Media Edukatif Inovasi Mahasiswa UM Surabaya

Vitis Indra Qomariyanti menjadi dalang wayang kardus di TK ABA 3 Tambak Segaran Wetan dengan mengangkat cerita Batu Belah Batu Bertangkup, Selasa (13/6). [adit hananta utama]

Membungkus Cerita Rakyat dalam Karakter Wayang Kardus
Kota Surabaya, Bhirawa
Wayang sebagai salah satu karya seni khas Indonesia telah bertransformasi menjadi berbagai bentuk. Wayang kulit, wong, golek dan suket adalah sebagian dari jenis wayang yang sudah dikenal. Selain jenisnya, wayang juga berkembang tidak hanya untuk sebuah pertunjukan. Melainkan juga menjadi media untuk pembelajaran di sekolah. Seperti halnya wayang kardus inovasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya.
Puluhan siswa TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) 3 Jalan Tambak Segaran Wetan Surabaya mengumbar tawa kala mereka menonton sebuah pertunjukan wayang di kelasnya. Bukan pertunjukan wayang seperti biasa, kali ini wayang yang mereka tonton dikonsep lebih sederhana dengan cerita yang ringan. Bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa khas anak-anak. Sehingga mereka tidak sulit untuk memahami alur ceritanya.
Tak kalah uniknya, seorang dalang yang memandu cerita wayang ini adalah seorang perempuan. Dalang tersebut adalah Vitis Indra Qomariyanti, mahasiswi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya. “Saya membawakan cerita bertema Batu Belah Batu Bertangkup. Sebuah cerita rakyat dari daerah Sambas,” kata dia saat ditemui di TK ABA 3 Tambak Segaran Wetan, Selasa (13/6).
Cerita rakyat itu dipilih Vitis lantaran tidak banyak masyarakat mengenalnya. Apalagi anak-anak usia dini. “Berbeda dengan cerita Malin Kundang yang sudah sangat populer. Padahal sebenarnya Indonesia memiliki cerita rakyat yang kaya,” terang dia.
Selain tak populer, pesan moral yang terkandung dalam cerita cukup tinggi. Yakni tentang kehidupan seorang anak nakal yang hidup dalam sebuah keluarga miskin. “Cerita ini sarat dengan pesan-pesan moral. Di sisi lain, kita juga ingin melestarikan budaya Indonesia kepada anak sejak mereka usia dini,” tutur Vitis.
Ide menyajikan wayang kardus sebagai media pembelajaran itu tidak muncul secara tiba-tiba. Dirinya mengawali inovasi ini dengan sebuah penelitian berjudul Revitalisasi Cerita Rakyat Melalui Media Wayang Kardus (Rembes). “Peran kita di sini sebenarnya melatih guru TK untuk memahami metode ini. Jadi wayang-wayang ini mereka yang membuat sendiri,” ungkap dia.
Lebih lanjut Vitis menjelaskan, tidak ada pakem yang membatasi karakter wayangnya. Hanya saja, sebuah karakter tidak lepas dari isyarat perwajahan. Semisal mimik wayang dengan bibir tersenyum menunjukkan karakter lakon yang baik, sabar atau penyayang. Sementara wajah dengan sebagian gigi menonjol mewakili karakter yang suka usil atau jahil.
Siti Muyasaro Fahima, salah satu guru TK ABA 3 mengakui metode pembelajaran bercerita biasa dia lakukan menggunakan boneka tangan atau boneka jari. Sehingga dengan adanya wayang kardus ini, media pembelajaran semakin variatif. “Dengan menggunakan media yang menarik, kreativitas anak diharapkan ikut terpacu,” tutur perempuan yang akrab disapa Fahim ini.
Menurut dia, penggunaan wayang kardus sebagai media selain menarik juga murah. Ini yang terpenting bagi pembelajaran anak usia dini. Di sisi lain, proses pembuatannya yang mudah memungkinkan bagi guru untuk membuat karakter lakon yang bermacam-macam. “Murah dan bahan-bahannya mudah dicari. Tinggal bagaimana guru mengkreasikan karakter supaya menarik. Baik dengan ciri khas wajah maupun warna,” pungkas dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: