Mawar

Oleh :
Joko Rapsodi

Ada yang berubah dalam diri Roron belakangan ini. Ia bagai kumbang tersesat di taman nan luas. Aneka jenis dan warna bunga terhampar mempesona. Semuanya sedang merekah. Cantik menawan hati. Tapi, entah kenapa, di taman yang asing itulah Roron kehilangan kata-kata. Di dekatnya ada sekuntum mawar sedang menari gemulai dibuai angin. Hasratnya tak terbendung lagi. Ia ingin memetik dan memilikinya. Inikah musim bercinta, dimana kupu-kupu datang untuk menghisap madu? Ah, Roron tak mengerti. Namun yang pasti, ia sedang mabuk kepayang menghirup aromanya yang merayap ke langit.
Perubahan itu terjadi semenjak Roron mengantar anaknya sekolah. Zainal, putra pertamanya, sudah cukup umur untuk mengecap bangku PAUD. Semula Roron khawatir. Zaman sekarang, pendidikan termasuk barang mahal. Untung simpanannya masih cukup untuk meladeni biaya sekolah yang tinggi. Rutinitas antar-jemput anak ternyata tak segampang dugaannya. Hari-hari pertama di sekolah, jagoan kecilnya itu gugup dan takut melihat wajah-wajah asing berseliweran di sekelilingnya. Suasana hiruk pikuk seperti pasar malam. Seperti bocah-bocah lain, Zainal pun merengek minta pulang. Tinggal Roron yang kalang kabut. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja seorang wanita menghampiri mereka. Sikapnya ramah keibuan. Ia jongkok dan membujuk Zainal. Dalam tempo sekejap, tangis Zainal surut. Roron terkesima. Bahkan ia seperti kerbau dicucuk hidungnya. Manggut saja saat wanita itu minta izin membawa anaknya ke dalam kelas.
Begitulah. Kejadian yang singkat, tapi berkesan di benak Roron. Wanita itu mengandung magnet yang kuat. Roron jadi bersemangat antar jemput Zainal. Terkadang, ia geli sendiri. Kenapa justru aku yang antusias ke sekolah? Begitu katanya dalam hati. Siapa bisa menebak isi hati seseorang? Dalam hati manusia, ada liang yang sulit dijangkau orang lain. Disanalah seluruh rahasia di kubur dalam-dalam. Tak ada yang boleh tahu, sedekat dan seintim apapun hubungan mereka. Begitulah yang terjadi pada Roron saat ini. Dari balik jendela yang bening, ia kerap mencuri pandang ke dalam kelas. Sikapnya dibuat sewajar mungkin. Jangan sampai ada yang curiga bahwa ia terpikat pada pesona Faril, nama wanita itu. Guru PAUD yang sabar dan telaten mengemong anak kecil. Sesuatu yang nyaris hilang dalam rumah tangganya.

* * *

Apakah benar selingkuh itu indah? Inikah yang namanya puber kedua? Batin Roron berkecamuk. Dia belum pernah terjebak dalam situasi seperti itu. Umurnya menjelang empat puluh lima, sudah berkeluarga dan dikaruniai seorang anak, tapi wajah Faril pelan tapi pasti menghiasi bilik hatinya. Jam dinding di ruang tamu berdentang sekali. Mata Roron belum juga terpejam meski sudah lewat tengah malam. Kedua telapak tangannya disatukan jadi bantal. Lamunannya menari-nari di gugusan bintang. Malam begitu hening.
Roron bisa menangkap hela napas Rani yang pulas di sampingnya. Nyenyak sekali ia tidur, pikir Roron sambil mengamati wajah sang istri. Pasti pekerjaan menyita seluruh tenaganya. Roron mendesah merenungi nasib. Tak terasa sudah hampir setahun ia menganggur. Begitu kontrak kerjanya di sebuah perusahan konsultan selesai, Roron jungkir balik mencari pekerjaan baru. Tapi apa daya, di zaman yang angkuh begini, mencari kerja ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Roron tak pernah menghitung, tapi ia yakin sudah ratusan lamaran kerja ia sebar ke penjuru mata angin. Hasilnya masih nol besar.
Rani, nasibnya lebih mujur. Ia bekerja di perusahaan pelayaran asing. Sejak menikah, mereka sepakat tetap menekuni pekerjaan masing-masing. Alasan Rani cukup logis. Dia tak ingin jadi ibu rumah tangga saja, sementara ijazah sarjananya lapuk dalam lemari. Lagipula ia tak tega membiarkan Roron seorang diri mencari nafkah. Padahal kebutuhan sehari-hari makin membengkak, melebihi penghasilan Roron. Roron mengizinkan istrinya bekerja. Tentu saja dengan beberapa syarat. Meski telah menggaji pembantu, bukan berarti Rani lepas tangan dari urusan rumah tangga. Ia harus bijak membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Jangan sampai anak-anak mereka terlantar seperti anak ayam kehilangan induk.

* * *

Roron ingat nasihat mantan rekan kerjanya. Katanya, hidup ini harus diselingi improvisasi dan gebetan segar supaya tidak monoton. Roron tersenyum saat itu. Sekarang ia merasa petuah itu ada benarnya. Dua minggu lalu Roron nekat bertegur sapa dengan Faril. Setelah basa-basi menanyakan perkembangan Zainal di kelas, Roron menyodorkan sehelai kartu nama. Faril tak menampik. Ia balas memberi nomor ponselnya. “Jika ada yang ingin ditanyakan tentang Zainal, silakan menghubungi saya”, begitu katanya. Saat itulah ada bunga yang merekah perlahan dalam hati Roron.
Dan siang ini Roron sedang menunggunya. Kemarin mereka membuat janji bertemu. Konsultasi mengenai perkembangan Zainal adalah alasan yang dibuat-buat Roron. Hampir jam dua, tapi Faril belum juga datang. Roron sabar menanti. Kali ini menunggu bukan hal menjemukan baginya. Apalagi suasana cukup mendukung. Kafe ini sedang sepi pengunjung. Di pojok ruangan, cuma ada sepasang anak SMU mengobrol malu-malu kucing. Mengamati kelakuan mereka, Roron tersenyum dikulum. Ia terkenang saat bau kencur dulu. Ah, kafé ini memang menyimpan kenangan tersendiri dalam hidup Roron. Ia ingat betul, di tempat ini ia kerap mengajak Rani berkencan semasa pacaran dulu. Makanya waktu Faril menyebut nama kafe ini, Roron sempat tertegun lama.

* * *

Daun-daun kering terbang dihalau angin. Kemarau belum juga berakhir. Rasanya sinar matahari makin sengit saja. Keringat menyembul dari pori-pori Roron. Sekuntum mawar merah, sekotak coklat, dan sekeping kaset love song, untuk seorang gadis cantik. Roron telah menyiapkannya untuk Faril. Semua disimpan rapi dalam tas kerjanya. Ah, cinta bisa membuat orang mabuk kepayang. When you love someone, you’ll do anything. You’ll do all the crazy thing, that you can’t explain.
Pertemuan rahasia pertama di kafe berjalan sukses. Tadinya Roron deg-degan dan tak nyaman. Takut kepergok basah oleh sanak famili atau rekan kerja Rani. Alasan masuk akal apa yang akan dikatakan bila ia sedang berdua-duaan dengan wanita lain? Tapi, nasib Roron cukup mujur. Ia tak bertemu dengan seorang pun yang dikenalnya sampai ia mengantar Faril pulang. Sekarang, ia lebih percaya diri untuk pertemuan-pertemuan rahasia berikutnya. Detak jantung Roron mirip musik cadas ketika Faril melenggang ke arahnya. Ia membayangkan roman muka Faril bersemu merah saat menerima kejutan darinya.
“Mas Roron, maaf ya, sudah lama menunggu?”, sapa Faril ramah. Roron tersenyum.
“Saya ambil cuti dua minggu, mas. Hari ini saya pulang cepat. Ada urusan yang tak bisa ditunda”.
Roron agak terkejut mendengar penuturan Faril.
“Oya? Kamu buru-buru? Biar saya antar?”.
Kaum adam memang lihai membaca peluang. Bila rencana A gagal, harus ada rencana B sebagai alternatif. Sayang, Faril menolak halus tawaran Roron. Ia ingin naik angkutan kota saja, begitu alasannya.
“Ah, hampir saya lupa”, celetuk Faril. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari kantong plastik hitam di tangan kirinya, lalu diserahkannya pada Roron.
“Apa ini?”.
Faril tersenyum, lalu menjawab, “Ini undangan untuk mas Roron. Minggu depan saya menikah. Datang ya, mas. Ajak Zainal dan istri mas”.
Seketika badai bergemuruh dalam dada Roron. Meluluhlantakkan mimpi-mimpi yang selama ini dibingkai dalam hatinya. Menikah? Roron kontan linglung. Waktu serasa berhenti berputar. Bahkan saat Faril pamit, ia belum sadar sepenuhnya. Roron mengangguk dan membiarkan Faril berlalu begitu saja, persis ketika membawa anaknya ke dalam kelas.
“Papa! Papa!”.
Jeritan itu mengembalikan Roron ke titik kesadarannya. Roron membalikkan badan. Jantungnya hampir copot melihat wanita yang mengekor di belakang Zainal. Rani! Apa yang dilakukannya disini? Baru kali ini ia menjemput Zainal ke sekolah. Roron gugup ketika mereka sudah ada di hadapannya. Untung Rani tak melihat kejadian barusan.
“Undangan siapa itu, mas?”, Rani melirik undangan merah jambu di genggaman Roron.
“Eh,..oh, ini undangan dari wali kelas Zainal”.
Tangan Roron refleks menyodorkannya pada Rani. Untung cuma kertas undangan. Kalau kertas lain, tentu lain pula ceritanya.
“Ia mau menikah..!” Roron menelan ludah. Kecut nian rasanya.
“Wah, respek sekali, ya, gurunya Zainal. Meskipun enggak akrab, tapi kita diundang juga ke pesta pernikahannya. Harus datang, nih, mas!”.
Roron menghela napas berat. Mereka melangkah menuju tempat parkir. Sekolah telah sepi, sesepi hati Roron. Mobil yang dikendarainya meluncur pelan membelah kota. Saat terjebak macet, ia ingat sesuatu. Tangan kirinya menjangkau tas. Mengeluarkan seluruh isinya. Sekuntum mawar itu diberikan pada Rani, dan sekotak cokelat jadi milik Zainal. Mereka senang sekali menerimanya. Suami romantis sekaligus bapak yang sayang pada keluarga, begitu puji Rani. Roron tersenyum dengan hati remuk redam. Kaset love song, satu-satunya yang tersisa, disetelnya. Terdengar intro lagu mengalun sendu. Roron menikmatinya dengan pikiran mengawang. Ah, ternyata selingkuh tak seindah yang kubayangkan, desis Roron dalam hati.

Tentang Penulis :
Joko Rabsodi
Lahir di Pamekasan, 11 Juni 1981. Santri yang mengabdi di SMA Negeri 4 Pamekasan, Madura. Karyanya terbit di Horison, Bali Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat dan lain-lain. Antologi bersama terbarunya, “Akalepsia, 2021.

Rate this article!
Mawar,5 / 5 ( 1votes )
Tags: