MEA 2015, Siapkah Indonesia?

SalahudinOleh :
Salahudin, S.IP. M.Si.
Dosen Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Malang, Saat ini sedang menerima Grant penelitian dari European Commission melalui Erasmus Mundus one more step project di University of Trento, Italy

Tidak lama lagi masyarakat Indonesia akan menghadapi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Salah satu tujuan pelaksanaan MEA adalah mengintegrasikan masyarakat pada negara-negara yang berada di wilayah Asean.  Integrasi tersebut juga bertujuan agar masing-masing masyarakat pada negara Asean dapat saling menyapa atau kerjasama dalam meningkatkan pendapatan ekonomi dan saling mengenal identitas budaya, politik, dan norma masing-masing.
Salah satu aspek utama yang menjadi sorotan dalam pelaksanaan MEA adalah aspek ekonomi. Dampak terciptanya MEA pada aspek ekonomi adalah pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Artinya, masing-masing negara yang tergabung dalam MEA akan berkompetisi untuk merebut pasar dalam bidang permodalan, barang, dan jasa. Dalam kompetisi tersebut masing-masing negara menyiapkan strategi dan langkah yang mendukung pemenangan dalam merebut pasar.
Pada konteks pelaksanaan MEA, hukum ekonomi kapitalis diterapkan, yaitu siapa yang mampu merebut pasar, maka ia yang menang, dan ia akan menjadi kuat. Sebaliknya, siapa yang kalah dalam merebut pasar, maka akan dengan sendirinya tersingkir dalam kompetisi, dan ia akan merasakan penderitaan yang menyedihkan, yaitu ia selamanya akan menjadi buruh, penonton, dan bahkan dieksploitasi oleh para pemenang pasar.
Dalam konteks pasar bebas, persaingan di MEA nanti akan menimbulkan konsekuensi seperti adanya eksploitasi terhadap masyarakat ekonomi lemah oleh pihak yang kuat ekonominya, menimbulkan terjadinya monopoli sehingga merugikan masyarakat, munculnya kesenjangan ekonomi antara golongan ekonomi kuat dengan golongan ekonomi lemah, dan perekonomian dapat dengan mudah menjadi tidak stabil.
Konseksuensi ini-lah yang harus diperhatikan dan dipahami negara-negara yang tergabung dalam MEA terutama Negara Indonesia. Indonesia sebagai tuan rumah pembentukan MEA di Bali pada Oktober 2013 lalu, pastinya memahami tujuan pembentukan MEA, dan memahami strategi apa yang harus dilakukan untuk menghadapi MEA. Secara teoritis, suatu negara menghadapi pasar bebas maka harus menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur negara yang memadai. Kedua hal tersebut menentukan kemampuan suatu negara dalam menghadapi pelaksanaan MEA pada desember 2015 nanti.
Secara umum harus diakui Indonesia masih lemah dalam kedua bidang tersebut (infrastruktur dan suprastruktur). Infrakstrukur Indonesia dinilai belum mampu mendukung untuk berkompetisi dalam MEA. Infrakstruktur pertanian, misalnya, di beberapa daerah di Indonesia  tidak memiliki infrakstruktur pertanian yang memadai seperti minimnya bendungan, irigasi, lahan pertanian, dan minimnya ketersediaan bahan pendukung pertanian. Masyarat tani Indonesia masih banyak yang bertani secara tradisional, yaitu mereka bertani dengan tadah hujan, mereka kusulitan mendapatkan pupuk, dan bahan pendukung pertanian lainnya.
Pada bidang transportasi, pembangunan insfrakstruktur transportasi Indonesia dinilai belum memadai khususnya di daerah-daerah terpencil seperti di bagian timur Indonesia (NTB, NTT, Papua, dll). Infrakstruktur transportasi di daerah-daerah terpencil masih jauh dari harapan. Jalan umum masih banyak belum di aspal, jalan menuju lahan pertanian masih sangat buruk, bus-bus untuk akses perdagangan masih minim, dan masih banyak persoalan transportasi lain yang perlu diperhatikan.
Infrastruktur pendidikan juga menjadi sorotan utama di Indonesia. Kendati pemerintah Indonesia telah membuat banyak kebijakan untuk membangun infrasktruktur pendidikan namun tetap saja infrakstruktur pendidikan di Indonesia belum memadai untuk mendukung pelaksanaan pendidikan yang kondusif. Di daerah-daerah terpencil masih banyak gedung-gedung sekolah yang tidak memadai untuk belajar mengajar, bahkan di beberapa daerah dijumpai masyarakat sekolah tanpa gedung.
Pada intinya, infrakstruktur Indonesia belum cukup memadai untuk berkompetisi dalam pasar bebas atau ikut serta dalam MEA desember 2015 nanti. Kondisi pembanguna infrastruktur tersebut semakin diperparah lagi dengan kondisi pembangunan  suprastruktur Indonesia yang dinilai masih banyak persoalan yang harus diperhatikan.
Pembangunan suprastruktur dimaksud adalah pembangunan sumber daya manusia, yaitu sumber daya manusia birokrasi pemerintah, politisi, dan masyarakat. Pembangunan suprastruktur sangat menentukan pemenangan dalam persaingan pasar bebas. Sayangnya, pembangunan suprastruktur di Indonesia belum mendukung untuk kompetisi dalam pasar bebas.
Saat ini profesionalitas birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya masih dipertanyakan. Tata kelola birokrasi di sejumlah daerah masih jauh dari harapan. Menurut penelitian Indonesia Governance Index (IGI) yang dilakukan Kemitraan, rata-rata nasional kinerja tata kelola pemerintahan provinsi hanya mencapai angka 5,70 dariskala 1-10. Hasil pemeringkatan indeks korupsi, yang dilansir dari laman Gallup pada 15 Oktober, sebuah lembaga riset politik internasional, menyebutkan Indonesia bertengger di puncak daftar negara terkorup di Asia Tenggara.
Pada sisi lain, keberadaan politisi bukannya untuk mendukung terwujudnya tata kelola birokrasi yang baik dan benar. Justru politisi seperti Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota) hadir untuk memperburuk kinerja dan tata kelola birokrasi.
Salahudin (2014) dalam bukunnya “korupsi dan pembangunan daerah” menjelaskan “Penataan birokrasi pacsa Pilkada menggunakan pendekatan politis, daripada pendekatan profesionalitas. Seringkali kepala daerah terpilih menata birokrasi berbasiskan kepentingan politik, yaitu kepala daerah mengangkat birokrasi sebagai kepala dinas dan kepala bagian pada struktur pemerintahan memperhatikan kontribusi birokrasi terhadap pemenangannya (kepala daerah) sebagai kepala daerah”. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi.
Pada bidang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga dinilai belum siap untuk ikut serta dalam kompetisi pasar bebas MEA. Laporan Pembangunan Manusia 2014 yang terbaru berjudul “Mempertahankan Kemajuan Manusia: Mengurangi Kerentanan dan Membangun Ketahanan”, dirilis kemarin (24/7) oleh United Nations Development Programme (UNDP). Laporan ini secara komprehensif menjelaskan kinerja negara-negara dalam menjaga kesejahteraan warganya.
UNDP dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu kombinasi dari indikator-indikator seperti kesehatan, kekayaan dan pendidikan, menempatkan  Indonesia pada peringkat 108 dari 187 dari tahun sebelumnya. Dengan pengecualian dari Singapura (9), Brunei (30), Malaysia (62) dan Thailand (89), negara-negara anggota ASEAN lainnya menempati peringkat lebih rendah dengan Myanmar (150), Laos (139), Kamboja (136), Vietnam (121) dan Filipina (117).
Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur Indonesia yang dijelaskan di atas menunjukkan ketidaksiapanya untuk ikut serta dalam MEA desember 2015 nanti. Namun, pemerintah Indonesia nampaknya menunjukkan kepercayaan diri di berbagai forum internasional, bahwa mereka sudah siap menyambut MEA dengan semangat dan konsep pembangunan yang matang. Pada dasarnya kepercayaan diri pemerintah tersebt berbekalkan pada konsep pembangunan (konsek kebijakan), bukan hasil dari pembangunan.
Hemat saya, bukan saatnya lagi pemerintah menyambut MEA dengan gagasan konsep pembangunan (kebijakan), mestinya menyambut MEA harus dengan: Pertama, kematangan pembangunan infrastruktur pada segala bidang, kedua tata kelola birokrasi yang profesional dan berbasiskan teknologi informasi, dan ketiga IPM yang mumpuni menghadapi persaingan, yaitu SDM yang berpendidikan, terampil, dan mampu beradaptasi dengan berbagai kultur negara lain.

                                                                                 ——————— *** ——————–

Rate this article!
Tags: