Mbah Dul, Si Penambal Jalan Akhirnya Bisa Umrah Gratis

Abdul Sukur alias Mbah Dul saat membopong bongkaran aspal yang telah didapatkan di Jalan Tunjungan untuk menambal jalan yang berlubang, Kamis (19/5) kemarin.  [gegeh bagus]

Abdul Sukur alias Mbah Dul saat membopong bongkaran aspal yang telah didapatkan di Jalan Tunjungan untuk menambal jalan yang berlubang, Kamis (19/5) kemarin. [gegeh bagus]

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional
Kota Surabaya, Bhirawa
20 Mei 2016 adalah hari besar yang sangat penting bagi perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 silam yang dimotori oleh Soetomo, merupakan momentum awal kebangkitan nasional. Saat ini perlu berefleksi mengenai situasi negeri belakangan ini dikaitkan dengan semangat para pendiri negeri ketika memilih dan menetapkan hari lahir Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Saat ini masyarakat seolah disuguhi  tontonan tak menarik, elite politik yang berkelahi, saling gugat demi memperebutkan legitimasi sebagai penguasa parpol. Para pejabat negeri yang terbelenggu kepentingan sempit dalam menjalankan kepercayaan yang telah diberikan dan sibuk memperkaya diri sendiri dan golongan. Atmosfer tak sehat ini membuat ikatan persaudaraan dan rasa persatuan masyarakat semakin longgar.  Warga terancam perpecahan hanya karena perbedaan suku, agama, golongan dan alasan-alasan lainnya.
Di tengah situasi seperti ini, apa yang dilakukan Abdul Sukur atau yang lebih dikenal Mbah Dul (68) patut diacungi jempol.
Tanpa woro-woro, tanpa berharap sanjung dan puji di dunia nyata dan di media sosial, dia setia mengais aspal dari bongkaran untuk menambal jalan yang rusak di sekitarnya. Harapannya satu, agar jalan nyaman dilalui dan tak memakan korban yang melewatinya. Terlebih saat musim penghujan tiba.
Ketika Bhirawa berkunjung di rumah Mbah Dul di Tambak Segaran Gang 1/27, Kamis (19/5) kemarin, dia terlihat sibuk mengumpulkan bongkaran aspal. Kakek renta ini hanyalah seorang pengayuh becak, miskin, dan tak paham apa itu Kebangkitan Nasional. Apalagi sejarah Boedi Oetomo. Namun dalam kesehariannya, Mbah Dul mempraktikkan semangat nasionalisme. Yakni melakukan hal-hal kecil yang sesungguhnya besar manfaatnya bagi banyak orang.
Bayangkan, dalam 11 tahun terakhir Mbah Dul secara sukarela menambal jalan-jalan berlubang pada beberapa lokasi di Kota Surabaya. Mbah Dul ikhlas melakukannya. Dia tak mempersoalkan apakah jalan yang ditambal itu dilalui oleh orang beragama apa, suku apa, golongan mana, anggota parpol apa, kaya atau miskin dan sebagainya. Mbah Dul hanya ingin agar jalan berlubang itu lebih nyaman dilalui orang dan tidak menimbulkan kecelakaan terhadap siapapun yang melintasinya.
“Kalau bisa ketemu Bu Wali (Tri Rismaharini, red) lagi saya akan laporkan jalan mana saja yang rusak. Cuma, saat ini sangat susah untuk bertemu beliau. Saya hanya ingin membantu pengguna jalan, kasihan kalau ada orang jatuh gara-gara jalan berlubang,” katanya sambil merapikan bongkaran aspal yang didapatkan di Jalan Tunjungan karena ada pelebaran pedestrian.
Mbah Dul yang memiliki enam anak dan delapan cucu ini bekerja berdasarkan keikhlasan. Dia sama sekali tak mengharapkan imbalan apapun di masa depan, karena tak ada yang dikejar melalui kegiatan menambal jalan berlubang secara mandiri itu. Terbukti dirinya menolak pemberian dari Wali Kota Tri Rismaharini atas jasanya selama 11 tahun secara sukarela menambal sejumlah ruas jalan berlubang di Surabaya.  Dia juga menolak dikasih jabatan sebagai mandor proyek perbaikan jalan di Dinas PU Kota Surabaya tahun lalu.
Satu kali dia mengakui menerima program bedah rumah. Rumahnya yang dulu kumuh sekarang lebih layak huni. “Rumah saya juga sudah direnovasi oleh Pemkot Surabaya. Yang direnovasi kamar mbah itu, tapi belum selesai. Biaya dari pemerintah habis katanya,” ujarnya.
Sikap Mbah Dul ini bertolak belakang dengan sikap sebagian besar dari kita. Ketika kita suka mengomel karena pekerjaan kita kurang dihargai, Mbah Dul malah menolak penghargaan dari Wali Kota Surabaya. Ketika banyak orang berlomba-lomba dan saling sikut untuk mengejar jabatan, Mbah Dul malah menolak jabatan yang diberikan kepadanya. “Mbah Dul cuma ingin menolong pengguna jalan. Daripada lubang jalan itu dikasih tong atau kayu kan malah bahaya,” pungkasnya.
Di tengah masyarakat yang seringkali hanya memikirkan diri sendiri, kepedulian yang mewujud dalam karya nyata itu tak selalu mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitar. Mbah Dul pun sering mendapat ejekan dan cemoohan orang-orang sekitarnya. Sesama tukang becak bahkan pernah berkata bahwa Mbah Dul hanya mencari perhatian. “Saya pernah diejek sama tukang becak lainnya, jangan cari perhatian. Biarkan pemerintah yang menambal jalan rusak,” tuturnya.
Karena kegigihannya dalam menolong antar sesama, akhirnya Mbah Dul justru mendapatkan rezeki yang tidak terduga. Ya, kakek yang lahir di Kertopaten pada 1951 silam mendapatkan umrah gratis dari stasiun televisi nasional yang berpusat di Jakarta.
“Sekarang ini saya disuruh banyak istirahat karena awal Juni nanti saya berangkat umrah. Saya juga dibelikan tas besar untuk bawa perlengkapan yang harus dibawa. Seperti mimpi, mbah yang mbecak setiap hari akhirnya bisa ke Tanah Suci Mekkah,” ujarnya sambil mengucap syukur. [Gegeh Bagus Setiadi]

Tags: