“Me-mulia-kan” Suporter

Seorang suporter jakmania meninggal dikeroyok masa bobotoh Bandung. Tragedi pasca-tanding Persija melawan Persib (pada Liga 1 Indonesia), sangat disesalkan. Karena pertandingan dua klub papan atas Indonesia itu berlangsung seru, dan sangat berkualitas sampai detik-detik akhir laga. Lima gol tercipta, dengan skor akhir 3-2 untuk Persib Bandung. PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) seyogianya meng-gagas “pemuliaan” suporter, dengan pola sistemik, dan menarik.
Ulah suporter sepakbola Indonesia di berbagai daerah makin brutal selama satu dekade terakhir. Semakin tidak terkendali sejak lima tahun terakhir. Telah memasuki darurat suporter, karena kerusuhan pasca-pertandingan. Sampai terjadi “hukuman” bertanding tanpa penonton. Sebagian kelompok nyata-nyata dipimpin oleh preman yang biasa terlibat geng motor, dan tindakan kriminal (pencopet, dan penjambret jalanan).
Suporter preman, sering menyulut kericuhan (tindak kekerasan) di sepanjang perjalanan. Mencegat kendaraan suporter klub lawan, sampai merusak angkutan umum (kereta-api) maupun bus pengangkut suporter. Memukul dengan senjata tajam, melempar batu dan membunuh suporter klub lawan, menjadi salahsatu tujuan. Sudah banyak korban harta dan jiwa masyarakat di sepanjang perjalanan! Bahkan karena ulah suporter Jakarta (saat melawan Arab Saudi), Indonesia didenda US$ 10 ribu, plus tambahan denda US$ 5 ribu.
Ironisnya, “premanisme” suporter, hanya sangat gaduh di Jawa. Sedangkan suporter luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Papua) tergolong ramah dan santun. Sehingga seluruh Kepolisian Daerah (Polda) sampai Polres, telah memiliki catatan even rawan kerusuhan. Hampir di seluruh Jawa, berpotensi rawan rusuh suporter. Tak terkecuali di kota kecil. Seperti di Lamongan, di Jawa Timur, di Bekasi (Jawa Barat), dan Sleman (DI Yogya).
Polisi telah melakukan pembinaan keras terhadap suporter. Termasuk penegakan hukum terhadap pengeroyokan yang menyebabkan korban jiwa. Bahkan aparat keamanan juga siaga dengan metode (dan alat) pengamanan, bagai menghadapi demo anarkhis. Sampai mengawal perjalanan kedatangan dan kepulangan kelompok suporter tandang, beberapa kilometer area luar stadion. Begitu pula pada tribun penonton dalam stadion telah dipasang alat cctv (kamera intai). CCTV diperlukan untuk pembinaan (dan penegakan hukum) terhadap suporter jahat.
“Darurat suporter” telah dimulai dua tahun lalu. Tragedi kebrutalan terjadi pada pertandingan pekan keempat ISC (Indonesia Soccer Championship), di Sleman Yogyakarta, dan Gresik. Kerusuhan di jalan menuju stadion menyebabkan seorang suporter PSS Sleman, meninggal dunia. Bus yang ditumpangi dihadang, dan diserang. Terdapat luka bacok di kepala, dan luka tusuk. Di Gresik, kerusuhan suporter PS TNI sampai menyebabkan pertandingan dihentikan selama 20 menit.
Tiada klub sepakbola tanpa suporter. Hidup-mati klub ditentukan oleh geliat suporter. Di Eropa, klub paling profesional pun akan “mati” manakala ditinggalkan suporter. Penghasilan klub, bergantung pada suporter. Selain tiket masuk (yang mahal), juga penjualan berbagai jersey klub. Serta pembayaran hak tayang televisi dan radio. Seluruhnya berbasis “kantong” suporter. Hal itu disebabkan suporter memiliki tipe psikologis ke-gila-an (fanatik).
Maka suporter patut “dimuliakan.” Fanatisme suporter terhadap klub (dan pemain), nyaris tak terukur. Bertemu dengan klub atau pemain idola, suporter bagai kumpulan “bebek” yang mengikuti perilaku bebek terdepan. Maka diperlukan manajemen “peng-gembala-an” suporter, agar tidak berdampak kerugian mendalam dan pedih. PSSI bisa me-wajib-kan klub memiliki manajemen suporter. Antaralain yel-yel, harus dipimpin oleh “dirijen,” seperti dilakukan Aremania (suporter terbaik 2016).
“Menggembala” suporter bisa dilakukan dengan cara elegan dan sistemik. Misalnya, dengan kewajiban tukar kostum suporter, seperti biasa dilakukan pemain usai pertandingan. Serta men-disiplin-kan suporter (non-tiket) di luar lapangan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: