May-day Nuansa Fun-day

Hari buruh menjadi hari damai (dan liburan menyenangkan), sudah mulai terwujud. Hingar bingar orasi yang biasa mewarnai hari buruh, kini digantikan dengan “bicara bersama” pemerintah dengan buruh. Karena tuntutan buruh selalu sama setiap tahun, kini berganti momentum jawaban pemerintah. Niscaya dibutuhkan peta jalan kesejahteraan buruh, dengan target realisasi. Sekaligus perlindungan pemerintah keberlanjutan usaha.
Tetapi May-day tahun (2018) ini, terasa kental bernuansa politik, sehubungan persiapan awal tahap pilpres (pemilihan presiden). Hampir seluruh parpol yang memiliki kursi parlemen (di DPR-RI) telah menggagas arah dukungan pencalonan presiden (Capres). Bahkan parpol baru peserta pemilihan umum legislatif (pileg) 2019, juga memanfaatkan momentum tahap awal pen-capres-an. Maka peringatan Hari Buruh sedunia, tak luput dari ekses “tahun politik.”
May-day, sesungguhnya ujaran menggambarkan suasana ke-gawat-an. Lazim digunakan oleh pilot, maupun nakhoda di laut, sebagai permintaan pertolongan. Maka adopsi frasa kata May-day pada perburuhan, menunjukkan urgensi-nya problem yang dihadapi tenaga kerja. Biasanya, buruh selalu berada dalam posisi inferior pada hubungan ketenagakerjaan. Padahal sejak awal abad ke-20 (dekade awal tahun 1900-an) telah diterbitkan berbagai konvensi perburuhan internasional.
Puncaknya, permasalahan perburuhan masuk dalam konvensi hak asasi manusia (HAM, Universal Declaration of Human Rights) yang diterbitkan 10 Desember 1948. Terdapat dua klausu spesifik perburuhan, yakni, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, serta hak untuk berdagang. Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO (Internasional Labour Organization, organisasi perburuhan sedunia) melalui UU Nomor 18 tahun 1956.
Pada masa kini, konstitusi secara tekstual memiliki amanat spesial terhadap perburuhan. UUD pasal 28D ayat (2), menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” UUD dalam pasal 28E ayat (1) juga menyasar kebebasan memilih pekerjaan sebagai bagian dari kebebasan ber-keyakinan. Serta UUD pasal 28I ayat (1) yang melarang perbudakan.
Secara lex specialist, Indonesia juga memiliki banyak undang-undang (UU), sejak awal kemerdekaan. Kini seluruh peraturan perburuhan berhulu UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun terasa, masih terdapat klausul “intimadtif” terhadap buruh. Juga percaloan tenaga kerja. Misalnya peraturan tentang status pekerja alih-daya, serta pengerah jasa tenaga kerja. Kedua peraturan penyebabkan ter-irisnya hak-hak buruh secara mutual. Tak terkecuali nilai upah.
Upah masih menjadi isu utama. Tetapi buruh memilih jalan damai, dengan janji pengusaha bakal menyesuaikan UMK pada saat laba usaha naik. Harus diakui, pada masa pelemahan pertumbuhan ekonomi meng-global sejak tahun 2016, banyak usaha mengalami kemunduran. Terutama usaha berbahan baku dan bahan penolong asal impor.
Sejak tahun 2017, UMK berpijak pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP menambah rinci dan menambah nominal penghasilan yang diperoleh buruh. Misalnya, UU 13 tahun 2003 pada pasal 89 ayat (1) tertulis frasa kata “dapat,” sehingga bisa ditafsirkan tidak wajib. Sampai hampir satu dekade (sepuluh tahun) upah sektoral belum pernah dilaksanakan.
Suasana “tahun politik” juga mewarnai peringatan Hari Buruh se-dunia, dengan tuntutan pencabutan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Perpres ini dianggap menggerus kesempatan kerja untuk tenagakerja lokal. Padahal dalam Perpres nyata-nyata tercantum persyaratan hanya untuk kalangan pemegang saham (investasi asing). Serta pekerja expert dengan kewajiban asistensi oleh tenagakerja dalam negeri.
May-day telah dapat diselenggarakan sebagai fun-day. Namun pemerintah masih berkewajiban menjamin kesempatan bekerja di dalam negeri. Caranya, segera ekstradisi pekerja asing ilegal.

——— 000 ———

Rate this article!
May-day Nuansa Fun-day,5 / 5 ( 1votes )
Tags: