereka. Dengan demikian, tergambarlah bahwa moralitas politik negeri ini telah terperosok dan tereduksi sedemikian parah, karena tergerus oleh kepentingan-kepentingan pragmatis politisi yang dibalut semangat hedonisme.
Untuk mencerahkan kembali wajah dan ruang-ruang politik di negeri ini, maka politikus-politikus busuk, yaitu politikus-politikus yang doyan suap, gemar korupsi dan yang tak henti-hentinya berselingkuh dengan para pemegang kepentingan lain harus disingkirkan. Salah satu jalan yang paling akurat saat ini adalah membangun optimalisasi penegakan hukum dalam ruang politik. Penegakan hukum terhadap politikus yang tidak memerhatikan nilai-nilai moral dan martabat politik harus benar-benar tegas, diikuti dengan pengawasan penggunaan uang dalam politik.
Juga, manajemen politik yang bermoral diterapkan di parlemen, demi meningkatkan martabat parlemen. Parlemen harus berkosentrasi mengemban tugas mulianya sebagai pengemban amanat rakyat dan perumus kebijakan negara. Etika dan moralitas hidup parlemen harus sungguh-sungguh diperhatikan, agar pesona parlemen dapat terpancar dan rakyat semakin manaruh hormat pada parlemen.
Kemudian, yang tidak boleh diabaikan adalah pembenahan kehidupan parpol. Membenahi mekanisme rekrutmen politik dan menjalankan program antisuap dan antikorupsi di internal parpol adalah harga mati. Kader-kader parpol yang terindikasi suap dan korupsi harus dikenai sanksi tegas. Parpol harus terus membuktikan kepada publik bahwa skandal suap dan korupsi terkait kader-kadernya bertentangan dengan nilai etika dan moral politik serta ideologi parpol sehingga harus dibasmi.
Yang terakhir adalah kemauan yang tinggi dari para politisi untuk semakin menjalankan kehidupan politik secara lebih bermartabat dan terhormat dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa daripada kepentingan pribadi dan kelompok. Dengan demikian, bukan hanya harga diri politiknya yang menjadi terhormat, melainkan pesona dan martabat politik sendiri kian terpancarkan, dan kehidupan pribadi sang politisi pun kian memesona.
———– *** ————