Pemilu legislatif (pileg), selalu menimbulkan efek kejiwaan ganda. Ada yang senang dan menjadikan surprise, kalau jadi lagi. Ada juga yang bersedih, karena merasa tidak lolos menjadi parlemen. Caleg yang sukses maupun yang gagal, sama-sama harus menjalani terapi kejiwaan. Banyak caleg sudah terjebak ke-seolah olah-an. Harapan meraih jabatan politik (dengan fasilitas dan kewenangan high level) selalu dengan konsekuensi beban psikologis.
Gagal dalam rebutan habatan politik bisa mengubah keseimbangan ke-jiwa-an. Hal itu juga diakui oleh Presiden SBY dalam buku “Selalu Ada Pilihan.” Ketika itu SBY kalah dalam pemilihan Wakil Presiden tahun 2001. Perolehan suaranya (dukungan dari anggota MPR) jauh dibawah nama Akbar Tanjung, dan Hamzah Haz (yang terpilih sebagai Wapres). SBY mengakui ada kekecewaan, dan sedih. Beruntung, presiden Megawati mengangkatnya sebagai Menko Polkam.
Untuk yang gagal, mestilah disediakan situasi kondusif sebagai penglipur lara. Beban berat kejiwaan itu kini mesti diwaspadai oleh keluarga caleg. Beberapa rumahsakit juga mewaspadai bakal membludaknya pasien kejiwaan pasca-pileg. Karena itu telah dipersiapkan penambahan ruang khusus untuk pemeriksaan, rawat jalan maupun rawat inap unit kejiwaan. Dalam hal antisipasi, caleg incumbent memiliki kerentanan gangguan jiwa lebih besar.
Metode pengobatan alternatif di pesantren saat ini mulai sibuk kebanjiran “santri” pasien kejiwaan. Salahsatunya pesantren Dzikrusyifa Asma Brojomusti, di desa Sendangagung, Kabupaten Lamongan. Konon sedikitnya 40 caleg (13 diantaranya perempuan) dari berbagai daerah di Indonesia (termasuk dari luar pulau Jawa) telah menjalani terapi psikologi di pesantren ini. Beberapa hari mendatang diperkirakan jumlah “santri” yang dirawat bakal lebih banyak.
Gagal meraih cita-cita yang disertai ambisi, memang harus disediakan penglipur lara. Pengalaman SBY (dan fakta lain kegagalan dalam jabatan politik) bisa menjadi pelajaran yang baik. Diantaranya kesiapan keluarga mengantisipasi perubahan perilaku caleg yang gagal. Selain pengobatan alternatif (di pesantren) sudah banyak rumahsakit yang mengantisipasi “booming” caleg stress.
Tetapi sebenarnya, stress bukan hanya monopoli caleg yang gagal. Karena sebenarnya seluruh caleg hampir pasti dihinggapi perubahan orientasi hidup. Yakni, menguatnya kepentingan (ambisi) individual diatas kepentingan orang banyak (soaial). Tenaga, pikiran dan ongkos, dicurahkan hanya untuk kepentingan pribadi, dengan metode pertarungan ketat politik.
Jabatan politik dengan hak-hak penghasilan maupun hak protokoler “high level” memang sangat menggiurkan. Bahkan untuk incumbent dianggap sebagai pertaruhan harga diri. Incumbent yang sudah tahu “jalan” tidak kesulitan untuk mengembalikan modal. Karena hampir semua kinerja selalu berkonsekuensi dengan anggaran. Dus, apapun yang dilakukan bisa menjadi ladang penghasilan. Kunker, Bimtek, raker, sampai sidak, seluruhnya menghasilkan uang. Namun penghasilan diperoleh serampangan bisa berkonsekuensi dengan hukum.
Itulah sebabnya, caleg yang berhasil pun harus ekstra waspada. Penghasilan yang besar dengan hak protokoler high level bisa menjerumuskan, walau dijamin perundang-undangan. Diantaranya UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 73 ayat (2). Dinyatakan, “Dalam menyusun program dan kegiatan DPR … untuk memenuhi kebutuhannya DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.”
Untuk DPRD Propinsi Propinsi hak yang sama diatur pada pasal 317, malah terdapat frasa tentang gaji dan tunjangan pada setiap pekerjaan. Pada pasal 317 ayat (3) dinyatakan “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya pimpinan dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.”
Sudah banyak anggota DPR terjebak rente commitment fee. Semacam tawar menawar upah dalam persetujuan anggaran kementerian. Selain itu juga banyak rekanan proyek pelaksana program pemerintah (termasuk BUMN dan BUMD) biasa menggunakan anggota dewan sebagai calo.
——— 000 ———