MEA dan Pendidikan Kita

eka sugeng ariadi (2)Oleh :
Eka Sugeng Ariadi
Mahasiswa Pascasarjana Unisma Malang

MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) atau AEC (ASEAN Economic Community) telah resmi diberlakukan tahun ini. Dengan motto “One Vision, One Identity, One Caring and Sharing”, 10 negara anggota ASEAN berkomitment menyatu dalam sebuah komunitas (pasar tunggal-single market) untuk menjadi salah satu wilayah yang diperhitungkan di kancah Internasional.
Maka disepakatilah berbagai kemudahan, keleluasaan dan kebebasan dalam beberapa bidang, misal : penghapusan/pengurangan pungutan-pungutan quota, tarif, pajak dan sebagainya, kemudahan aliran barang, jasa, tenaga kerja terampil/profesional seperti tenaga medis, tenaga pendidik, pengacara, akuntan dan lain-lain serta keluar masuk investasi antar sesama negara ASEAN. Dengan gambaran seperti ini, persaingan di segala bidang tak pelak semakin kompetitif antar sesama negara ASEAN, siapa yang lebih cerdas/lebih kompeten/lebih canggih/lebih bagus, dialah yang akan memenangkan persaingan. Dan bagi yang gagal dalam persaingan, konsekuensi logisnya pasti akan menjadi buruh/budak di negeri sendiri.
Dibelakang MEA, terbeber beberapa fakta hasil riset terbaru dari Organisasi Perburuhan Dunia (International Labour Organization – ILO), yang melaporkan bahwa pada tahun 2015 ini, permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta hingga dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta orang yang hidup di Asia Tenggara. Sedangkan permintaan akan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, dan tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta. Artinya lonjakan labour demand di era ini membuka kran tenaga kerja asing berkualitas masuk ke berbagai negara dengan leluasa. Sekali lagi hanya yang mampu bersaing yang akan memenangkan posisi yang diinginkan. Fakta lain adalah laporan UNDP (United Nations Development Programme) juga merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) negara-negara di dunia. Saat ini, Indonesia ‘naik kelas’ berada pada posisi 108, naik 13 tingkat dari tahun 2012 yang lalu. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia sangat jauh tertinggal. Singapura saja tercatat diurutan 9, disusul Brunei Darussalam diurutan 30, lalu Malaysia di nomor 62 dan Thailand di posisi ke 89.
MEA dan Kita
Berkaitan dengan tenaga kerja/tenaga profesional/SDM, pertanyaannya apakah SDM kita sudah mampu bersaing dan bersanding dengan negara ASEAN lainnya? Jawaban yang cukup valid  bisa didapatkan dari pihak yang memang tahu pasti bagaimana kondisi makro SDM kita saat ini.
Penulis mencatat dari berbagai sumber, misalnya: di bidang hukum, Ketua Persatuan Advokat Indonesia, Otto Hasibuan, mengatakan bahwa tren penggunaan pengacara asing di Indonesia justru malah semakin menurun, artinya bisa jadi pengacara dalam negeri sudah selevel dan mampu bersaing. Sebaliknya, di bidang akuntansi, Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia, Tarko Sunaryo, mengakui masih banyak akuntan muda belum mampu berkompetisi dengan akuntan asing. Terlebih lagi di bidang perdagangan, Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengatakan SDM kita belum mampu menghadapi persaingan pada era MEA ini.
Jadi, bisa dikatakan bahwa pada bidang tertentu SDM kita memang sudah sepadan dengan SDM dari negara lain, akan tetapi secara makro fakta di atas membuktikan bahwa kita sejatinya belum sejajar, sebagaimana rilis UNDP diatas. Solusinya tak lain adalah percepatan dan penguatan pada salah satu bidang yang menjadi penyanggah utama bidang yang lain, yaitu bidang pendidikan. Kualitas pendidikanlah yang menentukan kualitas SDM sebuah negara.
Contohnya adalah Singapura, dengan bagusnya kualitas pendidikan yang dimilikinya, IPM/HDI negara kecil ini justru yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tak heran putra Presiden Jokowi pun lebih enjoy belajar kesana (seakan-akan Bapak Presiden kita mengatakan dan mengakui bahwa kualitas pendidikan di negeri yang dipimpinnya ini memang rendah dan belum bisa dipercaya untuk menjadikan anaknya berkualitas).
MEA dan Pendidikan Kita
Sikap optimis dan pesimis diatas adalah wajar, karena itulah hakikat yang pasti ada dalam menyongsong perubahan. Bagaimana dunia pendidikan kita menyikapinya? Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan di beberapa media mengajak para pelaku pendidikan optimis memasuki MEA 2015. Anies memotivasi agar pengelola institusi pendidikan melakukan berbagai hal yang mendasar dalam memajukan dunia pendidikan dan menyadari pentingnya pengembangan SDM.
Karena beberapa ekses MEA dalam dunia pendidikan sudah dirasakan, antara lain: semakin banyak lembaga pendidikan asing, tenaga kerja asing juga mulai menyerbu pasar tenaga kerja dalam negeri dan lain-lainnya. Pemikiran yang optimis akan memandang bahwa ini adalah peluang sekaligus tantangan untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara menjalin kerjasama/memanfaatkan lembaga-lembaga pendidikan asing tersebut sebagai mitra kerja.
Akan tetapi, seharusnya bukan hanya praktisi pendidikan an sich yang harus melakukan perubahan secara mendasar, tapi Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) juga harus benar-benar menata diri/mengevaluasi diri sendiri. Kebijakan-kebijakan yang diambi harus jelas, tegas dan tidak ambigu/tidak membingungkan. Penerapan kurikulum dan derivat perangkat dibawahnya jangan lagi membingungkan, mempersulit dan mengorbankan civitas akademik di lapangan.
Bidang yang lain bolehlah terombang-ambing karena gaduh politik atau carut marut perpolitikan negeri ini, akan tetapi bidang pendidikan harus berdiri tegap/kokoh dan tegas dalam pengambilan kebijakan dengan satu tujuan pengembangan sistem pendidikan yang lebih berkualitas. Bidang pendidikan wajib steril dari intervensi atau bahkan kriminalisasi segelintir politisi haus jabatan/kekuasaan. Penulis sepakat dengan optimisme Mendikbud bahwa kita tentu sangat bisa bersaing dengan SDM negara lain, asalkan mulai saat ini juga ada perubahan mendasar dalam segala hal demi memajukan kualitas pendidikan di negeri ini.
Bagi yang pesimis, harus tahu bahwa ada secercah harapan di tengah-tengah dunia pendidikan kita, bahwa beberapa hari yang lalu Telkom University (Tel-U) kembali mempersembahkan kebanggaan untuk Indonesia pada ajang Internasional. Yaitu ketika di ajang University Mobile Challenge (UMC) 2015, Tim Brainstat dari Fakultas Informatika (FIF) Tel-U berhasil meraih posisi Runner up atau juara ke-2, mengungguli University of California Barkeley dan MIT, dari Amerika Serikat. Nah, masihkah kita ragu menghadapi MEA, kemudian me’lari’kan anak-anak kita belajar ke negeri orang.

                                                                                               ———————– *** ———————

Rate this article!
MEA dan Pendidikan Kita,5 / 5 ( 1votes )
Tags: