Matinya Pers dan Keempat Pilar Demokrasi

Oleh :
Bingar Bimantara
Mahasiswa S1 Ilmu Hukum dan mantan Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Voice of Law, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Perlakuan diskriminatif terhadap pekerja pers sejatinya sama halnya dengan upaya mencederai demokrasi kita. Terdapat empat pilar demokrasi, yakni, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga pers. Namun, saat ini nampaknya hanya lembaga pers yang masih waras ketimbang ketiga pilar lainya. Yang lain sudah bobrok dan porak poranda lantaran dimainkan sebagai bancakan politik.

Kekerasan terhadap pekerja pers hingga kini tidak pernah berhenti. Aliansi Jurnalis Independen mencatat, dalam rentang 2016 hingga 2021, terdapat total 349 tindak kekerasan terhadap jurnalis. Tindak kekerasan ini bervariasai, mulai dari teror, intimidasi lisan pejabat publik, kekerasan fisik, penyerangan di kantor redaksi, pengusiran, gugatan perdata, sampai tindak pemidanaan. Pelakunya pun bermacam-macam, mulai dari warga biasa, pejabat publik, advokat, TNI, dan yang paling banyak dilakukan adalah oleh polisi (AJI, 30/3/2021).

Insiden kekerasan terhadap jurnalis yang terbaru dialami oleh Nurhadi, jurnalis Tempo, saat melakukan tugas jurnalistiknya untuk mengkonfimasi kasus suap pajak di Kementerian Keuangan. Nurhadi bercerita bahwa dirinya dijambak, ditampar, ditempeleng, dan diinjak. Ponselnya pun dirampas, dirusak sampai pecah, dan kartu simnya dipatahkan oleh orang yang mengaku sebagai anak buah dari Angin Prayitno (CNN Indonesia, 29/03/2021). Parahnya, oknum pelaku tindak kekerasan tersebut adalah personil kepolisian dan TNI.

Peristiwa ini tentu menyakitkan bagi para jurnalis. Namun, sejatinya, yang paling disakiti sebenarnya justru adalah publik. Mengapa publik? Karena kebebasan pers tidak bisa dipandang sempit sebagai kebebasan seorang jurnalis dalam mewartakan peristiwa. Lebih jauh lagi, kebebasan pers sebenarnya juga bermakna kebebasan publik untuk mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya. Sehingga hemat penulis, menghalang-halangi kerja jurnalistik adalah sama halnya dengan menutup-nutupi aib negara berupa korupsi yang tidak ingin terbongkar dan diketahui publik secara luas.

Tidak hanya itu, kebebasan pers erat kaitannya dalam eksistensi penegakan HAM. Hak untuk mengetahui sesuatu (right to know) menjadi poin penting dalam esensi keberadaan perlindungan HAM. Sifat kerja jurnalistik ialah menyampaikan informasi dalam bentuk berita. Ia mengabarkan sebuah fakta. Salah kaprah apabila ada ungkapan seperti, “Koran ini bisanya cuma menjelek-jelekkan pemerintah.” Atau, “Bikin berita kok isinya hanya provokasi.” Ungkapan ini bisa dimaklumi bagi masyarakat awam. Namun, yang menjadi petaka adalah apabila ada pejabat negara yang takut kepada pers dan menilai pers hanya kumpulan tukang bikin gaduh saja.

Laporan berita yang disampaikan oleh jurnalis ialah sebuah fakta. Tidak ada berita dengan kabar kebaikan dan keburukan. Atau, berita menjatuhkan dan menguntungkan. Yang ada hanyalah sudut pandang (view point) jurnalis dalam memberitakan peristiwa. Sehingga, apabila ada yang menganggap bahwa kerja jurnalistik hanya mengabarkan keburukan, justru kewarasan pejabat publik ini yang patut dipertanyakan.

Justru informasi yang disampaikan oleh para jurnalis ialah corong keresahan dari masyarakat. Ia adalah kritik yang terukur untuk mengingatkan penguasa agar memperbaiki sistem yang salah. Sekaligus, ia adalah neraca keseimbangan dari ancaman kesewenang-wenangan sebagai bagian dari upaya menjaga checks and balance. Seperti kata Mahfud MD, bahwa pers sebagai bagian dari pilar demokrasi, ia harus tegak berdiri dan saling menopang.

Namun, apabila kerja jurnalistik sudah dicederai, hal ini sejatinya sama dengan kemunduran penegakan HAM di Indonesia. Sebab, kebebasan berekpresi menjadi hal yang fundamental dalam penegakan HAM. Lebih jauh, HAM tidak akan pernah berkembang jika media massanya dihantui oleh orang-orang yang anti pers.

Dewasa ini tantangan pers bukan hanya tindakan kekerasan, namun juga tentang hoaks. Namun, sampai detik ini, masih banyak para pekerja pers yang masih teguh pada independesinya untuk menyanpaikan berita yang berkualitas. Kegiatan jurnalistik juga harus diberikan ruang yang seluas-luasnya sehingga konteks HAM bisa terjamin. Publik juga berhak atas informasi yang benar sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Kasus Nurhadi kali ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan penegak hukum di Indonesia dalam menegakkan demokrasi, kebebesan pers, dan HAM. Pers terbukti masih ampuh menjadi pilar demokrasi yang masih sehat. Bersyukurlah kita bahwa pers masih hidup meskipun seolah sebatang kara dan dikoyak di sana-sini. Selain mewartakan peristiwa yang terang, juga untuk menjaga napas pikiran masyarakat kita agar tetap waras. Sekali lagi, kita akan dihadapkan kepada dua pilihan ke depan: melihat hukum bekerja sesuai dengan asasnya, yakni, mewujudkan persamaan di mata hukum (equality before the law), atau hukum bergerak seperti biasa, tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Apabila para guru besar ilmu hukum dan pejabat kita masih lantang berpidato bahwa negara kita adalah negara hukum, mulai sekarang kita nampaknya patut skeptis akan ungkapan tersebut. Publik sebenarnya hanya butuh upaya konkret dan lugas dari kasus Nurhadi dalam menegakkan kebebasan pers dan HAM. Tanpa upaya tersebut, jangan bicara tentang klaim Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis berlandaskan Pancasila. Apabila kasus ini nanti dibiarkan menguap, maka matilah pilar keempat demokrasi kita yang masih waras. Ia telah benar-benar roboh dan mati di depan mata kita.

——— *** ———

Tags: